Jakarta - Setelah kalah di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2012, sejumlah parpol yang dulunya 'menghujat' cagub incumbent Fauzi Bowo (Foke), kini berbalik merapat. Ada apa?
Mereka adalah PPP, Partai Golkar dan PKS. Pada putaran pertama, PPP dan Partai Golkar sama-sama mengusung pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono. Sementara PKS menjagokan Hidayat Nurwahid-Didik J. Rachbini.
Masih segar di ingatan publik saat pasangan Alex-Nono menghantam sang petahana di masa kampanye putaran pertama Pilkada DKI 2012. Saat itu, jago PPP dan Golkar ini kerap menyindir kinerja Pemprov DKI, salahsaunya soal survei CNN yang mengatakan Jakarta menempati peringkat tujuh kota paling dibenci di dunia oleh wisatawan.
"Harusnya malu dengan predikat ini. Semua bertanggung jawab, tetapi pasti ada satu yang lebih bertanggung jawab," sentil Alex saat menyampaikan visi misi di gedung DPRD DKI Jakarta, Minggu (24/6/2012) lalu.
Setali dua uang, pasangan yang diusung PKS, Hidayat-Didik juga pernah memuntahkan sindiran-sindiran pedasnya ke Foke. Di antaranya, saat Hidayat kampanye di Balai Rakyat, Matraman, Jumat (6/7/2012), yang mengajak warga Jakarta untuk memilih pemimpin yang tidak pernah dilaporkan ke KPK.
"Jangan memilih calon yang terang-terangan pernah dilaporkan ke KPK," ungkap mantan Presiden PKS itu.
Dari semua cagub DKI Jakarta, hanya Foke yang pernah dilaporkan ke KPK atas tuduhan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta oleh sang Wakil Gubernur, Priyanto.
Bukan hanya dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, Pada Pilkada DKI Jakarta 2007, PKS dengan calonnya saat itu, Adang Daradjatun juga kerap 'menghujat' Foke yang menjadi lawannya. Kala itu, banyak ungkapan dalam spanduk Adang yang menyerang kebijakan Pemprov DKI. Salahsatunya sindiran keadaan Jakarta yang sering banjir saat Fauzi Bowo menjabat sebagai Wakil Gubernur, "Juragan onta pasti tajir, Ngurus Jakarta kok Banjir".
Upaya tim Fauzi Bowo yang berusaha membangun citra dirinya sebagai "Sang Ahlinye" dalam menata Jakarta, juga disindir tim Adang dengan ungkapkan, "John Travolta makan kue cucur, Jakarta kok makin ancur. Ahlinye Kemane?". 'Pengeroyokan' koalisi 20 partai yang mendukung Foke di 2007, juga disindir tim Adang, "Tepok ame-ame, belalang kupu-kupu. Dikeroyok rame-rame, Bang Adang tetap maju".
Hujatan-hujatan para jago dari PPP, Golkar dan PKS itu kini berubah 180 derajat. Kini mereka beralasan, merapat ke Foke pada putaran dua karena memiliki kesamaan visi dan misi dengan Foke dalam membangun Jakarta. Lalu apa sebenarnya yang membuat mereka tak konsisten?
Bila melihat bocoran kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang dirilis Wikileaks, dukungan politik dari partai dalam Pilkada DKI Jakarta tak lepas dari 'mahar' miliaran rupiah. Seperti bocoran dokumen tertanggal 25 April 2007 yang khusus membahas mengenai praktik politik uang dalam Pilkada DKI Jakarta 8 Agustus 2007. Di situ disebutkan, politik uang berperan besar dalam semua pemilihan gubernur di Indonesia.
Berdasarkan informasi anggota DPP Partai Golkar Dadan Irawan, dokumen tersebut menyebutkan, calon gubernur ketika itu, Fauzi Bowo, membeli dukungan dari tiga dari empat partai terbesar di Jakarta seharga Rp 5 miliar untuk memenangkan Pilkada Jakarta. Ketiga partai tersebut adalah Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
"Dadan mengatakan Wakil Gubernur memberi minimal Rp 5 miliar kepada masing-masing partai untuk memperoleh dukungan, dan kemudian mengamankan dukungan 13 partai lain yang lebih kecil dengan harga yang bervarasi," tulis dokumen tersebut.
Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya menyatakan, kesepakatan mahar politik sudah menjadi rahasia umum bagi partai untuk menjalin hubungan koalisi dalam pagelaran Pilkada di manapun.
"Bukan hal spesial jika parpol-parpol itu akhirnya ikut berkoalisasi ke pasangan Foke-Nara. Mahar politik sudah jadi rahasia umum, meskipun perjanjian dalam kontrak politik tidak pernah diungkap," katanya kepada CentroOne.com di Jakarta, Senin (13/8/2012).
Mahar politik dalam koalisi kepartaian tidak pernah diungkap, lantaran menyangkut dengan pembiayaan operasional sebuah partai.
Sikap konsistensi dalam berkoalisi kepartaian itu sangatlah penting, apalagi melalui program perubahan untuk DKI Jakarta. Memang pasangan-pasangan calon yang diusung partai-partai besar, di putaran pertama menyuguhkan program-program untuk perubahan, tetapi jika dilihat dari hasil putusan parpol besar mendukung pasangan Foke-Nara, maka hal itu menjadi pertanyaan besar bagi konstituens mereka.
Sumber Berita : http://www.centroone.com/news/2012/08/3m/yang-dulu-menghujat-kini-merapat/
Kamis, 16 Agustus 2012
Yang Dulu Menghujat Kini Merapat
08.36
Slawi Ayu Cybernews, Terbit pada tanggal 10 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar