BANDUNG- Sebulan sejak statusnya dinaikkan menjadi Waspada, aktivitas vulkanik Gunung Sindoro di perbatasan Kabupaten Temanggung-Wonosobo lebih banyak terekam di permukaan.
Aktivitas gunung setinggi 3.150 meter di atas permukaan laut (dpl) itu mereda. Suplai energi mengecil karena gempa vulkanik dangkal dan dalam yang berasal dari dapur magma terus menurun.
“Gempa dangkal dan dalam sudah relatif jarang,” ungkap Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), M Hendrasto, di Bandung, Jumat (6/1).
Meski demikian, PVMBG menegaskan belum akan menurunkan status gunung api yang terakhir meletus pada 1910 atau 101 tahun lalu itu. Peninjauan status Sindoro masuk agenda pembahasan dalam sepekan mendatang.
Status Sindoro dinaikkan dari semula aktif normal menjadi Waspada sejak 5 Desember 2011. Dengan status tersebut, manusia dilarang beraktivitas dalam area dengan radius 2 kilometer dari puncak.
Letusan Freatik
Menurut Toto, demikian pria asal Solo itu akrab disapa, aktivitas dominan Sindoro di permukaan ditandai dengan keluarnya gempa-gempa embusan di area kawah. Embusan yang bisa diartikan sebagai perilisan energi itu kemungkinan berasal dari suplai-suplai energi sebelumnya yang tersimpan belakangan dan berlangsung dalam intensitas yang relatif sering.
Di luar itu, PVMBG mengingatkan bahwa potensi letusan freatik dan semburan uap air panas masih bisa terjadi, apalagi pada musim hujan. Pemanasan sebelum semburan bisa berlangsung lebih cepat akibat rembesan air ke dalam kawah.
“Ini menjadi pertimbangan utama kami. Dengan kondisi seperti itu, mencabut area steril 2 kilometer dari puncak bisa membahayakan, karena dapat membuka peluang masyarakat beraktivitas di sekitar kawah. Terlebih, sifat letusan freatik sangat tiba-tiba,” katanya. (dwi-59)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/
Aktivitas gunung setinggi 3.150 meter di atas permukaan laut (dpl) itu mereda. Suplai energi mengecil karena gempa vulkanik dangkal dan dalam yang berasal dari dapur magma terus menurun.
“Gempa dangkal dan dalam sudah relatif jarang,” ungkap Kepala Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunung Api Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), M Hendrasto, di Bandung, Jumat (6/1).
Meski demikian, PVMBG menegaskan belum akan menurunkan status gunung api yang terakhir meletus pada 1910 atau 101 tahun lalu itu. Peninjauan status Sindoro masuk agenda pembahasan dalam sepekan mendatang.
Status Sindoro dinaikkan dari semula aktif normal menjadi Waspada sejak 5 Desember 2011. Dengan status tersebut, manusia dilarang beraktivitas dalam area dengan radius 2 kilometer dari puncak.
Letusan Freatik
Menurut Toto, demikian pria asal Solo itu akrab disapa, aktivitas dominan Sindoro di permukaan ditandai dengan keluarnya gempa-gempa embusan di area kawah. Embusan yang bisa diartikan sebagai perilisan energi itu kemungkinan berasal dari suplai-suplai energi sebelumnya yang tersimpan belakangan dan berlangsung dalam intensitas yang relatif sering.
Di luar itu, PVMBG mengingatkan bahwa potensi letusan freatik dan semburan uap air panas masih bisa terjadi, apalagi pada musim hujan. Pemanasan sebelum semburan bisa berlangsung lebih cepat akibat rembesan air ke dalam kawah.
“Ini menjadi pertimbangan utama kami. Dengan kondisi seperti itu, mencabut area steril 2 kilometer dari puncak bisa membahayakan, karena dapat membuka peluang masyarakat beraktivitas di sekitar kawah. Terlebih, sifat letusan freatik sangat tiba-tiba,” katanya. (dwi-59)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/