Sudah dua tahun lebih, Ir. Galaila Karen Agustiawan, mendapat amanah sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Dialah perempuan pertama yang menempati posisi puncak di Pertamina
sepanjang 51 tahun sejarah perusahaan itu. Banyak ide brilian yang dia torehkan pada perusahaan milik BUMN tersebut. Di antaranya, program transformasi Pertamina yang berfokus pada pengelolaan bisnis yang lebih efisien, gerak strategis di bidang eksplorasi dan produksi, memastikan ketahanan energi nasional yang berkelanjutan dan meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Perempuan kelahiran Bandung, 19 Oktober 1958 ini adalah lulusan Sarjana Teknik Fisika, Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 1978. Ketika dilantik pada 5
Februari 2009 lalu, Ikatan alumni ITB melalui websitenya berharap PT Pertamina (Persero) di bawah kepemimpinan Karen, dapat membawa kemajuan bagi bangsa dan negara, khususnya komitmen Pertamina untuk bertransformasi menjadi perusahaan migas kelas dunia.
Perjalanan karir Karen cukup panjang. Sebelum di Pertamina, Karen telah lama berkarier di Mobil Oil Indonesia (1984-1996). Ia pindah ke CGG Petrosystem selama setahun sebelum pindah lagi ke perusahaan konsultan Landmark Concurrent Solusi Indonesia. Tahun 2002-2006 ia bergabung dengan Halliburton Indonesia. Dari pengalaman berpindah-pindah tempat kerja, Karen memetik satu hal, memberikan yang terbaik. Sempat muncul kekha- watiran dari teman-temannya, Karen akan berubah setelah di Pertamina.
Bagi Karen, Pertamina adalah tantangan, dan ia menyukai tantangan. Menurutnya, tantangan memicu ide di otak keluar dan itu membuatnya hidup. ”Dulu, menjadi Direktur Hulu banyak tantangan. Tetapi kalau saya melihat posisi itu sekarang, sudah tidak menantang. Saya sekarang memimpin tujuh anak perusahaan, itu berat, tetapi menantang,” katanya. Tantangan lain soal maskulinitas. Diketahaui di perusahaan migas memang sangat kuat maskulinitasnya.“Saat saya masuk, banyak yang mempertanyakan, bisa apa cewek ini.”Jawabannya? ”Banyak yang mengakui, she did bring something.”
Karen juga mencermati adanya perubahan cara berpikir di sektor hulu. Dulu orang masuk Pertamina lebih untuk keamanan kerja, masuk Pertamina untuk menghidupi keluarga. ”Sekarang harus diubah menjadi I’m proud to be Pertamina family,” ujarnya.
Dia menambahkan, bahwa dirinya masih terobsesi menjadikan Pertamina terdepan, minimal sama dengan Petronas, perusahaan minyak Malaysia. Sulitnya membuat Pertamina menjadi berkelas dunia? ”Ini soal keseimbangan, we can not see our selves as a full private corporate karena ini kan perusahaan pelat merah yang mengemban tugas negara,” jawabnya. Karen menjelaskan bila Petronas perusahaan minyak Malaysia yang dulunya justru berguru dengan Pertamina bisa berkembang pesat, ia yakin tempat yang dipimpinnya sekarang akan menuai sukses serupa. “Memang bukan tugas mudah, Pertamina notabene sebagai perusahaan plat merah yang mengemban tugas negara melaksanakan dua tugas yaitu sisi korporat yang harus meraih untuk maka harus menggejot sisi hulunya. Lalu sisi hilir yang begitu banyak terbentang aspek sosial yang harus dihadapi, misalnya memastikan bagaimana agar pengadaan elpiji dan BBM. Namun saya percaya ke duanya harus memiliki asas keseimbangan.”
Penyuka musik klasik Bethoven ini mengatakan Pertamina haruslah mampu menerapkan good corporate gover- nance yang bisa dan tidak meniadakan segala bentuk intervensi yang merugikan negara tanpa tolerir dan pandang bulu. “Banyak yang bilang menduduki kursi Pertamina panas. Tetapi insyaalllah dengan sikap be your self yang saya yakini melakukan tugas dan kerja terbaik, saya akan mampu mendinginkan kursi yang selalu dicap panas tadi,” tuturnya tergelak sambil menyeruput gelas cappuccinonya.
Diapun menceritakan sejak kecil sikap kemandirian, disiplin dan bekerja keras merupakan hasil didikan orang tuanya. Kendati ayahnya hidup berkecukupan diakui Karen tidak pernah mendapatkan sesuatu dengan mudah, selalu ada kerja keras.“Sikap ini juga yang akan saya bawa untuk mengubah Pertamina.” Kemudian diakuinya sejak kecil terbiasa hidup berpindah-pindah lantaran mengikuti tugas ayahnya. Ketika sekolah dasar ia pernah tinggal di Srilangka dan India. Menikmati hidup di negeri orang Karen selalu menyukai berkunjung ke tempat-tempat kebudayaan dan bersejarah. “Mungkin kepekaan empati saya terasah lantaran saya selalu menyukai kebudayaan dan kehidupan tradisional yang selalu saya cari setiap mengunjungi sebuah tempat atau negara manapun.”
Karen memandang Pertamina di satu sisi sebagai korporat, maka untung harus diraih. Sisi hulu pun digenjot. Namun, di sisi hilir, banyak aspek sosial yang harus dihadapi. Misalnya, bagaimana memastikan agar BBM dan elpiji tersedia dan gampang diakses.
Sumber Berita : http://new.uai.ac.id/enterprise/2012/01/12/galaila-karen-agustiawan-obsesi-pertamina-berkelas-dunia/
0 komentar:
Posting Komentar