BULAN suci Ramadan 1432 H tinggal beberapa hari lagi. Telah menjadi persoalan klasik, umat Islam, termasuk di Indonesia, selalu dihadapkan pada pertanyaan kapan Ramadan dimulai, yang implikasinya kapan pula Ramadan berakhir (atau kapan Hari Raya (Idul) Fitri berlangsung).
Fakta sejarah gamblang memperlihatkan penentuan awal bulan suci Ramadan dan dua hari raya senantiasa diwarnai perbedaan, yang bisa berselisih satu hingga dua hari dalam satu wilayah administratif yang sama. Belum ada langkah maju untuk mengatasi perbedaan semacam ini. Yang lebih menonjol justru upaya-upaya memahaminya sebagai suatu hal khilafiah tanpa mencoba menyelesaikannya, baik dalam tataran praktis maupun strategis, baik dalam ranah teknis maupun ideo-sosiologis.
Publik Indonesia sering menyebut faktor utama perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Hisab diterjemahkan sebagai pemodelan matematis pergerakan benda langit, khususnya Bulan dan Matahari, sehingga posisinya setiap saat bisa diestimasikan dengan akurasi tinggi.
Sementara rukyat merupakan observasi benda langit khususnya Bulan dan Matahari secara sistematis sehingga menghasilkan data-data posisi yang bisa diperbandingkan dengan observasi sebelum atau sesudahnya.
Antara hisab dan rukyat sering dianggap sebagai dua hal terpisah antara satu dengan yang lainnya. Pihak yang mempedomani hisab mengukuhkan pendapatnya dengan justifikasi sejumlah dalil, baik merujuk Alquran maupun hadis. Demikian pula pihak yang mengukukuhi rukyat menjustifikasi pendapatnya dengan cara yang sama.
Namun akar masalahnya ternyata bukan pada hisab atau rukyat. Dalam perspektif ilmu falak, hisab dan rukyat sebenarnya satu kesatuan tak terpisahkan, ibarat dua sisi dari sekeping uang logam yang sama. Hisab menyajikan prediksi posisi yang bermanfaat dalam pelaksanaan rukyat, dan sebaliknya rukyat pun menyajikan data-data posisi yang bisa dikomparasikan dengan hisab. Menceraikan hisab dari rukyat ataupun sebaliknya adalah mencederai semangat dasar keilmuan yang telah dibangun cendekiawan muslim dalam kurun waktu demikian panjang.
Akar masalahnya terletak pada tiadanya definisi tunggal tentang hilal. Jika kita mengambil analogi dalam penentuan waktu shalat, misalnya penentuan awal waktu zuhur, tampak jelas antara hisab dan rukyat tidak menimbulkan ''keributan'' karena menghasilkan waktu yang sama. Ini disebabkan adanya definisi tunggal dalam awal waktu zuhur, yakni tergelincirnya Matahari, atau dalam ranah teknis adalah kala Matahari tepat meninggalkan transit atau titik kulminasi atas dalam peredaran semu hariannya, sehingga hisab awal waktu zuhur dengan rukyat awal waktu zuhur senantiasa menyajikan hasil identik.
Kesatuan tersebut belum dijumpai dalam penentuan awal bulan Hijriah, karena masih terdapat perbedaan di antara umat Islam dalam mendefinisikan hilal. Secara harfiah, hilal diterjemahkan sebagai Bulan dengan bentuk/fase sabit yang sangat tipis setelah terjadinya konjungsi Bulan-Matahari (ijtima'). Namun secara teknis, belum ada rumusan baku bagaimana elemen posisi Bulan yang berkedudukan sebagai hilal tersebut.
Di Indonesia, secara umum terdapat dua hipotesis (pendapat), yakni hipotesis wujudul hilal dan hipotesis imkan rukyat. Hipotesis wujudul hilal menyatakan hilal adalah Bulan pascakonjungsi yang terbenam lebih lambat dibanding Matahari, atau memiliki Lag > 0 menit (Lag = waktu terbenamnya Bulan dikurangi waktu terbenamnya Matahari). Secara singkat, hipotesis ini menyatakan hilal sudah wujud (ada) pada Lag > 0 menit.
Sementara hipotesis imkan rukyat tidak hanya mensyaratkan Bulan terbenam lebih lambat dibanding Matahari, namun juga mengakomodasi sifat optis atmosfer Bumi sehingga menyatakan hilal adalah Bulan dengan umur minimal 8 jam pasca konjungsi dan tinggi tampaknya (maríi) 2o, atau memiliki Lag > 16 menit. Singkatnya, hipotesis ini menyatakan hilal baru terlihat jika Lag > 16 menit. Dari beda hipotesis ini, antara yang wujud dan yang terlihat, jelas bahwa jika Bulan memiliki Lag 16 menit, maka perbedaan akan terjadi.
Definisi Tunggal Hilal
Kalender Hijriah adalah kalender Bulan murni, yakni kalender yang hanya berbasis pada peredaran aktual Bulan mengelilingi Bumi. Dasar-dasar kalender telah diatur Allah SWT dalam sejumlah firman-Nya, termasuk korelasinya dengan sistem kalender Matahari (Syamsiyyah). Namun aspek operasionalnya merupakan hasil kesepakatan dan keputusan manusia dengan tetap merujuk pada ketentuan-Nya dan sabda Nabi saw. Termasuk di dalamnya adalah bagaimana membentuk definisi tunggal akan hilal. Dalam konteks inilah, cendekiawan muslim, khususnya di bidang ilmu fikih dan falak perlu bertemu secara rutin (misalnya dalam suatu konferensi/temu ilmiah rutin) untuk berbagi hasil-hasil penelitian terbaru, menyusun standardisasi istilah (terminologi) dan besaran bersama, memperbaiki metodologi, baik pada sisi hisab maupun rukyat serta merumuskan definisi ad-hoc sebagai tangga pertama ke arah definisi tunggal tentang hilal. Tidak kalah pentingnya adalah menyampaikan hasil-hasil pertemuan tersebut ke publik sekaligus melakukan edukasi terkait dengannya. Sebab, meski selama ini telah berlangsung forum yang mirip seperti Temu Kerja Hisab dan Rukyat Nasional, namun hasil-hasilnya sering tidak bisa diakses. Padahal di era multimedia ini, di satu sisi, penyebaran informasi adalah hal yang mutlak, sementara di sisi lain, secara teknis hal itu lebih mudah, cukup memasang sebuah laman/situs.
Definisi tunggal hilal yang ideal tentulah tidak semata berdasarkan pada asumsi dengan sekian banyak idealisasi dengan Bulan hanya dalam imajinasi, melainkan yang sesuai dengan kondisi Bulan sebenarnya.
Jika dilihat melalui perspektif ilmu falak, dengan definisi hilal sebagai objek yang bisa dilihat mata, maka riset Sudibyo (2009, 2010, 2011) berdasarkan basis data visibilitas hilal Indonesia, menyimpulkan hilal adalah Bulan dengan Lag antara 24 hingga 40 menit. Konsekuensinya, keterlihatan hilal tak hanya bergantung pada tinggi maríi-nya saja, namun juga dipengaruhi selisih jarak mendatar (beda azimuth) Bulan dan Matahari. Bila pada beda azimuth 7,5o tinggi Bulan minimal 3,6o maka tingginya terus bertambah seiring mengecilnya nilai beda azimuth sehingga pada beda azimuth 0o tinggi Bulan minimal 9,4o. Pola ini ternyata tidak hanya dijumpai di Indonesia, melainkan bersifat global meski terbatas hanya di daerah tropis.
Rumusan empiris yang disebut kriteria RHI ini adalah konsekuensi terlihatnya hilal sebagai kombinasi tiga faktor simultan: posisi Bulan dan Matahari, sifat optis atmosfer Bumi dan terbatasnya resolusi mata manusia. Kriteria ini sekaligus menegaskan, baik hipotesis wujudul hilaal maupun imkan rukyat saat ini tidak memiliki bukti kuat, sehingga secara ilmiah gugur dengan sendirinya.
1 Ramadan 1432 H
Konjungsi Bulan dan Matahari secara geosentris akan terjadi pada Minggu, 31 Juli 2011, pukul 01:40 WIB. Di seluruh wilayah Indonesia, pada saat Matahari terbenam di hari yang sama umur Bulan sudah 14 jam hingga 17,2 jam pascakonjungsi, dengan Lag bervariasi antara 24 menit hingga 27 menit dan tinggi Bulan pun bervariasi antara 4,6o hingga 6o. Kriteria RHI menunjukkan visibilitas, yakni garis yang membatasi kawasan yang mampu dan yang tidak mampu melihat hilal, melintas di Samudera Pasifik sebelah timur dan timur laut Indonesia. Komparasi dengan kriteria visibilitas lainnya yang bersifat global seperti kriteria Audah (Odeh) menyimpulkan hal yang sama. Dengan demikian, bilamana kondisi langit sempurna (cerah tak berawan), maka hilal Insya Allah akan terlihat dari Indonesia asalkan rukyat dilakukan dengan bantuan alat optik (teleskop atau binokuler). Dengan demikian, sidang itsbat Kementerian Agama RI kemungkinan besar akan menetapkan 1 Ramadan 1432 bertepatan dengan hari Senin 1 Agustus 2011. (24)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/25 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar