TEMPO.CO, Jakarta--Arini
Robbi menyusuri gang-gang sempit di belakang gedung pemerintahan menuju
pinggiran rel kereta api barat Stasiun Tugu, Minggu malam, 16 Desember
2012. Ia bertemu dengan para pekerja seks yang berderet.
Ia bersama seorang anggota Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks
Yogyakarta (P3SY), mengobrol santai diselingi candaan dengan pekerja
seks di Bong Suwung. »Saya berkenalan, duduk-duduk dan guyon dan
berbicara dengan mbak-mbak yang ada di Bong Suwung. Kalau pas ada
pelanggan ya pembicaraan dihentikan,” ujar dia saat dihubungi Tempo,
Selasa, 18 Desember 2012.
Arini, mahasiswa jurusan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia
(UII), Yogyakarta merupakan salah satu peserta »Live in Lokalisasi”,
kegiatan yang digagas P3SY pada 15-17 Desember 2012. Kegiatan itu juga
diikuti mahasiswa UGM, UIN Sunan Kalijaga, dan sejumlah aktivis dari
berbagai organisasi non pemerintah, seperti LBH Yogyakarta dan
organisasi masyarakat. Kegiatan ini merupakan bagian dari kampanye hari
anti-kekerasan terhadap pekerja seks, yang jatuh pada 17 Desember.
Arini menuturkan selama tiga hari mengikuti »live in Lokalisasi”
membuat pikirannya menjadi terbuka dan mengenali berbagai persoalan
sosial. Di Bong Suwung, ia masuk bersama 20 orang rombongannya.
Ia menyusuri warung remang-remang yang di belakangnya terdapat
bilik-bilik kecil. Di Bong Suwung terdapat 70 orang pekerja seks.
»Awalnya saya sedikit khawatir karena kami terlihat mencolok. Kami mudah
masuk karena dipandu teman dari P3SY,” katanya.
Arini mengatakan berbicara dengan pekerja seks tidak mudah. Kuncinya
adalah tidak menghakimi para pekerja seks. Ia berbicara dengan seorang
pekerja seks pindahan dari kawasan Parangkusumo, Parangtritis, Bantul.
Pekerja seks berumur 27 tahun itu, kata Arini pindah ke Bong Suwung
karena kerap dirazia aparat keamanan.
Menurut Arini, di Bong Suwung saat ini banyak pekerja seks yang
berumur muda. Tarif mereka rata-rata berkisar Rp45.000-Rp65.000. Uang
hasil kerja mereka harus disetor kepada pemilik bilik kamar sebesar
Rp35.000. Tarif ini jauh lebih murah dari pekerja seks di Pasar Kembang
(Sarkem) sebesar Rp75.000-200.000.
Selain bertemu pekerja seks di Bong Suwung, Arini juga tinggal
semalam di Pasar Kembang (Sarkem), Sosrowijayan pada Sabtu, 17 Desember.
Ia tinggal di sebuah losmen dan membaur dengan para pekerja seks.
Di Sarkem, menurutnya kondisinya berbeda dengan Bong Suwung. Ia
mudah masuk ke Pasar Kembang, dipandu bu Sarmi, anggota P3SY. Pekerja
seks di Sarkem tak kaget dengan kunjungan itu karena mereka sering
mendapat kunjungan yang sama dari sejumlah instansi dan organisasi non
pemerintah. »Penerimaan mereka bagus. Kami ada tiga kelompok,
masing-masing berjumlah enam orang,” katanya.
Siang hari, ia berdiskusi bersama anggota P3SY, yang anggotanya
rata-rata merupakan eks pekerja seks. Mereka belajar tentang arah
gerakan pekerja seks di dunia yang materinya disiapkan PKBI, seks yang
sehat dari petugas Puskesmas Kecamatan Gedongtengen dan kekerasan pada
perempuan. »Materi-materi itu penting untuk membuka pemikiran mahasiswa
tentang pekerja seks,” katanya.
Malam harinya, Arini mengaku sulit tidur karena irama musik dangdut
mengalun sepanjang malam. Musik-musik itu terdengar dari lokasi karaoke
yang berada di Sarkem. »Musik-musik terdengar hingga subuh. Tak masalah
bagi saya. Ini saya lihat sebagai cara untuk menarik pengunjung karena
jumlah pekerja seks semakin banyak,” ujar dia.
Arini yang berjilbab mengatakan malam hari itu ingin berjalan-jalan
dan mengobrol dengan para pekerja seks. Namun, ia khawatir akan
mengganggu kerja para pekerja seks. »Saya juga khawatir dikira berdakwah
karena kebetulan saya berjilbab,” kata Arini.
Menurut Arini, kondisi para pekerja seks di Sarkem dan Bong Suwung
sangat memprihatinkan. Di Sarkem misalnya, para pekerja seks harus
melayani pelanggan dengan kondisi kamar yang tidak layak atau jauh dari
standar kesehatan. »Tak ada ventilasi udara di kamar-kamar berukuran
kecil tempat mereka melayani pelanggan. Mereka sewaktu-waktu juga akan
sulit melarikan diri kalau ada pelanggan yang melakukan kekerasan,”
katanya.
Arini menambahkan salut dengan para pekerja seks yang tetap bertahan
hidup di tengah stigma negatif yang melekat. Mereka tak punya pilihan
lain untuk membiayai kebutuhan hidup.
Keberadaan pekerja seks, lanjut Arini memberikan dampak ekonomi bagi
lingkungan sekitar sehingga semestinya mereka mendapatkan perlakuan
yang manusiawi. »Saya berharap ada kepedulian dari banyak orang tentang
kesehatan dan jaminan keamanan selama mereka bekerja,” katanya.
Sementara itu, salah satu pengunjung Bong Suwung, Tejo (nama
samaran) mengatakan ia bersama temannya ke lokalisasi itu pada 2010.
Kala itu, pekerja seks yang ada rata-rata sudah berumur. »Saya
bercakap-cakap setelah pesan minum di warung remang-remang. Saya tanya
kabar lalu melakukan tawar menawar harga,” katanya.
Ia mengatakan tawar menawar harga dilakukan di sepanjang rel. »Saat
transaksi, kalau ada kereta melintas kami segera minggir,” kata pekerja
swasta ini.
SHINTA MAHARANI
Sumbe Berita : http://id.berita.yahoo.com/tiga-hari-di-sarkem-dan-bong-suwung-003408821.html