WAJAR bila Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X merasa sakit hati. Pada tempatnya bila perasaan itu kemudian dikemukakan secara terbuka. Secara lisan pada acara penyerahan UU Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, Selasa (4/9).
Meski demikian, perasaan sakit Sultan itu dikemukakan secara santun. Beliau menyatakan, dirinya tidak <I>ngotot<P> soal dana keistimewaan. Jangan sampai ada pemahaman Yogya minta dana ke pusat sebagai pengganti karena Yogya pernah menjadi tempat penyelenggaraan pemerintah republik. Sultan kemudian menyayangkan adanya pernyataan Yogya dikira merampok. "Ada yang bicara Yogya dikira merampok, hati nurani saya sakit. Berarti tidak tahu sejarah DIY," tuturnya.
Siapa pun orangnya, apa pun jabatannya, penggunaan kata dan istilah 'merampok' oleh yang bersangkutan merupakan pernyataan yang tidak beretika. Dapat menghadirkan konotasi negatif -- bahwa Provinsi DIY secara sengaja memanfaatkan eksistensi UU Keistimewaan sebagai alat untuk 'mengambil' dana dari pemerintah pusat. Bisa menimbulkan asumsi, dana keistimewaan itu 'diambil' dengan cara yang tidak legal -- dan pemerintah pusat secara 'terpaksa' memberikan dana tersebut.
Padahal, seperti dikemukakan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri Djohermansyah, dana keistimewaan merupakan bagian dari klausul yang tercantum dalam UU Keistimewaan. Penggunaannya pun jelas, untuk membiayai lima hal pelaksanaan keistimewaan. Meliputi tata cara pengisian jabatan, kelembagaan pemerintah daerah, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Dengan demikian pemanfaatannya transparan. Siapa pun dan pihak mana pun dapat mengawasi dan mengontrol.
Benar kata Sultan, orang atau pejabat yang sampai melansir pernyataan 'Yogya merampok' mengindikasikan yang bersangkutan tidak tahu sejarah DIY. Terutama yang berkait dengan kesediaan dan keterbukaan Sultan Hamengku Buwono IX mempersilakan Pemerintah RI menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota republik dan pemerintahan. Dari Yogyakartalah eksistensi RI diperjuangkan dan berhasil dipertahankan -- sampai akhirnya Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RI.
Seperti Sultan, kita pun menyayangkan adanya orang atau pejabat yang membuat pernyataan tidak beretika seperti itu. Sekaligus merasa sakit hati karena secara vulgar dana keistimewaan dikonotasikan serta diasumsikan sebagai 'rampokan'. Padahal kata 'rampok' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka Depdiknas tahun 2005 diartikan sebagai 'orang yang mengambil dengan paksa dan kekerasan barang milik orang'.
Kita tidak tahu apakah pihak yang bersangkutan setelah mengetahui perasaan Sultan yang mereaksi pernyataannya, telah mengucapkan permintaan maaf. Atau atasannya sempat menegurnya, karena tidak sepantasnya seorang pejabat pemerintah sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak semestinya.*
Tajuk Rencana SKH Kedaulatan Rakyat edisi Jumat (07/09/2012)
Sumber Berita : http://krjogja.com/liputan-khusus/sorotan/1645/sultan-merasa-sakit-hati.kr
0 komentar:
Posting Komentar