LEBARAN bagi masyarakat Jepara tidak hanya sebagai momentum saling bermaaf-maafan antarkeluarga dan tetangga. Dalam Riyaya itu, lahir tradisi yang memiliki daya tarik kuat bagi masyarakat Bumi Kartini dan masyarakat kabupaten sekitar, untuk ikut memeriahkannya.
Memanfaatkan lokasi wisata pantai, muncul tradisi lomban yang merupakan bentuk rasa syukur masyarakat pesisir atau nelayan, dengan melarungkan kepala kerbau ke lautan. Acara larung kepala kerbau itu dilangsungkan pada H+7 Idul Fitri. Tradisi itu dimulai pagi hari untuk mengawali kegiatan masyarakat menikmati pemandangan pantai.
Menikmati pemandangan pantai merupakan bentuk perenungan atas ciptaan Allah yang Maha Besar. Dengan melihat pantai serta menaiki kapal-kapal nelayan yang sudah disiapkan, diharapkan bisa mempertebal rasa iman terhadap agungnya Sang Pencipta. “Intinya makna kegiatan larung kepala kerbau atau juga bisa disebut sedekah laut, adalah ungkapan rasa syukur setelah mencari nafkah setahun penuh,“ kata Sholikul Huda, pembina Sanggar Kreatif Kalinyamat.
Meski tradisi lomban bermula dari masyarakat nelayan, Huda melihat kondisi sekarang sudah tidak seperti itu. Lomban di Jepara sudah menjadi milik seluruh masyarakat Jepara, termasuk beberapa daerah sekitarnya. Itu ditunjukkannya dengan pelaksanaan festival kupat lepet, dalam acara ritual lomban sejak lima tahun lalu.
Sholikul yang juga penggagas festival kupat lepet mengungkapkan, perpaduan festival kupat lepet dan lomban yang menjadi gawe Jepara, diharapkan mewakili masyarakat Jepara yang berada lereng Gunung Muria. “Dalam waktu yang sama kalau masyarakat pesisir itu menyebut lomban, sedangkan masyarakat Jepara yang di pegunungan menyebutnya bodo kupat,“ jelasnya.
Dengan kondisi itu, adanya festival kupat lepet menunjukkan kegaiatan lomban bukan hanya milik masyarakat pesisir. Huda lantas menjelaskan festival kupat lepet yang dalam kegiatannya terjadi rebutan masyarakat untuk mendapatkannya juga memiliki makna penting. “Kupat itu bermakna mengaku lepat atau mengaku salah, sedangkan lepet itu dipepet atau diikat sehingga kembali ke nol. Jadi ada makna yang bisa diambil dari simbol kupat dan lepet,“ tutur Huda.
Kemudian untuk seluruh kegiatan lomban tersebut mengandung doa untuk meminta keselamatan kepada Allah SWT. Untuk yang dilarung kepala kerbau itu merupakan bentuk tradisi. Kemudian untuk kupat lepet hingga sekarang juga muncul kepercayaan soal kesakralannya.
Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jepara, Eko Kasiono menjelaskan kegiatan lomban akan dilangsungkan pada 6 September dengan rangkaian kegiatan, ziarah ke makam Cik Lanang di Pemandian Pantai Kartini pukul 16.00.
Dilanjutkan ziarah ke makam Ronggomulyo Ujungbatu Kecamatan Kota Jepara. Pada Senin (5/9) malam dilangsungkan pagelaran wayang kulit di TPI Ujungbatu. Kemudian pada Selasa (6/9) dilakukan ritual larung kepala kerbau di TPI Ujungbatu sekitar pukul 07.00. Setelah itu kegiatan di Pantai Kartini untuk festival kupat lepet.
Seniman Senior Jepara, Ari Jatmiko mengungkapkan, ke depan perlu terus ada inovasi sehingga lomban Jepara semakin menarik. Dia lantas menunjuk kegiatan festival kupat lepet merupakan tambahan. Pada tahun 1970-an, seniman-seniman senior pernah mengadakan kegiatan tambahan kemudian vakum dan kini telah dilanjutkan lagi.
Zamroni Lestiaza, Kabid Pengembangan dan Pengelolaan Pariwisata Disparbud Jepara menjelaskan, pada tahun ini penyelenggaraan lomban dikonsentrasikan pada tiga tempat, yakni Pantai Kartini, Pantai Bandengan, dan Pantai Benteng Portugis. Pemkab Jepara mengalokasikan anggaran operasional untuk lebaran tahun ini sebesar Rp 290 juta.
Dengan alokasi itu, masyarakat yang berkunjung ke objek-objek wisata pantai, bisa menikmati hiburan tanpa ada penambahan biaya tiket masuk. Biaya masuk selama syawalan atau lomban dari 31 Agustus hingga 6 September sebesar Rp 8 ribu untuk dewasa dan Rp 7 ribu untuk anak-anak. Itu berdasar Perda sehingga tidak boleh melebihi itu. (79)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157506/
0 komentar:
Posting Komentar