Setelah Merapi meletus pada Oktober-November 2010, banyak sumber air yang mati atau menyurut di kawasan sekitarnya. Warga pun mengalami kesulitan air. Budi Banyu memperkenalkan pembuatan sumur tandem sebagai solusi mengatasi kesulitan air.
NAMA Budi Banyu amat populer bagi mayoritas warga di lereng Gunung Merapi dan Merbabu. Ketenaran itu tak terlepas dari jasa pria pemilik nama asli Budi Haryanto ini mengatasi kesulitan air.
Sudah belasan tahun Budi naik turun menjelajahi perkampungan di lereng dua gunung tersebut membantu warga mencari sumber air. Kampung-kampung itu biasanya berada di punggung gunung.
Pemilihan lokasi pendirian kampung itu merupakan bagian dari kearifan lokal, tak terlepas dari karakter Merapi yang rutin beraktivitas. Dengan berada di ketinggian, warga terlindung dari kemungkinan luncuran awan panas atau banjir lahar dingin karena terhalang bukit.
Untuk mendapatkan air, mereka memasang pipa-pipa paralon dari sumber ke rumah-rumah. Dahulu waktu penggunaan paralon belum populer, warga ngangsu dari sumber air memakai jerigen atau kendi besar yang terbuat dari tanah liat.
Erupsi Merapi 2010 ternyata membuat sebagian besar saluran air hancur. Ada yang rusak terkena awan panas, ada yang hanyut terbawa banjir lahar dingin. Situasi ini diperparah musim kemarau panjang yang membuat mata air mati atau menyurut.
Sebagai solusi mengatasi kesulitan air, Budi yang sekarang menginjak 55 tahun memopulerkan pembuatan sumur tandem. Sumur jenis ini berbeda dari kebanyakan sumur yang digali tegak lurus (vertikal) ke bawah. Sumur tandem memadukan penggalian vertikal dan pengeboran horizontal (horizontal drilling).
”Saya memanfaatkan teori bejana berhubungan yang saya terima waktu kelas IV SD. Saya memang tidak tamat SD. Waktu itu saya harus keluar karena tak punya biaya. Namun, alhamdulillah ilmu yang saya dapat bermanfaat,” kata Budi di rumahnya di Sanggrahan Blabak, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Budi berpinsip bahwa suatu tempat tak bisa disebut tidak ada air jika belum dibuktikan dengan penggalian. Karena itu, dia mengajukan syarat kepada warga di lereng gunung yang meminta pertolongannya mencarikan sumber air.
Mereka harus membawakan sampel tanah di permukaan, pinggir tebing, dan lapisan dalam. Syarat itu sama sekali tak berkaitan dengan mistik. Budi memerlukannya untuk melakukan analisis sederhana.
Dia menunjukkan perbedaan contoh ketiga jenis tanah tersebut. ”Jika ada lapisan tanah yang basah atau lembab bisa dipastikan ada kandungan air di dalamnya. Semakin dalam tanah akan semakin basah. Sekarang tinggal bagaimana kita memanfaatkannya,” terang dia.
Dengan metode sumur tandem, lubang sumur digali lebih dulu secara vertikal ke bawah dengan kedalaman 3-5 meter dan lebar minimal 2 meter. Kemudian diteruskan pengeboran horizontal sekitar 50-70 meter sesuai kebutuhan.
Semakin panjang penggalian mendatar akan semakin baik. Berarti semakin banyak potensi sumber air yang bisa didapat.
Namun, panjang penggalian horisontal biasanya disesuaikan dengan kondisi wilayah. Dalam beberapa kasus panjangnya bisa mencapai 100 meter.
Setiap satu sumur tandem membutuhkan 3-4 pengeboran horizontal. Pengeboran ini diarahkan ke dataran yang lebih tinggi agar air yang terkandung di dalam tanah bisa tersedot masuk. Setelah selesai dibor, pipa paralon dimasukkan untuk menyalurkan air ke dalam lubang sumur vertikal. ”Ini saya sebut sebagai sistem pola hisap karena menyedot air tanah. Air ini yang kemudian kami olah untuk dimanfaatkan penduduk, baik sebagai air minum maupun pertanian,” jelas Budi.
