MOCI atau minum teh dengan poci tanah merupakan bagian dari ritme kehidupan masyarakat Tegal dan sekitarnya. Bahkan, dari kebiasaan itu muncul tradisi unik, Mantu Poci.Ya, Mantu Poci merupakan tradisi masyarakat Kota Tegal yang berlangsung turun-temurun. Acara intinya melangsungkan ”pesta perkawinan” antara sepasang poci tanah.
Awalnya, tradisi tersebut digelar untuk mempererat tali silaturahim antartetangga, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki keturunan dan berkeinginan untuk menggelar syukuran, seperti sunatan atau nikah.
Meski tidak banyak yang mengetahui sejak kapan tradisi tersebut mulai muncul, masyarakat Kota Tegal meyakini Mantu Poci merupakan tradisi asli warga Kota Bahari itu.
Di kota itu yang masih mempertahankan tradisi tersebut, yaitu di daerah pinggiran, seperti Kelurahan Tegalsari, Muarareja, Tunon, Cabawan, dan Margadana.
Biasanya mantu itu dilaksanakan setelah Lebaran atau bulan Syawal. Namun, seiring kemajuan zaman dan semakin meningkatnya perekonomian masyarakat, tradisi tersebut jarang dilaksanakan karena merasa malu.
Selain Mantu Poci, warga Kota Tegal juga mengenal Sunatan Poci. Secara umum, antara Mantu Poci dan Sunatan Poci itu pelaksanaannya hampir sama. Adapun, yang membedakan, untuk Sunatan Poci yang punya hajat biasanya menghias bagian ujung poci dibalut dengan kain ataupun kapas.
Poci yang telah dihias diarak keliling rumah sebanyak tujuh kali dan dibacakan doa layaknya hajatan menyunatkan anaknya.
Setelah itu, poci diletakkan di kursi yang telah dihias lengkap beserta makanan, seperti kebutuhan anak sunat.
Sementara, kedua orang tua atau yang punya hajat duduk berdampingan mengapit poci untuk menerima ucapan selamat serta menerima sumbangan dari tamu yang hadir.
Untuk Mantu Poci yang punya hajat menyediakan dua poci dan dihias, seperti wanita dan pria.
Poci pria diberi topi serta poci wanita dihias dengan rangkaian melati dan janur sebagai lambang seorang wanita. Kedua poci yang telah dihias itu diarak keliling dan ditempatkan pada kursi yang telah dihias selayaknya pengantin.
Menurut Ketua Dewan Kesenian Kota Tegal, Nurngudiono yang beberapa tahun lalu melaksanakan Mantu Poci, biaya menggelar acara tersebut sekitar Rp 4 juta - Rp 5 juta. Anggaran tersebut antara lain, digunakan untuk membeli sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam hajatan tersebut.
Selain itu, untuk hidangan tamu undangan, dekorasi, dan sound system. Jika ditambah hiburan orkes melayu, wayang, organ tunggal kebutuhan biaya biasanya bisa bertambah besar.
Meski demikian, biasanya penyelenggara Mantu Poci tetap bisa mendapatkan keuntungan.
Diuri-uri
Dia mengatakan, sebelum menggelar acara itu biasanya penyelenggara mendata jumlah titipan sumbangan yang pernah diberikan kepada masyarakat yang pernah menggelar hajat.
Sedangkan, bagi mereka yang telah menerima sumbangan wajib mengembalikan, sehingga berapa jumlah tamu yang akan datang dan nilai sumbangan, baik barang maupun uang sudah bisa diperkirakan.
Nurngudiono mengatakan, hal itu sudah dipahami masyarakat karena bersifat umum. Sebab, apabila diundang tidak hadir dan tidak mengembalikan sumbangan secara otomatis akan mendapatkan sanksi moral. Ketika bertemu akan malu dan menjadi gunjingan masyarakat.
”Setiap barang atau uang yang disumbangkan selalu dicatat dan nantinya harus dikembali sesuai dengan jumlahnya,” ujarnya.
Menurut dia, tradisi itu seharusnya bisa di-uri-uri dan mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
Upaya tersebut dilakukan untuk mempertahankan tradisi asli Kota Tegal. Bahkan, ia seringkali mengusulkan untuk bisa dibuat dokumentasi, baik secara visual maupun tertulis dan disosialisasikan kepada generasi muda, termasuk pelajar. ”Tanpa keterlibatan pemerintah tradisi Mantu Poci dan Sunatan Poci lambat laun akan hilang di tengah modernisasi,” katanya.
Untuk mempertahankan tradisi tersebut, kata dia, perlu dikemas menjadi pertunjukkan rutin, seperti dilaksanakan saat sedekat laut, peringatan HUT Kota Tegal serta pementasan teater.
”Pemerintah juga harus peduli dengan karya seni yang dikembangkan seniman. Sebab, Kota Tegal selama ini tidak memiliki tradisi yang menjadi ciri khas, karena balo-balo, tari endel. dan kethoprak bukan asli dari Tegal.”
Selain itu, kata dia, seni yang telah diciptakan seniman perlu dimasalkan, seperti tari geyol bahari karya Damayanti, tari gambyong guitar atau tari gambyong dengan diiringi musik gitar karya dari Tien Kusumawati. Musik tong tong prek, sandiwara sampak tegalan, serta musik sampak tegalan, sehingga sekitar 10-20 tahun mendatang menjadi kesenian khas Kota Tegal.
Wali Kota Tegal H Ikmal Jaya SE Ak mengatakan, meski Mantu Poci dan sunatan poci selama ini sudah menjadi tradisi di masyarakat, hal itu dinilai masih bersifat spontanitas dan pribadi.
Apalagi, di dalamnya terdapat unsur saling pinjam-meminjam. Dengan demikian, memberikan bantuan yang bertujuan untuk nguri-uri tradisi tersebut belum bisa dilakukan. (71)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/11/158738
0 komentar:
Posting Komentar