Selasa, 16 Agustus 2011

Refleksi 66 Tahun Kemerdekaan RI

Esok pagi, 17 Agustus 2011, bangsa Indonesia memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-66. Kita ingin menekankan di sini, perayaan kemerdekaan kali ini mestinya tidak menjadi suatu peringatan yang seremonial saja. Sering kali, rutinitas tahunan seperti ini memang mudah terjebak dalam hal-hal yang sifatnya seremonial dan membenamkan substansi-substansi reflektif atas peristiwa itu. Peringatan Kemerdekaan sudah terlalu sering hanya diasosiasikan dengan kemeriahan lomba balap karung, upacara, paskibra, atau simbolisasi lagu-lagu perjuangan.

Tidak ada salahnya, menjelang peringatan 66 Tahun Proklamasi, kita memaknai kembali arti kemerdekaan. Memaknai di sini bukan berarti sekadar membeberkan hal-hal simbolik tentang kemerdekaan. Lebih dari itu, kita berharap dapat menemukan suatu rumusan moral imperatif yang sejalan dengan situasi bangsa saat ini, dan menjadi pendorong yang menginspirasi seluruh warga untuk bergerak menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Hal itu penting, karena bagi sebagian besar generasi muda, makna kemerdekaan boleh jadi hanya samar-samar.

Cobalah kita cermati pembahasan di kalangan generasi yang lahir setelah tahun 1970-an tentang acara tirakatan yang sudah menjadi tradisi pada setiap malam 17 Agustus. Kebanyakan akan bersikap acuh, dan sebagian lagi mungkin lebih tertarik pada kemeriahan organ tunggal campursari atau dangdut. Bagi sebagian besar generasi tersebut, peringatan semacam itu bukan berarti sebuah selebrasi yang punya nilai mendalam. Perayaan kemerdekaan menjadi tidak jauh dari sekadar hura-hura hajatan.

Meskipun telah merdeka selama 66 tahun, Indonesia masih jauh dari cita-cita yang telah digariskan oleh pendiri bangsa. Mayoritas rakyat Indonesia masih belum menikmati kemerdekaan yang hakiki karena terbelenggu ”penjajah” berupa kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Di bidang ekonomi dan perdagangan misalnya, rakyat Indonesia kini hanya dijadikan pasar bagi produk-produk asing. Parahnya lagi, serbuan produk asing bukan hanya berasal dari sektor manufaktur, tetapi juga hampir semua sektor, termasuk pertanian.

Dapat dikatakan, bangsa dan negara Indonesia kini berada pada titik terendah. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya kekuatan yang bisa menyejahterakan rakyat. Dulu, bangsa ini menjadi lemah, tetapi sebaliknya negara menjadi terlalu kuat. Sekarang, bangsa Indonesia menjadi lemah sementara negara juga lemah. Belum lagi, pemerintah dan legislatif juga tidak serius menyelesaikan aneka keruwetan persoalan bangsa. Negara tidak mengambil langkah-langkah yang semestinya untuk menyelesaikan persoalan, yang sesuai dengan harapan rakyat.

Tak pelak lagi, Indonesia memerlukan perubahan substansial. Peringatan Ke-66 Hari Kemerdekaan RI kali ini kembali bertepatan dengan Ramadan. Bahkan, 17 Agustus 2011 bertepatan dengan 17 Ramadan 1432 H, tanggal yang diyakini sebagai permulaan turunnya Kitab Suci Alquran. Dengan dua peringatan penting itu. kita ingin mengajak seluruh warga kembali pada optimisme berbangsa yang didasari semangat spriritual. Kita meyakini, dua hal itulah yang bisa menjadi modal utama kita untuk keluar dari situasi keterpurukan multidimensi.
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/16/156345/10/

0 komentar:

Posting Komentar