KALAU mau melihat antusiasme dan dukungan masyarakat terhadap junjungannya, mungkin Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat disebut. Menjelang pawiwahan ageng GKR Bendara (Jeng Reni) dan KPH Yudanegara (Ubai), semuanya seolah tidak mau ketinggalan untuk mangayubagya.
Obrolan masyarakat kecil di angkringan, pasar, alun-alun, hingga kantor pemerintahan sekan tak lepas dari hajatan besar yang puncaknya akan digelar 18 Oktober itu. Uniknya, spirit untuk ikut menghormati dan memeriahkan pernikahan putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X itu pun juga mewujud dalam tindakan.
Kita bisa melihat itu pada gagasan Pesta Rakyat yang akan digelar dengan menyiapkan 200 gerobak angkringan gratis.
“Gerobak angkringan akan ditempatkan mulai dari Monumen Serangan Oemoem 1 Maret sampai depan Hotel Garuda dan sekitar Stasiun Tugu. Semua gratis untuk masyarakat yang ingin menyaksikan kirab. Ini wujud kebahagiaan masyarakat yang selama ini merasa tentram dan bahagia bersama Sultan,” kata Ketua Panitia Pesta Rakyat Prasetyo Budi Laksono.
Ini tentu menjadi peristiwa yang mengharukan sekaligus menunjukkan jiwa patriotik masyarakat. Pasalnya, upaya menunjukkan pengabdian itu datang secara spontan.
Dalam kirab yang akan dimulai sore hari itu, pasangan pengantin akan diarak dengan Kereta Kyai Jongwiyat, kereta peninggalan Sultan Hamengku Buwono VII yang sering dipakai sebagai kendaraan perang. Meski begitu, kereta itu juga dipakai pesiar atau berjalan-jalan raja untuk menyapa rakyatnya.
Kini giliran Jeng Reni dan Ubai yang akan menyapa masyarakat dengan rute dari Keraton hingga Kepatihan. Kirab itu seolah-olah membuat keraton membuka diri, memberi kesempatan pada masyarakat untuk hadir dalam “resepsi” ala rakyat itu.
Untuk itu, pada 18 Oktober mulai pukul 16.00 kawasan Malioboro akan ditutup hingga saat resepsi di Kepatihan berakhir. Supaya masyarakat lebih nyaman menikmati prosesi, di sepanjang rute kirab akan dipasang beberapa layar besar. Ini adalah solusi dari pengalaman-pengalaman atraksi budaya di ruang publik Yogyakarta yang selalu padat.
“Akan dipasang enam layar besar di Alun-alun Selatan, Alun-alun Utara, dan Benteng Vredeburg. Kirab juga akan disiarkan langsung melalui televisi Jadi, kami menghimbau masyarakat tidak memadati jalur Keraton hingga Kepatihan,” ujar Kepala Humas Sekta Provinsi DIY, Kuskasriati.
Terkait undangan, menurut GBPH Yudaningrat, ada beberapa tamu penting yang memastikan datang. Mereka antara lain Presiden SBY, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla dan BJ Habibie, serta duta besar Amerika Serikat, Ceko, Jepang, dan Jerman.
Seperti adat keraton menyambut tamu kebesaran, maka kedatangan presiden akan disambut dengan gending monggang dari gamelan Kyai Guntur Laut. Untuk mengiringi rangkaian acara pernikahan itu disiapkan 200-an pengrawit dan sinden.
Untuk hidangan, para tamu undangan akan disuguhi hidangan khas Yogyakarta dari Katering Karunia yang menjadi langganan keraton sejak Sultan HB IX. Banyaknya tamu penting pada acara itu membuat pihak keamanan keraton menyiapkan diri membuat tim terpadu bersama TNI dan Polri. Jumlah personel yang akan diturunkan pada puncak acara 18 Oktober 1.518 orang.
