“KAMI bangsa Indonesia/ Dengan ini menyatakan/ Kemerdekaaan Indonesia/ Untuk kedua kalinya! / Hal-hal yang mengenai/ Hak asasi manusia,/ Utang-piutang,/ Dan lain-lain/ Yang tak habis-habisnya/ Insya Allah/ Akan habis/ Diselenggarakan/ Dengan cara saksama/ Dan dalam tempo/ Yang sesingkat-singkatnya!/ Jakarta, 25 maret 1992/ Atas nama bangsa Indonesia/ Boleh siapa saja.”//
Sajak Hamid Jabbar bertajuk “Proklamasi 2” ini barangkali masih relevan untuk menggambarkan betapa kemerdekaan bukankah sebuah suasana yang digambarkan oleh Soekarno sebagai jembatan emas. Kemerdekaan Indonesia, yang juga merupakan hak segala bangsa, dalam teks yang yang pedih ini, justru lebih tampak sebagai pintu gerbang menuju penindasan terhadap hak hidup khalayak, keterjerumusan ke jurang kemiskinan, dan berbagai persoalan berkait dengan kesengsaraan yang tak henti-henti.
Dengan kata lain 17 Agustus 1945 dalam sajak yang tragik-komik ini hendak digambarkan sebagai sebuah masa transisi dari suasana kekayaan, kesanggupan menghindar dari saling tikam, dan ayem tentrem menuju ke situasi penuh pengemis, pertikaian melebihi bharatayuda yang tak kunjung habis, dan kebobrokan moral yang kian menjulang.
Karena itulah mungkin tidak keliru jika Ikranegara dalam sajak bertajuk “Merdeka” hanya menuliskan satu kata: belum. Ini simpulan paling tragis dari seorang penyair sesaat sebelum Presiden Soeharto lengser. Kata belum dalam teks yang kosong melompong itu mengindikasikan betapa kita belum sampai pada keadaan berdiri sendiri (bebas, lepas, dan tidak terjajah lagi). Dalam ungkapan penyair Rendra, kita belum memiliki sesuatu yang disebut sebagai daulat rakyat dan daulat hukum.
Kita tak memiliki daulat rakyat karena yang ada hanya daulat penguasa, daulat parlemen, daulat media, dan daulat pengusaha. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, hanya jadi pengguna yang dalam batas tertentu harus membayar karena sesuai UUD 1945 cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dalam kasus ini, kuasa negara justru tidak menyejahterakan rakyat. Memang kemudian ada ungkapan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Akan tetapi lagi-lagi karena kuasa negara —yang kemudian menjelma dalam kuasa penguasa, kuasa parpol, dan kuasa pengusaha— begitu kuat, maka rakyat hanya menjadi sapi perah.
Karena itu tidak keliru ketika pengusaha-pengarang Nugroho Suksmanto dalam sebuah status di facebook menyarankan, “Seluruh kekayaan alam adalah milik rakyat dan dikelola oleh negara!” ada benarnya juga. Ini usulan yang mendaulatkan dan memerdekakan rakyat, karena negara hanya berperan sebagai pengelola, sebagai manajer.
Kita juga tidak memiliki daulat hukum karena hukum lebih menjadi milik segelintir orang. Mereka yang berduit dan berkuasalah yang bisa mengubah hukum menjadi lurus atau bengkok. Dan karena hukum menjadi sesuatu yang sulit ditegakkan, maka Indonesia ini nyaris menjadi negeri yang gagal, negeri yang tak mampu berbuat apa pun untuk sekadar merdeka dari belenggu korupsi, bebas dari penjara perebutan kekuasaan, lolos dari kemiskinan yang akut.
Apa yang harus dilakukan dalam siatuasi “merdeka tanpa kedaulatan” ini? Meminjam ungkapan Rendra, kita harus mengembalikan keberadaan daulat rakyat dan daulat hukum. Setelah itu tercapai, tak mustahil tercapai juga daulat politik, daulat ekonomi, daulat sosial budaya, daulat pertahanan dan keamanan. Kita memang harus merebut semua itu. Sekarang juga. (33)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/14/156108/
0 komentar:
Posting Komentar