JAKARTA- Pemerintah akan menghapuskan bea masuk impor kedelai yang saat ini dipatok 5% paling lambat mulai 1 Agustus mendatang.
Penghapusan bea masuk ini diharapkan akan membuat harga kedelai yang melonjak tajam kembali normal. Namun, kebijakan tersebut dikhawatirkan menjadi bumerang, yakni banjirnya kedelai impor yang pada ujungnya mematikan petani kedelai lokal.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa sebelum Sidang Kabinet Paripurna Bidang Polhukam di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (25/7) menjelaskan, penghapusan bea masuk itu diputuskan dalam rapat koordinasi bidang pangan, kemarin.
Selanjutnya, tim khusus yang ditugasi membahas besaran tarif akan segera menggelar rapat dan menetapkan angka bea impor kedelai dalam waktu satu hingga dua hari ini.
“Segera. Dalam satu dua hari ini, tim tarif akan rapat untuk menetapkannya. Ini (penghapusan bea masuk) akan berlaku sampai akhir tahun,” jelas Hatta.
Penurunan bea impor dilakukan untuk menekan harga kedelai yang melonjak tajam sehingga nyaris melumpuhkan industri terkait. Awal tahun ini, harga kedelai masih pada kisaran Rp 5.500 per kilogram. Namun sejak pekan lalu, harganya telah melambung jauh menjadi Rp 8.200-Rp 8.400 per kilogram.
Hatta mengimbau importir kedelai tidak mengambil untung terlalu tinggi di tengah tipisnya pasokan akibat kekeringan yang melanda Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina sebagai pemasok utama kedelai.
“Kita berharap (harga) lebih turun lagi. Kementerian Perdagangan sudah berbicara dengan para importir agar tidak telalu mengambil keuntungan yang tinggi dalam situasi kedelai dunia sedang mengalami persoalan. Selain kekeringan di AS, permintaan tinggi dari China, lebih dari 60 juta ton, membuat harga komoditas ini naik,’’ ujarnya.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, selain membebaskan tarif bea masuk, pemerintah juga akan meningkatkan produksi kedelai. Dengan kedua langkah tersebut, pasokan kedelai diharapkan dapat terjaga sehingga harga otomatis turun.
’’Kira-kira, harga impor dalam rupiah akan turun sekitar Rp 400-an (per kilogram). Ya lumayanlah,’’ ujarnya. Bayu mengakui saat ini kedelai sedang menjadi barang langka. Hal ini dikarenakan kurangnya produksi kedelai dalam negeri ditambah kekeringan di kawasan Amerika yang menjadi penyuplai kedelai terbesar dunia.
Tetapi, kebijakan penghapusan bea impor kedelai itu menuai kritik. Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, kebijakan tersebut akan membuat Indonesia kian tergantung terhadap kedelai impor. Target swasembada kedelai tahun 2014 mustahil diwujudkan.
Saat ini, lebih dari 64% kebutuhan kedelai Indonesia dipenuhi dari impor. Tiap tahun Indonesia membutuhkan sekitar 2,2 juta ton, sementara kemampuan produksi hanya sekitar 800 ribu ton. Impor terutama dipenuhi dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Kanada, Ukraina, Thailand, dan Malaysia. “Ini bisa mengakibatkan kedelai impor semakin deras membanjiri Indonesia,” kata Said Abdullah.
Said berpendapat, persoalan kedelai dan ketergantungan impor serta target swasembada 2014, situasinya cukup memprihatinkan. Dia mengungkapkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sejak tahun 1990 sampai dengan 2011, laju impor terus meningkat. ’’Jika pada tahun 1990 impor kedelai hanya 541 ribu ton, maka tahun 2011 mencapai 1,5 juta ton dengan nilai mencapai Rp 5,9 triliun,’’ ujarnya.
Terus Menurun
Sebaliknya, produksi dalam negeri terus mengalami penurunan. Jika pada tahun 1990 produksi mencapai 1,4 juta ton maka pada 2011 meluncur bebas menjadi 851 ribu ton.
Tanggapan berbeda muncul dari Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakoptindo). Gakoptindo menyambut baik kebijakan pemerintah yang membebaskan bea masuk kedelai impor. Namun, kebijakan tersebut masih bersifat jangka pendek dan tidak bisa menjaga kestabilan harga.
’’Jadi itu memang yang kita usulkan untuk mengatasi gejolak. Tapi kalau jangka menengah harus ada tata niaga yang diatur sehingga tak ada gejolak harga lagi,’’ kata Ketua II Gakoptindo, Sutaryo di Jakarta.
Menurut dia, dalam jangka menengah dan panjang, pihaknya dan pemerintah perlu duduk bersama membahas rumusan kebijakan tata niaga kedelai. Pasalnya, selama ini impor menganut mekanisme pasar bebas sehingga harga kedelai mengikuti fluktuasi harga komoditas kedelai di pasar internasional.
Dia menambahkan, kebijakan jangka menengah pemerintah harus menelurkan kebijakan yang melindungi petani kedelai di tanah air sekaligus menguntungkan produsen tahu tempe. Selain itu, juga melindungi konsumen dari kenaikan harga tahu tempe. ’’Selama ini kalau harga kedelai tinggi petani tidak menikmati. Kalau harga rendah petani yang dirugikan karena ada impor,’’ ujar Sutaryo.
Sutaryo menjelaskan, kebutuhan kedelai tahun ini mencapai 2,4 juta ton, sekitar 80% atau 1,8 juta ton dipenuhi dari impor. Sedangkan sisanya yakni sekitar 600 ribu ton dari dalam negeri. ’’Kalau data kita 80% impor, 20% dalam negeri, jauh sekali. Kita ingin sebaliknya.’’
Dia menilai, Indonesia sangat mungkin mengalami swasembada kedelai, mengingat kedelai tidak berebut lahan dengan padi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima bulan pertama tahun ini, Indonesia telah mengimpor 750,1 ribu ton kedelai dengan nilai 424,2 juta dolar AS.
Impor terbesar berasal dari Amerika Serikat, yaitu 721,1 ribu ton dengan nilai 401,6 juta dolar AS. Disusul dari Malaysia 26 ribu ton senilai 20,8 juta dolar AS dan Kanada dengan total impor 1.525 ton dengan nilai 887 ribu dolar AS.
Selain itu, Ukraina juga mengirimkan kedelai sebanyak 738 ton dengan nilai 370,1 ribu dolar AS. Begitu juga dengan China, sebanyak 281,8 ton dengan nilai 279 ribu dolar AS. (J22,H28,J10-25)
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/07/26/194085/Bea-Masuk-0-Jadi-Bumerang