TEMPO, Edisi 17/09 23 Jun 1979 Halaman 13
EDDY Slamet lega. Sekarang ia sudah mulai lagi makan jeroan. Setahun suntuk sejak 21 Juni 1978, Bupati Blitar itu pantang makan nasi dengan lauk kegemarannya yang gurih itu. Kenapa? Ia rupanya punya nazar tidak makan jerohan sampai pemugaran makam Bung Karno selesai seluruhnya. Dan 21 Juni 1979 lalu, pemugaran makam Bung Karno jadi diresmikan oleh Presiden Soeharto, tepat 9 tahun lebih sehari wafat Proklamator itu.
Presiden sendiri tidak menginap di Blitar. Setelah selesai meresmikan makam, kembali ke Jakarta. Sedang keluarga Bung Karno di Jakarta sejak semula sudah menyatakan tidak akan berangkat ke Blitar. "Kita sejak dulu kan tidak ikut-ikut dengan soal pemugaran itu. Dan kita tetap konsisten dengan sikap itu," kata Guntur kepada TEMPO via telepon bulan lalu.
Pemugaran itu sendiri sudah rampung 100% pertengahan Mei lalu. Bangunan itu tampak megah. Gapuranya yang dirancang berbentuk candi Penataran, membuatnya jadi khas Jawa Timur. "Memang diusahakan agar semuanya khas, bahkan khas Blitar," ujar Eddy Slamet. Hampir semua detail bangunannya persis seperti rencana semula. Hanya taman bunga yang rencananya terdiri dari mawar merah dan melati putih bak bendera republik, warna putihnya tak jadi dari melati tapi mawar.
Memang bisa difaham kalau dalam peresmian 21 Juni pun khalayak berjubel. Cuma mereka tak mungkin bisa menikmati bangunan megah makam Bung Karno itu. Kecuali orang tertentu, yang lain dilarang masuk kompleks makam.
Bahkan untuk masuk kota Blitar pun, kecuali mobil para pejabat tinggi, jangan berharap bisa lolos.
Di saat-saat peresmian itu khalayak ramai jalan kaki masuk kota. Lalulintas macet dan hubungan darat pun putus. Karena itu Pemerintah Daerah sudah menyediakan keperluan pokok seperti minyak supaya tidak terjadi goncangan harga. Penduduk juga sudah dianjurkan menyediakan kebutuhan pokok sehati-hari untuk selama 2 hari.
Malam sebelumnya, di rumah Ibu Wardoyo di jalan Sultan Agung diselenggarakan pembacaan doa tablil. Tak kurang dari 40 ulama terkemuka dari Jawa Timur hadir. Dan malam itu juga di halaman rumah kakak Bung Karno itu dipergelarkan wayang kulit semalam suntuk dengan lakon "Kresno Gugah." Dalangnya dalang muda dari Sala, Ki Anom Suroto.
Lakon seperti itu sengaja dipilih. Seperti penafsiran Pak Kiran -- dukun terkenal dari desa Sukosewu, Blitar-lakon itu melambangkan "bangkitnya pikiran rakyat secara benar dalam menilai siapa sebenarnya Bung Karno." Adalah Pak Kiran, satu di antara sedikit orang, yang menjelang peresmian pemugaran itu bebas keluar masuk makam yang tertutup rapat itu.
Seperti peringatan sewindu wafat Bung Karno tahun lalu, malam 21 Juni itu di kompleks rumah Ibu Wardoyo juga dipergelarkan kesenian Bali oleh keluarga Bung Karno dari Pulau Dewata. Dan peristiwa itu juga dimanfaatkan oleh dua pelukis Jember dengan mereproduksi lukisan Bung Karno. Sudah sebulan mereka mengontrak sebuah rumah penduduk yang dirubahnya jadi studio. Ibu Wardoyo sendiri sudah 4 bulan tidak keluar rumah. Ia sakit.
"Tapi sekarang saya sudah agak sehat. Saya senang, justru semakin dekat peresmian semakin sehat," katanya seminggu sebelum peresmian. Ia memang sangat ingin hadir di makam pada saat peresmian. Dan karenanya, kondisi kesehatannya sangat dijaga.
Dalam usia menjelang 81 tahun, Ibu Wardoyo memang terlalu sibuk menerima banyak tamu tahun-tahun terakhir ini. Akan halnya pengelolaan makam itu setelah diresmikan, Bupati Eddy Slamet belum bisa menjelaskan. "Yang pasti, juru kuncinya harus orang yang bisa 4 bahas: Inggeris, Perancis, Belanda dan Jepang," katanya.
Sumber Berita : http://www.djaloe.com/2009/09/
0 komentar:
Posting Komentar