“Untuk pengamanan tamu VVIP, seperti presiden dan wapres tentu akan diserahkan pada Paspampres. Untuk pengamanan di luar itu sudah siap,” Koordinator Sekuriti Keraton, KRT Mangkuyuda.
Apa yang dilakukan berbagai pihak itu menunjukkan aura Keraton Yogyakarta sebagai simbol kekuatan sosial budaya masih kuat. Menurut sejarawan Prof Dr Djoko Suryo, itu adalah salah satu kekuatan Yogyakarta dibanding daerah-daerah lain yang masih memiliki raja.
“Sambutan rakyat terhadap pawiwahan ageng ini menandakan hubungan emosional-kultural keraton dan rakyat sangat intens. Ini yang tidak terlihat di daerah lain,” katanya.
Rajin Luluran
Pernikahan ageng GKR Bendara dengan KPH Yudanegara tinggal menghitung hari. Segala persiapan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kian tampak grengseng.
Para abdi dalem keraton sibuk berbenah diri. Berbagai persiapan terus disempurnakan, termasuk kesiapan kondisi fisik calon pengantin.
Kedua calon mempelai menghindari makanan tidak sehat seperti gorengan atau makanan berminyak agar stamina tetap fit hingga hari bahagia tiba. Semua itu memang beralasan, apalagi perhelatan pernikahan agung dilakukan selama empat hari, 16-19 Oktober 2011.
Kedua calon pengantin, baik Jeng Reny, panggilan akrab GKR Bendara dengan Ubai, panggilan akrab KPH Yudanegara mengaku secara fisik persiapan pernikahannya telah mencapai 80 persen.
‘’Secara fisik dan mental, persiapan kami sudah siap 80 persen. Kini kami tinggal menjaga agar stamina tetap fit, agar pada pelaksanaannya nanti tidak jatuh sakit,’’ kata KPH Yudanegara kepada wartawan di Keraton Kilen.
Adapun Jeng Reni menjalani berbagai perawatan tubuh seperti luluran dan selalu menjaga kulit wajah serta tubuh. Putri kelima Sri Sultan itu juga rajin minum jamu serta berolahraga secara teratur.
‘’Sejak beberapa minggu terakhir ini saya sengaja menghindari makanan berminyak dan berlemak, terutama gorengan. Saya juga menghindari kacang-kacangan dan daging merah serta terus menjaga kondisi tubuh dengan olahraga,’’ ucapnya.
Ketika ditanya di mana akan menetap usai menikah nanti, keduanya sepakat akan bertempat tinggal di Jakarta.
“Karena tugas saya di Jakarta, maka kami sepakat untuk tinggal di sana,’’ katanya.
Namun jika ada tugas atau ritual di keraton, keduanya pasti akan pulang ke Yogyakarta. ‘’Kalaupun tidak, minimal sebulan sekali kami akan pulang ke Yogyakarta,’’ ujar Ubai yang menginginkan punya dua anak.
Selain persiapan fisik, khusus Ubai juga harus menjalani tugas ekstra, yakni belajar bahasa Jawa, yang akan digunakan dalam prosesi ijab kabul dengan ritual adat keraton.
Meski agak susah mengucapkan, pria asal Lampung itu berusaha keras belajar kata-kata Jawa serta menghafal tata cara yang harus dijalaninya.
Ia bersyukur karena calon istrinya setia membantu menghafal dan sekaligus memberi tahu artinya. Khusus untuk pelafalan ijab kabul, Ubai memperhatikan betul, karena ia tak mau salah.
‘’Untuk ijab kabul bahasa Jawa, meskipun nantinya saya membaca, tapi intonasi harus benar. Kalau membaca saja kan bisa, minimal intonasi medhok-nya juga harus menguasai. Apalagi pakai bahasa Jawa halus, jadi mau tidak mau saya harus banyak bertanya,’’ ucapnya. (Sony Wibisono, Sugiarto-59)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/15/162817/