Bulan Ramadhan kian dekat. Sebagai sebuah kearifan lokal, sebagian besar warga masih memegang tradisi menyambut Ramadhan dengan berziarah ke makam para aulia dan leluhur. Tidak sedikit peziarah yang mengaku memperoleh kepuasan batin dan ketrentraman setelah melakukan ziarah, serupa katarsis jiwa.
SEPERTI halnya pada tahun-tahun sebelumnya saat musim nyadran, obyek-obyek wisata religi dan pemakaman umum religi mendadak lebih ramai pengunjung. Bahkan tidak sedikit warga yang rela menginap di obyek-obyek religi. Misalnya saja obyek religi yang ada di Kabupaten Demak, yakni di makam Sultan-Sultan Demak yang berada di komplek Masjid Agung dan Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Adanya musim nyadran menjelang Ramadhan ini pun memunculkan tradisi cuti di kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan, setiap SKPD memberikan cuti bagi para pegawai yang hendak melakukan nyadran di luar daerah. Cuti yang diberikan biasanya berkisar satu hingga dua hari. Sebagaimana dengan datangnya bulan Ramadhan 1432H/Puasa tahun 2011 ini, sebagian besar pemerintah daerah memberikan kesempatan mengambil cuti tahunan untuk keperluan Nyadran.
Bermacam-macam cara mereka lalukan saat berziarah. Biasanya mereka membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur bunga. Ada juga para peserta nyadran yang membawa aneka makanan, seperti tumpeng, apem, ingkung, pisang raja, jajanan pasar, dan kolak, ke lokasi pemakaman. Tak sedikit pula peziarah yang membawa kemenyan serta beraneka macam bunga khas Indonesia, seperti mawar, melati, dan kenanga.
Sesuai Keadaan Lokal
Tradisi-tradisi ini telah tumbuh dalam masyarakat dan biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan lokal.
Sebagaimana tradisi nyadran yang masih mengakar di Desa Gersansari Kecamatan Suruh. Ribuan warga para Jumat (22/7) melakukan ritual tahunan tersebut. Dalam kegiatan yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan Ruah di bulan Jawa ini, ribuan warga tersebut membawa makanan yang ditaruh dalam tenong. Makanan bisa berupa jajan pasar dan hasil bumi di daerah mereka.
Makanan itu kemudian dimakan bersama-sama di tempat dan ada pula saling tukar makanan dengan orang lain. Kepala desa Gersansari Daryanto mengatakan, kegiatan ini merupakan tradisi turun temurun. Dalam acara nyadaran ini, para penduduk desa setemapat selalu datang bahkan warga yang sudah meranatau ke daerah lain menyemapatkan datang di saat acara nyadranan tiba.
Acara juga diselengi dengan pengajian oleh sesepuh agama setempat yaitu Imron Suharyanto. "Kalau menurut saya, tradisi seperti ini sangat posisitif terutama dalam menjalin silaturahmi antarwarga. Inilah kesempatan mereka untuk berkumpul selain hari Lebaran. Dan tak kalah penting adalah ngur-uri budaya Jawa," katanya.
Selain di daerah Jawa Tengah, masyarakat pesisir pantai utara, seperti Cirebon juga mengenal nyadran. Di Cirebon, nyadran dikenal sebagai upacara buang saji ke lautan lepas. Tujuan utama dari upacara ini adalah rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas hasil tangkapan ikan yang berlimpah karena masyarakat di sini sebagian besar nelayan.
(Diantika PW/Moch Kundori/CN27)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/22 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar