JAKARTA- Menjadi hal ironis ketika pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium atau penghentian sementara pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi, Universitas Indonesia justru memberi gelar doktor honoris Causa (HC) kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz.
Menurut Koordinator Migrant Care Wahyu Susilo, Jumat (2/9), sangat tidak pantas gelar HC diberikan kepada Raja Arab Saudi yang tidak pernah melindungi hak asasi manusia.
”Sudah banyak TKI divonis mati. Dengan alasan apa pun, anugerah tersebut sangat menyakiti hati TKI korban kekerasan bahkan tervonis mati di Arab Saudi,” kata Wahyu.
Pernyataan senada juga disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Ashar. Menurutnya, Rektor UI Gumilar Rusliwa Somantri tidak pantas memberi gelar doktor HC kepada Raja Abdullah karena masih memberlakukan hukuman mati pancung kepala untuk pelaku tindak pidana. Apalagi yang banyak menjadi korban adalah warga Indonesia.
Menurut Haris, seorang pejabat setingkat rektor seharusnya paham bahwa hukuman mati bertentangan dengan konstitusi Indonesia maupun semangat penghormatan dan perlindungan HAM secara universal. ”Seharusnya Gumilar Sumantri tidak memberikan gelar tersebut, tapi membuat evaluasi pengiriman TKI dan memikirkan apa tanggung jawab UI bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia sehingga dapat mengurangi pengiriman TKI,” papar Haris.
Dalam pernyataannya, Gumilar menyatakan prosedur pemberian doktor HC kepada Raja Abdullah sudah sesuai aturan baku. Pemberian gelar itu dilakukan di Istana Al-Safa, Jeddah, pada 21 Agustus lalu. Prosesnya mulai dari usulan hingga perdebatan di tingkat komite tetap yang terdiri atas para guru besar.
Hasil pembahasan itu mencapai sebuah keputusan untuk memberikan gelar. Pertimbangan yang menjadi acuan antara lain jasa raja terhadap pembangunan Islam di Indonesia.
Raja Abdullah pernah membantu menyelesaikan pembangunan Masjid Arief Rachman Hakim di Salemba.
Raja juga membantu korban tsunami Aceh sebagai donatur terbesar. Pertimbangan lain adalah Raja Arab Saudi dianggap memiliki pemerintahan yang realistis dan visioner. Dia juga dipandang aktif dalam misi perdamaian di Palestina.
Dirjen Menyayangkan
Tanggapan keras juga disampaikan Kementerian Pendidikan Nasional yang meminta pihak kampus mempertimbangkan kondisi lain di luar penilaian akademis dalam pemberian gelar doktor honoris causa (HC). ”Meski tokoh tersebut telah memenuhi kriteria akademis dan prosedur yang telah ditentukan, perguruan tinggi harus mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan politik sebelum memutuskan untuk memberi gelar tertentu terhadap seorang tokoh,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Djoko Santoso.Dia menyayangkan bila pemberian gelar doktor HC kepada Raja Abdullah benar terjadi. Pasalnya, paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam pemberian gelar maupun penghargaan.
”Pertama, tentu kriteria akademik. Kedua, perlu memperhatikan faktor kondisi budaya, sosial, dan politik yang terjadi di dalam negeri. Terlebih bila gelar tersebut diberikan kepada tokoh dari luar negeri. Ada kondisi-kondisi yang sebaiknya dipertimbangkan, jangan asal memberi,” tuturnya.
Hal penting lain yang harus diperhatikan dan berlaku secara umum adalah pemberian penghargaan dilakukan di dalam kampus. ”Jadi, bukan pihak kampus yang mendatangi pihak yang diberi gelar,” jelas dia.
Secara teknis memang ada prosedur internal di masing-masing perguruan tinggi yang harus dihormati. Namun, dia kembali mengingatkan agar kampus juga mempertimbangkan aspek lain.
Djoko mengaku kecewa, apalagi dia memiliki perasaan yang sama dengan masyarakat terkait kondisi hubungan Indonesia-Arab Saudi di bidang tenaga kerja migran.
”Saya belum melakukan konfirmasi kepada pihak UI, nanti saya konfirmasi dulu kepada yang bersangkutan. Sekarang masih suasana Lebaran. Jadi saya memang belum menanyakan hal ini kepada UI,” terangnya. (D3, H28-65)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/03/157866/
0 komentar:
Posting Komentar