PUASA Ramadan akan segera berakhir. Lebaran sudah di depan mata. Bagi Sulam (17), merayakan Lebaran berarti balas dendam setelah selama sebulan terakhir ia berusaha menjaga pola makan dan minum. Dendamnya akan segera ia tuntaskan dengan ketupat dan opor ayam, sambal goreng hati, dan berbagai camilan manis yang biasanya akan banyak disajikan di Hari Idul Fitri.
Remaja asli Magelang tersebut tak terlalu ambil pusing, apakah ”balas dendam”-nya itu baik untuk kesehatan tubuh atau tidak. ”Makan nggak sehatnya kan cuma setahun sekali! Jadi, saya pikir, nggak kenapa-kenapa,” elaknya. ”Habis itu kan bisa diimbangi dengan olahraga,” lanjut mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut, lalu terkekeh. Tak ada sedikit pun rasa khawatir di air mukanya.
Hal itu jelas berbeda dengan Hanik Pertiwi (34). Sejak tiga tahun belakangan, perempuan berdarah Sunda tersebut tak pernah lagi menghadirkan menu opor, sirup-sirupan, es krim, dan pelbagai camilan manis di rumahnya pas lebaran. Nah, sebagai suguhan keluarga dan tamu, ibu dari Nada Bening (6) dan Lantang Swara (10) itu menggantinya dengan makanan-makanan kaya serat, sari buah, puding dan agar-agar, serta buah-buahan.
”Awalnya keluarga saya protes. Para tamu juga sering bingung. Tapi, setelah dijelaskan, akhirnya mereka sepakat. Malahan, kini beberapa tetangga menerapkan hal yang sama dengan saya di rumah mereka masing-masing.”
Perubahan menu hidangan Hari Raya itu dipicu oleh kejadian kurang menyenangkan yang pernah dialami Hanik dan suaminya, Prabu (38), tiga tahun silam. Kala itu hari H Lebaran. Layaknya keluarga lain yang merayakan lebaran, keluarga Hanik pun menyajikan banyak makanan rendah serat, kaya lemak.
”Sore hari, Mas Prabu tiba-tiba pingsan setelah sempat mengeluh sakit kepala. Nah, pas diperiksa dokter, ternyata tekanan darahnya sangat tinggi. Padahal selama puasa, Mas Prabu ndak pernah mengeluh sakit kepala, apalagi sampai kambuh hipertensinya,” kenang Hanik. ”Acara mudik terpaksa gagal deh,” sesalnya.
Ternyata, penyebabnya adalah kebelumsiapan tubuh Prabu untuk menerima makanan yang sulit dicerna tubuh.
Maka, pascakejadian itu, menghadirkan asupan penuh gizi dan serat pas Lebaran di rumah adalah kewajiban bagi Hanik. Di samping mengimbangi suguhan dari luar yang biasanya ”kurang sehat”, makanan yang disajikan perempuan murah senyum itu juga berfungsi sebagai ”jembatan”, dari puasa ke tidak puasa.
”Berdasarkan pengalaman suami dan beberapa referensi, saya jadi tahu, saat puasa organ pencernaan kita ’libur’ lebih lama. Jadi, sewaktu diminta untuk kembali bekerja penuh, organ-organ tersebut pasti bakal ’kaget’. Nah, guna membiasakan, makanan yang mudah dicerna dan berserat tinggi bisa menjadi solusi,” papar Hanik.
*****
Pendapat Hanik mungkin benar. Pendapat Sulam juga sepertinya tidak salah. Olahraga dan menambahkan serat adalah bagian penting dalam menjaga kondisi badan agar tetap stabil selama masa peralihan setelah ”bulan wajib puasa” berakhir.
Seperti dikatakan Hanik, ketika seseorang berpuasa, saluran pencernaan beserta enzim-enzim dan hormon pencerna makanan diistarahatkan. Yang biasanya sistem pencerna makanan bekerja terus-menerus bekerja selama 18 jam, kini bisa berisitrahat selama kurang lebih 14 jam.
