SIFAT mendasar yang sangat melekat dalam diri perempuan adalah sifat pengasih dan penyayang. Kedua sifat ini saling mengait membentuk diri perempuan menjadi sosok yang paripurna, karena semua potensi dirinya melekat dalam sifat tersebut. Baik kecerdasan, emosi, dan kreativitas melekat dalam sifat pengasih dan penyayang. Untuk menjadi pengasih dan penyayang, tidak cukup hanya dengan emosi saja, tetapi juga butuh nalar dan gerak kreativitas.
Dari sinilah saya ingin sedikit menyegarkan suasana pemaknaan cinta yang dimiliki perempuan. Jika Lintang Ratri mengatakan bahwa ’’Cinta kemudian direduksi sebagai kepatuhan, ketidakberdayaan, sebagian meyakininya sebagai keikhlasan, nrima ing pandum. Setelah menikah, perempuan seolah tidak butuh lagi pernyataan cinta, mereka adalah robot-robot yang siap sedia melayani kebutuhan rumah tangga.’’
Saya memiliki pemikiran yang berbeda, bahwa dari cinta perempuan akan bisa memiliki kekuatan dan jiwa yang tangguh.
Kekuatan yang dimaksudkan adalah bahwa inilah ’’modal pribadi’’ dan ’’modal sosial’’ yang sangat berharga dalam diri perempuan. Cinta, kasih dan sayang merupakan anugerah yang patut disyukuri dan bukan dipersalahkan. Seharusnya dengan cinta ’’kekerasan simbolik’’, begitu kata Lintang Ratri, tidak akan terjadi. Ketika perempuan memaknai cinta seperti yang dimaknai oleh Lintang Ratri, maka jelas kekerasan akan menimpanya. Namun jika dimaknai dengan pemaknaan yang lebih positif, maka cinta adalah kekuatan.
Perempuan yang memiliki kekuatan cinta akan memberikan energi yang besar bagi suami dan anak-anaknya. Karena semua manusia tidak ada yang terlahir tanpa seorang perempuan (kecuali Adam as). Adam pun ternyata kesepian tanpa kehadiran perempuan, padahal ia hidup di surga, ia meminta Tuhannya untuk menciptakan seseorang yang bisa menemani kesepiannya. Diciptakanlah Hawa. Walaupun Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, yang mengandung arti bias bahwa banyak orang memaknainya dengan kelemahan bahkan ketidaksempurnaan seorang perempuan. Namun di sini kita menilik bahwa Hawa terlahir atas permintaan Adam (laki-laki). Berarti yang lemah dan merasa tidak sempurna tanpa perempuan adalah laki-laki.
Selain itu, kisah Khadijah yang memberikan kasih sayangnya begitu besar kepada Muhammad. Kala Muhammad mendapatkan wahyu pertama kali, ia gemetaran. Ia seolah tak kuasa menerima wahyu itu. Di saat itulah, kasih sayang Khadijah hadir. Dengan begitu lembutnya, Khadijah mengulurkan kasih sayangnya, sehingga Muhammad menjadi tenang dan tenteram. Muhammad mendapatkan energi yang luar biasa, sehingga makin kuat dirinya menerima wahyu yang datang setelahnya. Peran sosok Khadijah begitu besar dalam kesuksesan Muhammad. Inilah sosok perempuan yang penuh dengan kekuatan cinta.
Selain itu pemaknaan istri yang ditulis oleh Lintang bahwa ’’Pada saat kita menerima simbol ’istri’, maka melekat pula tuntutan norma sebagai istri dalam budaya patriarkat. Kita tentu akrab dengan istilah kanca wingking, atau jika itu dianggap terlalu klasik, maka kini tentu istilah ’suami sebagai imam’ telah diamini banyak perempuan. Meyakini suami sebagai imam menimbulkan konsekuensi yang secara langsung mensubordinasi perempuan.’’
Hal ini akan menambah pemaknaan sosok perempuan semakin terhimpit penuh penderitaan.
Studi gender bukanlah untuk membenci satu dengan yang lainnya ataupun mempersalahkan di antara laki-laki dan perempuan. Studi tentang gender adalah untuk mencari kesetaraan dan pemberdayaan. Budaya patriarkat selama ini bukan untuk disalahkan dan menjadi problem yang tidak kunjung tuntas, namun untuk mencari solusi yang terbaik untuk perempuan.
Sebagai perempuan memanglah akan menjadi istri yang harus siap mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Bagi saya semua itu bukanlah tugas, kewajiban ataupun tanggungjawab, namun semua itu adalah potensi dan anugerah terbesar perempuan, yang apabila perempuan tidak mensyukurinya maka potensi itu hanya akan terasa berat dan menjadi beban kehidupannya.
Perempuan itu sosok yang sangat potensial, baik dari sisi sosiologis, antropologis, maupun teologis.
Jangan Takut
Mengenai jatuh cinta, Lintang memaparkan bahwa ’’Erich Fromm, filsuf dan psikolog, penulis ’The Art of Loving’ menampar saya dengan kesadaran bahwa tidak ada yang namanya jatuh cinta, atau tak berdaya karena cinta.’’
Saya juga sedikit heran dengan pendapat Erich Fromm, tentang makna cinta. Namun namanya beda pendapat itu sah-sah saja. Saya punya referensi yang lebih sependapat dengan saya yaitu makna cinta menurut Kahlil Gibran.
Bagi Gibran, dijelaskan dalam bukunya yang berjudul ’’Cinta Keindahan Kesunyian’’, bahwa cinta mengarahkan manusia pada Tuhan, dan karena cinta pula Tuhan mempertemukan diri-Nya kepada manusia. Lantaran itu, dalam pandangan Gibran, cinta sesungguhnya adalah cinta atas nama Tuhan dan cinta kepada Tuhan itu sendiri, karena segala sesuatu adalah pantulan dan imanensi dari Sang Mahacinta.
Cinta kepada selain Tuhan, tetapi atas nama dan didasarkan pada Tuhan akan membawa manusia dan alam semesta kepada persekutuan dengan Tuhan.
Perempuan yang jatuh cinta berdasarkan karena Tuhan, maka Tuhan akan mengarahkannya ke dalam kebaikan. Layaknya seorang istri yang jatuh cinta kepada suaminya, itu tidak boleh hanya cuma sekali, namun jatuh cinta kepada suami harus setiap saat, setiap waktu, setiap apa pun keadaan suami. Sekarang perempuan bukan saatnya untuk selalu merasa lemah, termarginalkan ataupun tersubordinasi. Tetapi sekarang saatnya perempuan melakukan pemberdayaan sejak dari pikirannya. (24)
—Siti Muyassarotul Hafidzoh, ibu rumah tangga, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/07/179490/Perempuan-dan-Makna-Cinta-Sebenarnya
0 komentar:
Posting Komentar