PROGRAM Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun yang digulirkan pemerintah, selalu disampaikan gratis. Tapi ternyata, hal itu dianggap sebagai pembohongan. Pasalnya, di beberapa sekolah khususnya di Slawi, para siswa pada tahun ajaran baru selalu diminta untuk membeli buku senilai antara Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu.
Hal ini seperti yang dikatakan salah satu warga Slawi Kulon, Rudi, yang menjadi wali murid di SDN Slawi Kulon 03. Dia mengaku bahwa pihaknya merasa sangat keberatan karena harus membeli buku ajar sejumlah 8 buku diluar buku LKS yang nilai harganya cukup tinggi, yakni mencapai Rp 342 ribu.
“Apakah adanya pembelian buku ini tetap dianggap gratis? Padahal buku bisa saja dipinjam di perpustakaan. Walaupun tidak dipaksa membeli, tapi kalau tidak dibeli seakan-akan anak akan merasa ketinggalan atau merasa diasingkan,” katanya kepada Radar, kemarin.
Dia menjelaskan, penjualan buku ini dibalut dengan modelnya bazar. Tetapi anehnya, buku yang dijual dalam bazar tersebut harganya jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga buku yang sama yang dijual bebas di toko buku.
Hal senada juga dikatakan salah satu wali murid SDN Procot 1, yang tidak mau disebutkan namanya. Menurutnya, modus penjualan buku baru ditahun ajaran baru sepertinya sudah menjadi budaya setiap tahun. “Kami setiap tahun harus mengeluarkan uang senilai Rp 300 ribu lebih untuk kepentingan membeli buku LKS maupun buku ajar. Ini sepertinya tidak hanya di SD yang anak saya tempati, tapi sepertinya hampir semua SD di lingkungan Slawi melakukan hal yang sama,” katanya.
Karenanya, dia mempertanyakan komitmen pelaksanaan program Wajar Dikdas oleh pihak sekolah. Padahal, setiap orang tua siswa belum tentu memiliki kemampuan membeli buku seperti yang dianjurkan oleh pihak sekolah setiap tahun ajaran baru. Padahal jika merujuk saat dia masih bersekolah dulu, setiap buku pelajaran dapat "diwariskan" ke adik-adiknya. Namun saat ini, hal itu tidak dapat dilakukan. Karena, setiap tahun siswa diharuskan membeli buku ajar yang baru.
“Bukan masalah apa-apa, tapi apakah penjualan buku seperti ini dibenarkan oleh Dinas Dikpora? Kalaupun digembar-gemborkan gratis, hanya sebatas iuran bulanannya saja,” ungkapnya.
Sementara, Kepala Dinas Dikpora Kabupaten Tegal, Drs Edi Pramono, menjelaskan, bahwa jika ada sekolah dari tingkat SD sampai SMP yang menjual buku dengan cara menekan atau memaksa, akan ditindak dan akan dikenai sanksi oleh pemerintah. Menurutya, Dikpora sudah memberikan surat edaran kepada UPTD SMP dan UPTD Dikpora agar sekolah atau guru tidak boleh menjual buku secara sembarangan kepada siswa. Sekolah atau guru hanya diperbolehkan sebatas memfasilitasi.
“Kalau ada buku mahal, sekolah bagusnya membeli kemudian ditaruh di perpustakaan untuk dipinjamkan kepada siswa. Kalau ternyata ada yang menekan, maka dia akan terkena sanksi disiplin pegawai, mulai dari sanksi biasa, sanksi sedang, dan sanksi berat. Sanksi itu akan kami awali dengan lisan, kalau sedang kami tegur dengan surat tertulis, dan bisa saja ditunda kenaikan pangkatnya,” ujarnya.
Namun demikian, guna memberdayakan guru yang ada, Dinas Dikpora memperbolehkan jika ada guru yang membuat LKS sendiri dan dikonsumsi sendiri di sekolahnya. “Kalau ada buku yang dibuat sendiri atas inisiatif dari guru tersebut yang dicetak secara bersama-sama dan itu untuk konsumsi sendiri, dipersilahkan jika akan dijual. Tetapi, tetap tidak boleh terlalu mahal,” ungkapnya. (fat)
Sumber Berita : http://www.radartegal.com/index.php/Wajar-Dikdas-Gratis-Bohong.html
0 komentar:
Posting Komentar