Jumat, 24 Februari 2012

Wayang Santri jadi Media Dakwah Minimalis

BUNYI gong menggema di Pendapa Ki Entus Susmono di Desa Bengle, Kecamatan Talang, Kabu­paten Tegal pada Kamis malam (23/2). Gema itu menandakan dimulainya pagelaran Wayang Santri de­ngan lakon Abunawas. Ki Entus Sus­mono yang mengenakan gamis putih mulai menancapkan gunungan yang berlambang masjid di atas bola dunia dengan tulisan arab di bawahnya.

Bacaan shalawat yang dinyanyi­kan tiga sinden dengan iringan musik gamelan mulai memecah keheningan. Tokoh Abunawas muncul dan langsung menadahkan tangan menghadap gunungan. Dua tokoh Lupit dan Slenteng selalu ada di belakang Abunawas. Pan­dangan puluhan penonton pecah saat dua tokoh itu berdialog ala Tegalan.
Awal cerita, Abunawas atau Hasan bin Hani merenung karena diminta Khalifah Sultan Harun Al Rasid untuk menjadi hakim. Ayah Abunawas, Hani merupakan seorang hakim di Pemerintahan Irak. Ayahnya telah meninggal, namun saat sakaratul maut, Abunawas menemukan hal ganjil. Telinga kiri ayahnya berbau busuk dan telinga kanannya berbau harum.

Tak Adil

Hal itu membuat Abunawas tidak mau menjadi hakim.  Abunawas bertemu Khalifah Sultan Harun Al Rasid dan meminta agar tidak dijadikan hakim. Sultan marah dan menghukum Abunawas dengan mencambuknya 40 kali. Abunawas dinyatakan gila karena tidak mau menerima tawaran Sultan. Jabatan hakim akhirnya diberikan kepada Bagi. Dalam perjalanannya, Hakim Bagi tidak berbuat adil. Bahkan, mimpinya pun bisa menjadi hukum.
Hakim Bagi bermimpi memiliki seorang menantu. Harta menantunya diambil semuanya sebagai mas kawin. Mimpi itu dinyatakan Hakim Bagi menjadi sebuah aturan. Abunawas mengetahui hal itu, kemudian membakar rumah Hakim Bagi. Abunawas ditangkap dan disidang oleh Sultan. Namun, Abunawas berkilah perbuatan itu buah dari mimpinya.
‘’Jika Hakim Bagi mimpi jadi kenyataan, maka mimpi Abunawas membakar rumah Hakim Bagi bisa jadi kenyataan,’’ kata Slenteng, tokoh yang membela Abunawas.

Akhir cerita, Abunawas dile­paskan. Sedangkan Hakim Bagi dihukum pancung. Pagelaran Wayang Santri selalu diselipkan kata-kata bijak untuk memberikan pencerahan kepada penonton. Guyon renyah Ki Entus menyelimuti cerita Abunawas yang membuat pertunjukan tak monoton.
Usai pentas Ki Entus mengatakan, Wayang Santri merupakan salah satu media dakwah untuk membantu para kiai. Wayang itu memiliki format pendek dengan durasi sekitar 2 jam. Cerita yang disuguhkan berasal dari tokoh-tokoh wali yang bekerja sama dengan para kiai dalam penulisan naskahnya.

‘’Wayang Santri sudah ada sejak 2006 dengan format minimalis, namun baru dipertunjukkan di wila­yah Kabupaten Tegal. Saya ditanggap oleh seorang produser untuk disiarkan di televisi,’’ katanya.
Produser Konten Sinema Masa Kini, Boy Rifai menjelaskan, pi­haknya membuat pagelaran wayang untuk televisi. Hasil pagelaran Ki Entus akan ditawarkan di televisi swasta untuk menjawab keprihatinan siaran televisi selama ini.
‘’Wayang televisi sudah disiarkan di puluhan televisi lokal di luar Jateng. Antusias penonton cukup tinggi,’’ katanya. (Dwi Putra GD-49) 
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/25/178269/Wayang-Santri-jadi-Media-Dakwah-Minimalis

0 komentar:

Posting Komentar