Tenong merupakan wadah makanan yang terbuat dari anyaman bambu berbentuk bundar, di dasar dan sampingnya berupa bilah bambu tipis yang dilingkarkan. Biasanya dilengkapi tutup yang terbuat dari anyaman bambu pula. Tradisi ini digelar pada hari pertama Idul Fitri. Usai Shalat Id dan bersalaman saling memaafkan, warga pulang mengambil tenong yang berisi makanan istimewa di rumah dan kembali ke masjid.
Dalam tenong itu berisi nasi dari beras terbaik, yakni rajalele dan dibentuk menjadi penggel (gunungan kecil). Ada pula gulai ayam dengan santan yang kental dan ayam goreng, sambal goreng tempe dan tahu, telur rebus, petai rebus mlenthis, rempeyek yang renyah, lalapan bunga kecombrang (burus) sebagai hiasan, serta tidak ketinggalan sambal terasi yang sangat pedas. “Bagi masyarakat desa, dulu makanan itu sudah sangat istimewa,“ kata budayawan Banyumas asal desa tersebut, Ahmad Tohari.
Di serambi masjid, ratusan warga duduk bersila membuat lingkaran besar. Setelah berdoa, tenong yang berada di hadapan warga digeser ke kanan dua atau tiga kali, sehingga si pembawa tenong akan mendapatkan tenong milik tetangga yang duduk di sebelah kiri, dan tenong yang dibawa akan berada di hadapan orang yang duduk di sebelah kanan. “Setelah itu, barulah mereka makan bersama. Karena itulah warga berlomba-lomba membuat sajian terbaik,“ lanjutnya.
Dengan diputarnya tenong itu melambangkan sebuah kebersamaan, guyub, keakraban, dan kedekatan warga masyarakat. Semua mendapatkan jamuan istimewa dari tetangga. Biasanya isi tenong itu tidak habis, dan di sinilah saatnya anak-anak tampil. (Ryan Rachman-79)
Sumbe Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157503/
0 komentar:
Posting Komentar