Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, muncul banyak toko obat kuat dan mainan seks (sex toy). Bila sebelumnya, penjualannya sembunyi-sembunyi, kini berani terang-terangan. Di Semarang dan Solo, kios penjualan tersebar di berbagai jalan protokol. Ada apa?
Lapak berukuran 3x3 meter terselip di antara puluhan lapak penjaja makanan, baju hingga pulsa telepon. Gorden tebal berwarna biru membelah bagian lapak tersebut, menjadi dua bagian. Di bagian luar gorden, etalase kaca menyambut pengunjung, berisi beberapa botol plastik, botol kaca dan beberapa strip tablet obat.
Tak ada penjaga di belakang etalase. Hanya kertas putih berukuran A4, bertuliskan ”Ketuk saja, orangnya di dalam.”
Papan triplek 50x100 centimeter berdiri vertikal di luar lapak, huruf besar-besar berderet ”Jual Obat Perkasa”. ”Silakan masuk,” ujar penjaga kios obat kuat di Jl Pamularsih, sambil melongokkan kepala dari balik gorden.
Pengunjung lapak itu masuk ke bilah ruangan di balik gorden. Setelah beberapa menit, penjaga lapak membungkus dua butir pil berwarna biru. Tiga lembar uang pecahan Rp 50 ribu pun ia terima, transaksi selesai.
Begitulah cara Wijaya (37) membeli obat yang dikonsumsinya dua kali sebulan. Pria yang tampil rapi siang itu mengaku disarankan oleh dokter pribadinya. Disfungsi ereksi (DE) dideritanya, telah menikah enam tahun, namun belum memiliki keturunan.
”Biasanya saya membeli di apotek, viagra golongan generik Sildenafil Sitrat 100 mg, itu resep dari dokter saya. Tapi karena di apotek habis, saya beli di sini. Harga satuannya kalau dari apotek Rp 137 ribu, kalau di sini lebih mahal sedikit,” kata warga Jatingaleh, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang itu.
Wijaya adalah salah satu dari jutaan lelaki DE. Sub Bagian Urologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta mencatat, 10 persen pria dewasa di Indonesia mengalami DE. Jumlahnya mencapai angka enam juta. Wijaya mengaku, dirinya terbantu oleh pil biru itu saat berhubungan intim dengan istrinya.
DE terjadi jika keluar cairan akibat rangsangan hormon dan dampak psikis. Ada gangguan syaraf akibat penyakit diabetes, alkoholik dan trauma tulang belakang. DE juga disebabkan pembuluh darah yang tercemar karena diabetes, merokok dan kolesterol.
Lain Wijaya, lain pula Fendy (32). Ia tak mengalami masalah DE, namun ia mengaku tetap menggunakan obat kuat jenis lain. ”Biar tambah jos,” aku warga Manyaran, Semarang Barat ini.
Fendy telah mencoba beberapa obat oles dan spray di organ vitalnya.
Ceruk Pasar
Banyaknya orang yang mengalami DE, ditambah tingginya pemburu obat kuat kendati normal, merupakan ceruk pasar tersendiri. Bisnis obat kuat tak hanya didapati di lapak nylempit pingir jalan, namun beberapa klinik konsultasi kesehatan reproduksi juga menjual obat tersebut.
Tersedia berbagai jenis obat, mulai dari minyak oles, spray hingga pil buatan lokal maupun luar negeri. Obat yang ditelan seperti pil, kebanyakan dikonsumsi oleh pria DE. Sedangkan pria normal yang ingin hubungan intimnya lebih jempolan, banyak memilih obat luar.
Di kios pinggiran, banyak tersedia minyak atau gel oles. Bahkan lebih banyak dari klinik konsultasi. Minyak buatan lokal misalnya, Africa Black Mamba Oil, Mamba Oil dan Erot Oil. Sedangkan untuk jenis spray, paling banyak didapati di lapak pinggiran adalah Procomil Spray. Sementara, jenis pil yang banyak dijual di lapak pinggiran adalah pil biru viagra. Membeli pil biru di pinggir jalan harus hati-hati. Alih-alih bisa memaksimalkan kinerja alat vital, konsumen justru menderita pusing setelah meminumnya. Ada tiga varian viagra yang dijual di pinggiran.
