ADA yang unik pada ritual sedekah bumi warga Desa Pedeslohor Kecamatan Adiwerna setiap memasuki hari kesepuluh bulan Muharram setiap tahunnya. Tradisi yang dijadikan budaya untuk mengimplementasikan rasa syukur atas nikmat yang telah dirasakan itu, dipusatkan di komplek pemakaman Candi Depok yang ada di tengah desa.
Konon, di areal tersebut dulunya sempat akan dibangun candi namun belum sempurna. Hal ini ditandai dengan temuan situs bebatuan tempo dulu yang berserakan di bagian atas areal pemakaman.
Kades setempat, Mohammad Rifai, mengungkapkan, ritual ini sudah berlangsung sejak tahun 1900, disaat warga setempat menemukan situs bangunan candi yang belum sempurna. "Ritual sedekah bumi disini dari tahun ketahun dihelat dengan menggelar kesenian ronggeng atau tayub. Disaat ronggeng menari, warga desa berduyun-duyun membawa tumpengan menuju ke areal makam Candi Depok. Lantas saya diarak menuju ke areal candi dengan menggunakan baju kebesaran berwarna serba putih. Usai memberikan sambutan yang disusul dengan pembacaan tahlil, seluruh tumpeng yang dikumpulkan di depan pasujudan itu diperebutkan seluruh warga yang menghadiri ritual," terangnya, disela-sela perhelatan kemarin.
Ritual pun tak berhenti sampai disini saja. Setelah perhelatan di makam Candi Depok usai, sang Kades pun melanjutkan perjalanan untuk melakukan ritual yang sama di makam Mbah Cakra Winata yang berlokasi di Dukuh Karangbangkong. Dijelaskannya, ritual sedekah bumi disana juga sama persis dengan yang digelar warga di makam Candi Depok. "Yang sedikit membedakan ritual di makam Mbah Cakra Winata, warga yang membawa tumpeng dari rumah membagikan sesaji itu secara rapi, bukan dengan cara berebut," cetusnya.
Sementara itu, Sekretaris Desa, Fatoni, menyatakan, Mbah Cakra Winata diyakini penduduk setempat sebagai tokoh babat alas yang mendirikan pemukiman dan diberi nama Pedeslohor. Dia juga diyakini warga sebagai keturunan bangsawan keraton, dan mengembara ke tanah Slawi sebelum meletusnya perang Diponegoro tahun 1825-1830.
Ada fenomena unik di makam yang satu ini. Dimana saat dikehendaki bila peziarah menyalakan dupa atau kemenyan di depan makam, akan keluar seperangkat gamelan gending Jawa. Namun lantaran pernah dikhianati oleh salah satu peziarah, kini seperangkat gending gamelan Jawa itu tak pernah muncul lagi ke permukaan makam.
"Pengkhianatan itu sempat dilakukan warga Desa Tegal Wulung Kabupaten Brebes. Konon disaat peziarah ingin meminjam seperangkat gamelan gending Jawa dengan terlebih dahulu membakar kemenyan di depan makam, perangkat gamelan tersebut memang keluar dari dalam makam. Namun saat ritual pengembalian gamelan itu dilakukan, semestinya disertai dengan sesaji berupa tumpeng dengan lauk pauk lengkap. Nah, tumpeng yang dibawa warga Desa Tegal Wulung itu sengaja tidak diisi nasi pada umumnya, namun justru diisi dengan kotoran sapi. Sejak pengkhianatan itulah seperangkat gamelan tidak mau lagi menampakkan wujudnya ketika diminta warga," celotehnya.
Dikatakannya, ada empat penyangga leluhur yang dipercayai masyarakat setempat secara turun-temurun.
Penyangga itu adalah Mbah Cakra Winata di bagian Selatan, Mbah Darat Maji dan Sura Bendera yang dimakamkan di areal Candi Depok, Mbah Gambar, dan Mbah Dhamarwulan. Keempat titik itu dari tahun ketahun selalu secara rutin dijadikan areal sedekah bumi bagi warga setempat sebagai wujud syukur dan memohon kemudahan hidup dimasa yang akan dilaluinya. (hermas purwadi wijayanto)
Sumber Berita : http://www.radartegal.com/index.php/
0 komentar:
Posting Komentar