REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL - Masyarakat pesisir pantai Samas, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, menggelar 'Kirab Tumuruning Maheso Suro' sambut 1 Suro atau tahun baru Muharram, Sabtu malam.
"Ritual ini rutin digelar tiap tahunnya guna mengenang Maheso Suro yang dipercaya telah mendatangkan kemakmuran warga pesisir pantai selatan ini," kata Kepala Desa Srigading, Sanden Dwi Raharjo di Bantul, Ahad (27/11).
Menurut dia, 1 Suro merupakan awal bulan pertama tahun baru Jawa atau Muharram. Dalam kalender Jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1940 lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Ia menceritakan, dahulu warga Samas, Srigading dilanda paceklik atau tanaman maupun pertanian desa setempat tidak bisa tumbuh subur, sehingga warga desa terus berusaha sambil memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa waktu kemudian warga Samas dikejutkan dengan munculnya seekor kerbau berwarna hitam kelam, dan warga bersama perangkat desa setempat kemudian menangkap dan memelihara bersama kerbau-kerbau lokal.
Akan tetapi, kata dia setiap kali kerbau itu merusak sawah dan ladang yang dilewatinya, tanaman tersebut justru tumbuh subur. Namun tidak tahu kenapa `kerbau` yang muncul pertama kali di bulan Suro itu pun telah menghilang entah kemana.
"Sejak saat itu masyarakat Samas menyebutnya dengan `mahesa Suro` (kerbau yang datang di bulan Suro) dan selalu mengenang dengan menggelar ritual Kirab `Tumuruning Maheso Suro` sejak 1910 lalu. Ritual ini sebagai lambang kemakmuran," katanya.
Ia mengatakan, Kirab Mahesa Suro, dimulai pukul 21.00 WIB itu diawali dari rumah Dwi Raharjo, dengan mengarak uba rampe berupa kerbau (menyerupai kerbau), jodhang yang berisi aneka makanan (tumpeng) dan buah-buahan dan gunungan yang berisi hasil bumi menuju pantai Samas yang jaraknya sekitar satu kilometer.
Setelah tiba di Pantai Samas, uba rampe yang dikirap warga didoakan kaum rois bersama warga setempat, namun sebelum didoakan empat orang dari aliran kejawen melakukan doa bersama dengan membakar kemenyan (dupa).
Setelah doa bersama, aneka makanan dan hasil bumi dalam gunungan itu kemudian diperebutkan warga setempat karena dipercaya akan membawa berkah jika mendapatkannya, sedangkan `kerbau` sebagai simbol Mahesa Suro dilarung ke laut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bantul, Bambang Legowo, mengatakan, ritual atau tradisi budaya yang dilakukan masyarakat setempat itu perlu terus didukung pelestariannya, guna memperoleh dampak positifnya.
Sumber Berita : http://id.berita.yahoo.com/
"Ritual ini rutin digelar tiap tahunnya guna mengenang Maheso Suro yang dipercaya telah mendatangkan kemakmuran warga pesisir pantai selatan ini," kata Kepala Desa Srigading, Sanden Dwi Raharjo di Bantul, Ahad (27/11).
Menurut dia, 1 Suro merupakan awal bulan pertama tahun baru Jawa atau Muharram. Dalam kalender Jawa pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo pada 1940 lalu, mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Ia menceritakan, dahulu warga Samas, Srigading dilanda paceklik atau tanaman maupun pertanian desa setempat tidak bisa tumbuh subur, sehingga warga desa terus berusaha sambil memohon doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Beberapa waktu kemudian warga Samas dikejutkan dengan munculnya seekor kerbau berwarna hitam kelam, dan warga bersama perangkat desa setempat kemudian menangkap dan memelihara bersama kerbau-kerbau lokal.
Akan tetapi, kata dia setiap kali kerbau itu merusak sawah dan ladang yang dilewatinya, tanaman tersebut justru tumbuh subur. Namun tidak tahu kenapa `kerbau` yang muncul pertama kali di bulan Suro itu pun telah menghilang entah kemana.
"Sejak saat itu masyarakat Samas menyebutnya dengan `mahesa Suro` (kerbau yang datang di bulan Suro) dan selalu mengenang dengan menggelar ritual Kirab `Tumuruning Maheso Suro` sejak 1910 lalu. Ritual ini sebagai lambang kemakmuran," katanya.
Ia mengatakan, Kirab Mahesa Suro, dimulai pukul 21.00 WIB itu diawali dari rumah Dwi Raharjo, dengan mengarak uba rampe berupa kerbau (menyerupai kerbau), jodhang yang berisi aneka makanan (tumpeng) dan buah-buahan dan gunungan yang berisi hasil bumi menuju pantai Samas yang jaraknya sekitar satu kilometer.
Setelah tiba di Pantai Samas, uba rampe yang dikirap warga didoakan kaum rois bersama warga setempat, namun sebelum didoakan empat orang dari aliran kejawen melakukan doa bersama dengan membakar kemenyan (dupa).
Setelah doa bersama, aneka makanan dan hasil bumi dalam gunungan itu kemudian diperebutkan warga setempat karena dipercaya akan membawa berkah jika mendapatkannya, sedangkan `kerbau` sebagai simbol Mahesa Suro dilarung ke laut.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bantul, Bambang Legowo, mengatakan, ritual atau tradisi budaya yang dilakukan masyarakat setempat itu perlu terus didukung pelestariannya, guna memperoleh dampak positifnya.
Sumber Berita : http://id.berita.yahoo.com/
0 komentar:
Posting Komentar