SEPEKAN terakhir, tempe, tahu, dan kedelai menjadi bahan pembicaraan yang riuh dan lumayan panas, mengalahkan isu-isu lain. Lonjakan harga kedelai impor dari semula sekitar Rp 5 ribu menjadi Rp 8 ribu per kg, membuat para perajin tahu dan tempe berteriak.
Banyak yang terpaksa menghentikan produksi karena tak kuat menahan beban biaya yang melambung tinggi, ada pula yang mogok produksi untuk menarik perhatian sekaligus mendesak pemerintah agar ikut memikirkan serta mencarikan solusi atas persoalan tersebut.
Mereka memang berada dalam posisi terjepit. Apabila tidak menaikkan harga jual, jelas akan merugi. Sebaliknya, menaikkan harga berarti harus siap-siap menerima kenyataan bakal kehilangan sebagian konsumen.
Tahu dan tempe bukan pangan kelas elite, tetapi memang disukai oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai lauk teman nasi atau camilan, bukan hanya dikonsumsi kalangan bawah, melainkan juga menengah ke atas.
Harga kedelai yang melambung secara gila-gilaan juga pernah terjadi beberapa tahun lalu. Responsnya sama: panik! Kenaikan harga kedelai impor yang terjadi sekarang merupakan dampak kekeringan di AS, sehingga produksi berkurang. Bukan hanya kedelai yang produksinya berkurang, melainkan juga gandum dan jagung.
Produksi kedelai turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Data 2010/ 2011 menunjukkan Indonesia mengimpor kedelai dari AS sebanyak 1,7 juta ton dari total impor 1,9 juta ton, sedangkan jagung 2,4 juta ton dari total impor 2,5 juta ton.
Begitulah risiko menjadi pengimpor. Kita tak mampu mengendalikan fluktuasi harga akibat berbagai faktor, bahkan bisa dipermainkan oleh negara produsen. Celakanya, kita mengimpor hampir semua bahan pangan yang termasuk kebutuhan pokok.
Jika ketergantungan terhadap impor tak segera ditangani secara serius, suatu saat nanti kita akan kehilangan kedaulatan pangan. Padahal diyakini di masa depan, pangan akan menjadi senjata ampuh dalam memenangi persaingan hegemoni.
Selama ini, kita agak terlena dan lalai dalam membangun basis ketahanan pangan yang kuat. Lebih sering muncul jargon, misalnya swasembada ini atau itu pada tahun sekian, tetapi pelaksanaannya cenderung sambil lalu.
Ketika target tak tercapai baik akibat perencanaan yang lemah atau faktor lain, tak ada evaluasi secara bersungguh-sungguh untuk kemudian diperbaiki dan dilanjutkan lagi. Seperti permainan, yang boleh dilupakan begitu saja setelah usai.
Saat inilah kesadaran perlu dibuka lebar-lebar, ketergantungan terhadap bahan pangan impor yang tidak terkendali amat membahayakan kedaulatan; bukan sekadar kedaulatan pangan, melainkan pada akhirnya akan mengarah pada kedaulatan sebagai bangsa dan negara.
Berarti, pembangunan sektor pertanian, terutama pangan penting segera dibenahi dan diberi perhatian penuh. (09)
l Bambang Tri Subeno (/)
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/07/29/194311/Impor-Pangan-yang-Mengancam
Minggu, 29 Juli 2012
Impor Pangan yang Mengancam
07.22
Slawi Ayu Cybernews, Terbit pada tanggal 10 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar