YOGYAKARTA - Prosesi pernikahan putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Bendara dengan KPH Yudanegara dirancang sedikit berbeda dengan pernikahan putra dalem keraton sebelumnya.
Jika pada pernikahan sebelumnya, terdapat kirab mubeng beteng (mengeliling benteng) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai bagian dari ritual, maka pada pernikahan putra dalem kali ini diganti dengan kirab dari keraton menuju Kepatihan. Kirab kali ini merupakan tradisi pernikahan di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Koordinator Tata Upacara Pengantin, GBPH Joyokusumo mengungkapkan, setelah melalui berbagai pertemuan dengan keluarga keraton, akhirnya diputuskan tidak menggelar kirab mubeng beteng seperti halnya yang dilakukan dalam pernikahan GKR Pembayun.
Pertimbangan ini juga dalam rangka mengembalikan tradisi pernikahan keraton di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang digelar di Keraton dan Kepatihan. Untuk itu, pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara didokumentasikan secara detail.
Sebab, menurut Gusti Joyo, panggilan akrab GBPH Joyokumo, kirab keliling beteng seharusnya hanya untuk jumenengan dalem. Dengan demikian, dalam pernikahan putra dalem tidak dilaksanakan.
”Untuk itu pada prosesi pernikahan GKR Bendara kali ini, kami ganti dengan kirab kereta dan pasukan berkuda dari Keraton menuju Kepatihan,” katanya.
Dalam kirab kereta nanti, lanjutnya, terdapat berbagai macam modifikasi, di antaranya jika pada masa lalu, pengantin putri diarak menggunakan tandu oleh abdi dalem. Pengantin pria, menggunakan kereta berkuda. Namun dalam kirab kali ini akan digunakan lima kereta keraton untuk membawa kedua mempelai dan kerabatnya.
Kereta yang akan dipakai tersebut, di antaranya kereta Jong Wiyat peningalan Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang akan dipakai pengantin. Keluarga pengantin naik kereta Kyai Permili, Kyai Roto Biru, Kyai Kus Cemeng, dan Kyai Kus Ijem.
Rombongan menempuh rute dari keraton melewati Alun-alun Utara sisi barat ke utara membelah Jalan Malioboro menuju Kepatihan, Pemprov DIY. Selama kirab, Jalan Malioboro dan sekitarnya ditutup total.
Menurut Gusti Joyo, semua laku yang dijalani dalam prosesi pernikahan putri Sultan, mulai dari nyantri, siraman, tantingan, midodareni, ijab, panggih resepsi hingga pamitan merupakan budaya asli Yogyakarta.
Semua tata cara itu tetap dilaksanakan, meski ada perubahan, misalnya dalam kirab dan lamanya prosesi. Dimana pada masa lalu, prosesi pernikahan putri Sultan bisa memakan waktu hingga 40 hari, tapi kali ini tidak seperti itu.
Adapun persiapan pernikahan ageng GKR Bendara dan KPH Yudanegara mendekati sempurna, semua tata cara mulai dari awal hingga akhir upacara sudah dipersiapkan, sehingga kedua calon pengantin tinggal melaksanakan.
Bahkan, Sabtu (15/10) sudah geladi bersih panggih pengantin di Bangsal Kencana, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Gladih bersih dipimpin Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto, GBPH Joyokusumo, dan GBPH Prabukusumo.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan permaisuri GKR Hemas menyaksikan geladi bersih dari awal hingga akhir. Adapun GKR Bendara dan KPH Yudanegara menjalani sesuai perintah yang ada dalam tata acara tersebut.
Upacara panggih pengantin diawali dari keluarnya pengantin kakung dari Bangsal Kasatriyan menuju Bangsal Kencana, di mana Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas duduk disinggasana.
Arak-arakan pengantin kakung diawali dengan tari edan-edanan. Pengantin kakung jalan menuju Bangsal Kencana didampingi GBPH Suryamataram dan GBPH Cokrodiningrat.
Dibelakang pengantin kakung turut mendampingi KGPH Hadiwinoto dan GBPH Prabukusumo serta keluarga rombongan pengantin. Bersamaan, dari Bangsal Tratak, pengantin putri dengan didampingi GKR Pembayun dan putra wayah ndalem jalan melalui bangsal tratak sisih utara menuju Bangsal Kencana tempat upacara panggih pengantin digelar.
Upacara panggih pengantin ini dilakukan persis di depan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan GKR Hemas duduk d isinggasana menghadap ke timur.
Kedua pengantin lalu saling berhadap-hadapan. Kemudian diilanjutkan upacara melempar sirih.
Dadar Endog
Setelah itu, upacara memecah telur. Lalu pengantin putri membasuh kedua kaki pengantin kakung (pria). Saat itu lah Sultan yang sejak tadi menyaksikan upacara itu, berucap,” Le mecah endok ki ojo koyo wong dadar endog (Mecah telurnya jangan seperti orang mau goreng telur),” ucap Sri Sultan Hamengku Buwono X yang langsung disambut tawa tamu undangan yang hadir dalam acara itu.
Acara dilanjutkan dengan upacara pondong pengantin putri. Pada prosesi ini sempat diulang beberapa kali. Sebab, menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam acara pondongan ini jangan dibuat kaku, kasihan wartawan nanti tidak dapat gambar.
”Gimana kalau geser agak ke kanan sedikit, biar wartawan yang ada di sebelah timur bisa mendapat enggel,” kata Sri Sultan Hamengku Buwono X yang langsung disambut tawa para wartawan.
”Wah Sultan sadar enggel juga ya,” canda salah seorang wartawan.
Dalam acara ini, sempat terjadi selisih paham antara GBPH Joyokusumo dengan KGPH Hadiwinoto. Menurut GBPH Joyokusumo, saat panggih mestinya pengantin putri melalui tratak sebelah utara tidak sebelah selatan.
Adapun pada geladi bersih yang pertama, pengantin putri lewat tratak sebelah selatan. Namun perbedaan itu tidak berkepanjangan, karena keduanya sama-sama mencari solusi agar tata cara panggih pengantin bisa baik dan sakral.
Geladi bersih panggih pengantin itu pun berlangsung khidmat, dengan dihadiri panitia dan aparat keamanan yang mengamankan jalannya prosesi dan tamu undangan.
Sebab, dalam upacara itu akan dihadiri Presiden SBY, Wapres Boediono, duta besar dan para pejabat serta menteri. Untuk itu, saat geladi bersih juga dilakukan pengamanan dengan menerjunkan polisi.(sgt-71)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/16/162882/
0 komentar:
Posting Komentar