KEKERASAN dan agama sekilas mewujud sebagai entitas yang tidak saling meniadakan. Agama diyakini memberi panduan hidup bagi manusia, baik dalam hubungan dengan Sang Pencipta (vertikal) maupun sesama (horizontal). Kedua hubungan ini saling melengkapi, artinya seseorang tak bisa mengklaim berhubungan baik dan dekat dengan Tuhan bila ia menjadi asing bagi orang lain. Demikian pula, keimanan pada Yang Maha Kuasa merupakan sumber tuntunan hidup untuk senantiasa hidup selaras dengan ciptaan lain Tuhan.
Agama-agama mengajarkan sikap pluralistik. Kekristenan menempatkan perdamaian dan cinta kasih kepada sesama, bahkan kepada musuh sekalipun, sebagai ajaran utama. Muslimin meyakini Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan lil ’alamin), yang menegaskan sikap toleran terhadap keberbedaan. Penganut Buddha selalu mendaraskan harapannya agar semoga semua mahluk berbahagia (Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata) dalam kebaktian Theravada.
Kitab Bhagavad Gita yang dianggap suci oleh pemeluk Hindu menyamakan kesombongan, arogansi, kekerasan, dan kebencian terhadap orang lain, sebagai perilaku setan (asura pravritti). Namun terlepas dari ajaran-jaran luhur yang inklusif ini, sejarah mencatat bahwa pertumpahan darah dengan merohanikan kekerasan telah melumuri sejarah kemanusian.
Kejadian berbagai kerusuhan bernuansa agama di Indonesia membuat cita-cita kebhinnekaan dan keutuhan bangsa terancam. Belajar mengenai sikap toleransi atas perbedaan demi tujuan bersama, seperti dicontohkan oleh pendiri bangsa, kita semestinya bisa menjadikan negara ini sebagai tempat berpijak yang damai, pluralitas menjadi mozaik indah, dan keberbedaan bisa hidup berdampingan.
Penghargaan terhadap pluralitas keagamaan atau keyakinan dan penghindaran kekerasan dalam menyikapi keberbedaan tersebut dapat terbangun bila, pertama; ada kesediaan belajar tentang ’’yang lain’’. Salah satu pemicu buruk sangka dan salah paham antaragama adalah ketidakmengertian (ignorance) terhadap agama yang lain.
Seseorang yang terisolasi dalam keyakinan agamanya akan kesulitan membayangkan, apalagi memahami, adanya ’’cahaya kebenaran’’ dalam agama lain. Dia terpenjara oleh sikap keradikalan, dan cenderung mencari kambing paling hitam ketika menghadapi persoalan.
Peran Agama
Oposisi biner: kita benar mereka sesat; kita pengikut Tuhan sejati, mereka pengikut setan, sesat dan kafir; kita murni, mereka terkontaminasi, adalah dikotomi yang mengasah pedang perbedaan menjadi amat tajam. Belajar tentang agama lain tak berarti berpindah namun pencerahan untuk lebih memahami dan menghargai kepercayaan yang lain. Karena itu dialog keagamaan perlu lebih digalakkan.
Kedua; kehadiran pemerintah dan aparat untuk menegakkan hukum secara tidak diskriminatif. Salah satu keprihatinan terbesar bangsa ini adalah kenyataan akan ada dan tiadanya pemerintah. Kepercayaan pada pemerintah beserta aparatnya berada di titik nadir. Kekerasan terjadi karena ketidakmampuan penegak hukum menjalankan peran secara benar. Mereka kehilangan kewibawaan, tidak hadir ketika dibutuhkan, dan tak bisa memberi kepastian hukum.
Ungkapan keadilan yang ditundatunda adalah keadilan yang disangkal (justice delayed is justice denied) sangat tepat untuk menggambarkan kondisi kelambanan penegakan hukum saat ini. Karena itu, penegak hukum harus segera kembali kepada panggilan tugas untuk menegakkan hukum seadil-adilnya.
Mereka harus menjadi jalan keluar bagi masalah, dan bukan menjadi masalah itu sendiri. Kalau impotensi kewibawaan tetap dipelihara, makin terbukalah ruang luas bagi masyarakat yang frustrasi untuk memaknai realitas keadilan lewat tangan dan cara mereka sendiri. Ketika bangsa lain sedang giat membangun untuk kesejahteraan bersama, menyatukan kekuatan untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain, kita masih gaduh dengan diri sendiri. Pluralitas keagamaan di Indonesia semestinya bisa menjadi contoh menegasi pandangan yang sinis tentang peran agama bagi kemaslahatan manusia. Ruang-ruang apresiasi terhadap agama lain perlu dibuka untuk semua pihak.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memberi kepastian hukum untuk mengurangi frustrasi sosial. Pemuka agama, dunia pendidikan, dan orang tua perlu mempertegas fakta kebhinnekaan. Kekerasan dengan alasan apa pun, termasuk berdasarkan sentimen keagamaan, tidak bisa dibiarkan hidup di Indonesia. Merohanikan kekerasan atas nama Tuhan tidak boleh mendapat pembenaran dari sisi mana pun. Meneriakkan nama-Nya sambil menjadi malaikat maut harus terdengar sumbang bagi telinga jiwa yang waras. (10) – B Retang Wohangara, dosen Fakultas Sastra Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, kandidat doktor di Folklore Department Indiana University Bloomington AS
(/)
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/09/05/197741/Merohanikan-Kekerasan
Selasa, 04 September 2012
Merohanikan Kekerasan
22.12
Slawi Ayu Cybernews, Terbit pada tanggal 10 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar