KEBIJAKAN pusat yang tak berpihak pada daerah membuat penderitaan petani bawang kian sulit. Bisa dibayangkan sejak digelontorkannya bawang impor di daerah sentra penghasil bawang, membuat petani lokal kalang kabut dalam memasarkan produknya. Hal ini seperti yang dirasakan puluhan petani bawang di Desa Sidapurna dan Sidakaton yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari tanaman bawang.
Sentra petani bawang merah Desa Sidapurna pun kini seakan hidup segan, mati tak mau akibat biaya tanam yang harus dikeluarkan tak sebanding dengan harga jual dipasaran.
Ustad Dahlan (40) salah satu petani bawang mengakui kejadian ini sudah berlangsung sejak Juli 2011 hingga sekarang yang juga belum menggugah kesadaran pusat, terhadap kegelisahan rakyat di daerah. "Bisa dibayangkan dengan lahan seperempat bahu petani mengeluarkan biaya minimal Rp 10 juta. Dengan hasil panen sekitar 15 kuintal hanya mampu meraih nominal senilai Rp 6 juta. "Itu kami alami sejak masuknya bawang impor Juli 2011hinga sekarang. Dan sebagian besar petani saat ini gulung tikar tidak bisa menjalankan usaha bertani bawang lagi lantaran terus merugi," cetusnya.
Hal senada juga dirasakan H Sabarito yang mengaku stok bawang merah digudangnya masih terlampau banyak yang kini harga dipasaran benar-benar anjlok hingga kisaran Rp 2000 per kilogramnya. Kegelisahan kurang lebih 80 persen petani Sidapurna itu membuat mereka menggelar rembug bersama dengan mengundang kepala Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan ( BP4K) guna menumpahkan semua jeritan dan derita yang mendera petani bawang. Ir Toto Subandrio pun tak menampik bahwa kebijakan pusat saat ini tidak berpihak pada petani di daerah. "Pemkab dalam hal ini tidak bisa memecahkan permasalahan yang menghimpit petani bawang. Yang bisa menyelesaikan memang ada sepenuhnya di pusat. Dimana bawang import seharusnya tidak didistribusikan pada daerah sentra penghasil bawang. Kadang saya berfikir pusat sudah salah dalam mengurus negara, salah urus kebijakan. Dan agar ada bergaining atau punya posisi tawar seyogyanya petani bawang disini bersatu membentuk asosiasi agar tuntutannya lebih bisa didengar. Dan antar asosiasi di daerah bisa merapatkan barisan dalam menyuarakan kegelisahan ditingkat pusat," tegasnya.
Dia sendiri mengaku sempat kehilangan akal untuk menjamin standarisasi harga bawang petani di daerah binaannya. Meski tak ditampiknya pusat sempat menggelontorkan dana stabilisasi harga bawang namun nominal itu tidak mampu untuk menangani semua kesulitan petani lokal yang ada.
Sementara itu ketua AP2 BM (Asosiasi Petani dan Pedagang Bawang Merah) Ir H Sunarto juga menyesalkan kebijakan pusat yang tidak mampu melakukan regulasi harga bawang. Diakuinya keluhan petani yang harus mengeluarkan biaya produksi Rp 4200 perkilogramnya saat ini produksinya hanya laku dipasarqan sekitar Rp 2000 perkilogramnya ditingkat petani. "Sebenarnya bawang impor itu masuknya untuk konsumsi perusahaan besar di bidang penghasil produk makanan instan, dan bukan membanjiri pasar lokal. Ini jelas teori kapitalis yang sengaja mengimpor bawang dari luar dan dilempar ke pasaran, agar bawang lokal anjlok. Ketika harga bawang lokal anjlok perusahaan itu bisa membelinya tanpa harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Ini mengingat kualitas bawang impor dan lokal jelas banyak diminati bawang lokal yang lebih wanti dan mempunyai citra rasa," terangnya.
Kondisi memprihaitnkan dengan patokan harga Rp 2000 hingga Rp 2500 perkilo gramnya saja saat ini, bawang lokal masih tidak laku, dan untuk bibit saja sulit sekali dipasarkan lantaran membanjirnya pasokan bawang impor dipasaran tradisional. Toto juga mengakui saat ini seolah-olah pemkab hanya dijadikan bemper oleh kebijakan pusat. "Kondisi riil dilapangan memang ada kecenderungan bawang import itu dipacking dan dikemas mirip dengan bawang lokal. Dan selisih harganya pun sangat tipis sekali. Kami prihatin bila hal ini tidak ada kemauan dari pusat untuk menertibkan dan membatasi masuknya bawang impor, petani pribumi akan terus tergerus dan tidak bisa lagi menjalankan aktifitasnya bertanam," cetusnya.
Dan bila pusat bisa membuat aturan masuknya bawang impor hanya diijinkan dalam bentuk bibit saja, dan tidak dierdarkan secara luas di pasaran, tentunya petani pribumi akan lebih terjamin usahanya dengan mendapatkan tataran harga yang lebih manusiawi. (hermas purwadi)
Sumber Berita : http://www.radartegal.com/index.php/Pemkab-Tak-Ingin-Dijadikan-Bemper-Pusat.html
0 komentar:
Posting Komentar