Air yang terkumpul ditampung di dalam sumur utama. Filterisasi dilakukan dengan memanfaatkan tumpukan batu-batu, kerikil, pasir, dan ijuk.
Air kotor yang mengandung zat berbahaya akan dibuang, sedangkan air bersih hasil penyaringan disalurkan ke bak penampungan melalui paralon yang terpendam di dalam tanah.
Berbeda dari kebanyakan sumur, sumur tandem kembali ditutup tanah sehingga lahan di atasnya bisa dimanfaatkan bercocok tanam. Penyaluran air memanfaatkan beda ketinggian atau gaya gravitasi bumi. Karena itu, sumur tandem biasanya dibangun di tempat yang lebih tinggi dari perkampungan dan lahan persawahan yang akan dialiri.
Dibayar Sayuran
Menurut Budi, metode sumur tandem mampu menyediakan air dengan kapasitas 7 liter per detik. Sumur model ini kali pertama diuji coba di Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, pada 1998.
Sejak itu, teknik yang diperkenalkan Budi Banyu ini menyebar ke berbagai desa di lereng Merapi dan Merbabu. Tidak hanya di wilayah Magelang, melainkan juga di Boyolali dan bahkan Temanggung.
Sejak 1998-2005, Budi sudah berhasil melakukan pengeboran di 95 titik. ”Jika dihitung hingga sekarang, jumlahnya lebih banyak lagi. Saya sampai tidak hafal. Apalagi pascaerupsi Merapi tahun lalu, permintaan warga semakin besar,” tuturnya.
Budi tak menerapkan tarif dalam setiap pembuatan sumur tandem. Beberapa kali warga membayarnya dengan sayur mayur hasil pertanian. Bagi Budi, yang terpenting adalah tekad dan kesungguhan warga mengatasi kesulitan air.
Dari mana Budi mendapatkan pengetahuan tentang teknik pembuatan sumur tandem? Ternyata ilmu ini diperoleh secara tidak sengaja.
Dia menyebutnya sebagai ”berkah” erupsi Merapi pada November 1994. Saat itu, seorang geolog berkebangsaan Prancis bernama Philips Hans meminta Budi mengantarnya naik ke puncak Merapi. Meski tak lulus SD, Budi memang fasih berbahasa Inggris lantaran belajar lewat siaran radio BBC.
Sebagai seorang pemandu pendakian, Budi menyanggupi meski tahu Merapi tengah beraktivitas. ”Philips Hans mengaku heran mengetahui warga kesulitan air. Dia mengatakan tidak mungkin suatu wilayah nihil air jika tidak mengupas kulitnya (kontur tanah) lebih dulu. Dari situ saya belajar membaca kontur dan tekstur tanah,” jelas dia.
Sayangnya, belum lagi Budi belajar banyak mengenai seluk-beluk air, keduanya digiring polisi turun gunung. Sebab, Merapi menunjukkan tanda-tanda hendak meletus.
Tiga hari setelah erupsi, Budi kembali ke puncak Merapi seorang diri. Dia mendapati tebing-tebing yang runtuh ternyata menyimpan kandungan air. Sejak peristiwa itu, dia mulai berpikir mengenai penggunaan air untuk kesejahteraan masyarakat gunung.
Sekarang, teknik sumur tandem ala Budi Banyu sudah diadopsi warga Hargobinangun, Sleman, Yogyakarta. Dia juga menerima banyak kunjungan warga yang ingin belajar teknik tersebut.
”Dalam waktu dekat saya akan menularkan ilmu ini ke saudara-saudara sebangsa di NTT. Saya sudah survei langsung dan yakin sumur tandem bisa diterapkan di sana,” jelas Budi.
Pertama-tama, Budi akan membangun sumur tandem di tujuh titik di sekitar Ruteng dan Labuhan Bajo. Sebelumnya, sudah ada 10 tim ahli yang gagal mengatasi kesulitan air di daerah tersebut. (65)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/24/163883/