Nah, ternyata, saat seseorang berpuasa, berbagai macam penyakit kambuhan biasanya dapat lebih terkendali. Bagi Anda yang berpuasa Ramadan, fase awal puasa tentu menjadi fase terberat dalam puasa Anda selama sebulan. Lapisan lidah kita terasa lebih tebal dan napas berbau lebih menyengat. Pasalnya, pada saat itu tubuh tengah mengeluarkan sejumlah besar racun, melalui aliran darah, pori-pori tubuh, dan lewat organ pembuangan lain.
Setelah itu, proses pembersihan tubuh disempurnakan. Lemak tubuh tak bermanfaat dan racun-racun mulai dikeluarkan tubuh dalam bentuk sel-sel sakit, sel mati, lapisan lendir menebal di dinding usus, dan limbah aliran darah. Limpa, hati, dan ginjal adalah organ yang ”bergerak” membersihkannya. Kemudian, saat beban racun tubuh berkurang, kinerja tiap sel pun jadi lebih efisien.
Dokter spesialis gizi klinis, dr Niken Puruhita MMedSc SpGK, mengungkapkan, saat seseorang berpuasa, ada tahap kala tubuh mulai menggunakan sumber energi dari dalam tubuh sendiri. ”Pada tahap awal, energi yang ’dipecah’ adalah cadangan glikogen, lalu diikuti sedikit cadangan protein, dan disusul jaringan lemak,” terang dokter mitra di RS Telogorejo Semarang tersebut.
Pemakaian cadangan lemak memungkinkan adanya proses detoksifikasi, karena beberapa toxin (racun) yang semula terikat dalam lemak ikut terbuang. Dari lemak yang terpakai tersebut, sebuah penelitian di Amerika menunjukkan, puasa membawa dampak positif mampu mengendalikan beberapa parameter sindrom metabolik seperti gula darah dan kolesterol.
Sayangnya, Ramadan hanya sebulan. Dan, ketika bulan puasa usai, ”masa cuti” organ-organ tubuh itu tentu saja harus rampung pula. Apa jadinya?
Yang pasti, sesuatu yang semula teratur tentu akan menjadi semrawut saat ”kekang” yang membuatnya teratur mengendur. Pun halnya dengan puasa. Ketika kekang yang mengendalikan tubuh kita kendur, kesehatan tubuh kita pun jadi ikut longgar. Apalagi jika diperparah oleh asupan yang terhitung sulit untuk ”diolah”.
Perubahan kesehatan yang signifikan terjadi biasanya lebih disebabkan karena asupan makanan yang cenderung berlebih. Acara makan dan ngobrol bersama pas Lebaran juga biasanya menjadi ”kejam”, karena apa yang kita makan, kebanyakan adalah ”racun” bagi tubuh.
Lihat saja, para penderita kencing manis tentu kadar gula darahnya akan menjadi tidak terkendali, atau seorang penderita maag menjadi lebih sering merasa nyeri dan panas di ulu hati. Semuanya karena ”racun” berwujud opor ayam, camilan manis, dan aneka minuman berkadar gula tinggi.
Solusinya? ”Tentu saja sajian sayur dan buah-buahan tetap menjadi cara jitu sebagai penyeimbang, karena mengandung banyak serat,” papar dokter Niken. Buah atau pun sayur bisa disajikan dalam bentuk buah potong atau diblender (bukan juicer), sehingga serat masih bagus. Makanan lain yang tinggi serat seperti agar-agar atau puding, dengan catatan tidak berkadar gula tinggi juga bisa ditambahkan.
”Serat yang terlarut dalam sayur, buah, atau agar-agar akan mengikat lemak dan gula dalam makanan sehingga tidak semua diserap di usus, tapi dibawa ke usus besar, kemudian dibuang,” tandas dia.
Begitulah cara sehat a la dr Niken. Tak terlalu memberatkan. Tetap sehat kapan pun di mana pun, apalagi di waktu kita tengah merayakan sebuah hari kemenangan, tentu menjadi dambaan tiap orang. Eat some green! Itu solusi. Selamat Hari Raya Idul Fitri! (Galih P Laksana-11)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/28/157474/
Minggu, 28 Agustus 2011
Pilihan Lebaran Sarat dengan Serat
05.47
Slawi Ayu Cybernews, Terbit pada tanggal 10 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar