Patutkah kita ”menyalahpahami” mudik Lebaran sebagai sebuah aktivitas romantik-spiritualistik yang tidak produktif? Tak sedikit pakar yang menganalisis, mudik -- dalam perkembangan dan tingkat keribetannya sekarang -- merupakan kegiatan yang kurang produktif, bahkan kurang rasional, apalagi jika dikaitkan dengan kalkulasi ekonomi: banyak di antara para pemudik yang selama setahun bekerja keras mengumpulkan uang di Ibu Kota, dan pada saatnya dicurahkan hanya untuk kembali, berlebaran di kampung halaman.
Kritik terhadap mobilitas sosial yang kolosal itu, sebenarnya lebih tepat diarahkan ke manajemennya, dalam hal ini mutu layanan pemerintah. Mudik ke daerah dan balik ke kota-kota tempat bekerja merupakan peristiwa rutin tahunan yang waktunya sudah pasti, rute dan moda transportasinya juga tetap. Yang pasti berubah tentu jumlahnya. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta boleh saja mengumumkan kebijakan pembatasan bagi para pendatang yang baru, namun nyatanya setiap tahun jumlah pemudik cenderung terus bertambah.
Terdapat dua sisi penting setiap kali berbicara tentang mudik. Pertama, inilah aktivitas sosial istimewa, yang dari sisi jumlah sulit mencari padanannya di negara mana pun, khusus untuk menyongsong Idul Fitri. Terlepas dari apa pun, mudik adalah kreasi yang harus dimaknai secara terhormat, karena bangsa ini bisa menemukan jalan mengekspresikan naluri silaturahimnya. Setelah setahun tenggelam dalam kesibukan kerja yang rutin dan berkompetisi secara keras, mudik Lebaran merupakan oase untuk mencairkan semuanya.
Selama setahun, kita terikat dalam rutinitas yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, seperti robot-robot hidup yang mati rasa. Maka, adanya ”ikatan”, ”kerinduan”, dan ”tanah kelahiran” atau ”kampung halaman” akan sejenak memalingkan kita untuk berjeda, tergerak mengungkap kembali nilai-nilai mengenai kehidupan, persaudaraan, dan tali yang mempertemukan semua. Momentum mudik memberi sentuhan agar kita tidak menjadi mati rasa, dan tidak terkunci oleh realitas persaingan hidup dalam meraih survivalitas.
Yang kedua, persoalan manajemen. Setiap tahun, realitasnya selalu muncul kesibukan luar biasa untuk melayani para pemudik, terkait dengan ketersediaan sarana transportasi, kualitas jalan, serta kenyamanan memeroleh akses menjelang dan selama dalam perjalanan. Produktif atau tidak produktif, bermartabat atau tidak bermartabat, perjalanan mudik dan balik akan ditentukan oleh kualitas unsur-unsur dalam pelayanan itu. Maka betapa menentukan peran pemerintah dalam penyelenggaraan mudik yang nyaman dan bermartabat.
Dua aspek besar itulah yang merupakan kunci untuk menyukseskannya, menjadi ”manajemen untuk melawan mati rasa”. Dengan mudik dan silaturahim, kita berusaha menemukan kembali hakikat kemanusiaan kita, sehingga tidak tenggelam dalam lilitan hidup yang serbamotorik dan serbamekanik. Pada sisi lain, pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kelancaran, keamanan, serta kenyamanan para pemudik sebagai bagian dari fungsi penyelenggaraan negara yang melayani dan menyejahterakan rakyatnya.
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/27/157420/10/
0 komentar:
Posting Komentar