”Buatan USA, Australia dan China. Viagra buatan USA dijual seharga Rp 150 ribu, buatan Australia dihargai Rp 100 ribu dan buatan China bisa dibeli hanya dengan Rp 60 saja per biji,” ujar Lili, pemilik salah satu kios penjual obat kuat di bilangan Jl Kusumawardani Semarang ini.
Sementara itu sejumlah pedagang toko obat kuat dan sex toys (alat bantu seks) di Kota Solo memastikan produk-produk impor merajai pasaran. Khususnya produk obat kuat, barang kiriman dari Asia Timur seperti Jepang, Taiwan dan China paling diminati. Sementara, kebutuhan sex toys paling disukai dari Amerika Serikat, meskipun produk dari negeri Matahari Terbit juga dilirik pembeli.
Reza (29), pemilik kios obat di tepi jalan protokal di kawasan Baron, Kecamatan Laweyan, Solo mengatakan, obat kuat jenis, viagra, levita, cialis buatan China dan Taiwan mayoritas dipakai pelanggannya untuk mendukung vitalitas bercinta. Tiga jenis obat itu sudah umum dipakai karena dipercaya khasiatnya bisa mengatasi persoalan difungsi ereksi (impotensi) serta enjakulasi dini. Dimana dua masalah kesehatan seks paling banyak diidap.
”Hampir semua pelanggan saya memesan obat kuat dari China dan Taiwan. Harganya terjangkau Rp 10.000-70.000 setiap bungkus. Khasiatnya manjur, itu kata pembeli saya,” ujarnya.
Menurut pria berstatus lajang ini, permintaan alat perangsang seksualitas di kiosnya tidak seramai, permintaan obat kuat. Pelanggan jenis ini tidak terlalu banyak. Ada beberapa penyebabnya, yakni harga tiruan alat vital baik laki-laki dan wanita cukup mahal. ”Untuk jenis dildo (penis), satu buahnya harganya mencapai Rp 100.000.”
Kemudian, persediaan barang yang terbatas karena di Indonesia tidak ada daerah yang memproduksinya. Barang ini bisa datang ke Indonesia dengan cara mengimpornya langsung dari produsen atau toko di luar negeri.
”Kalau ada permintaan, kita kadang tidak langsung memberinya. Tapi biar pelanggan tidak kecewa, kita pesan dari produsen di luar negeri lewat internet. Jadi semacam inden dulu, sebab produk ini tidak ready stock,” jelas pemuda asli Kudus ini.
Selain viagra, kios Lili juga menjual pil Levitra, biasanya dijual dalam kemasan botol berisi 30 biji. Masih ada lagi jenis perangsang untuk wanita. Berupa permen karet yang penggunaannya dikunyah. Jenis ini, menurut Lili termasuk obat yang laris.
Dalam sebulan Lili bisa mengantongi tak kurang dari Rp 4 juta. Pasokan barang di kios Lili diakuinya datang dari Jakarta dan Surabaya.
Sementara Reza mengaku omzet tidaklah besar. Kisarannya omzet kotor hanya Rp 3-4 juta per tiga bulan. Untuk ukuran bujangan seperti dia, hasil usahanya ini sudah cukup untuk hidup di kota sebesar Solo ini.
Menurut Lili, kiosnya juga melayani pembelian obat via telepon pelanggan. Barang dagangan Lili tak semuanya legal. Sebagian besar tak berizin Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dan izin dari Kementerian Kesehatan.
Penjualan obat kuat juga bisa didapati di klinik konsultasi kesehatan reproduksi, hingga penjualan online via internet. Produk yang dijual di klinik dan internet biasanya lebih aman dengan jaminan izin edar Kementerian Kesehatan dan BPOM.
Selain obat kuat, mainan seks juga banyak diminati demi kepuasan. Orang yang ”menggilai” orgasme sebagai tujuan akhir sebuah hubuman intim, akan melakukan apapun termasuk menggunakan sex toy. Alat-alat tersebut begitu diharapkan menjadi obat pendongkrak gairah.
Ada bermacam alat. Di antaranya seks dolls, dildo, vibrator, breast stimulator, anal vibration dan penis developer. Beberapa jenis seks toy untuk pria dan wanita yang ban¤yak di jual di pasaran. Alat-alat ini jarang didapati di kios pinggiran. Biasanya penggunanya membeli lewat internet.
Usia pembelinya rata-rata di atas 30 tahun. Sayang, ia menolak menjelaskan apa pekerjaan dan status sosial pelanggannya. (09)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/11/158761/
0 komentar:
Posting Komentar