Senin, 26 Maret 2012

Jangan Dipikirkan PNS Sudah Pintar Cari Duit

Mantan Menteri Keuangan pada era Orde Baru, Mar’ie Muhammad dijuluki  ”Mr Clean”. Meski menjadi bagian dari inti kekuasaan di era tersebut, dia terbebas dari belenggu korupsi. Bagaimana kiprahnya?
SUATU ketika di Istana. Mar’ie Muhammad, yang ketika itu menjabat sebagai menteri keuangan, menghadap Presiden Soeharto untuk menyampaikan sebuah gagasan terkait reformasi birokrasi, termasuk di antaranya rencana meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil.
Gagasan itu disampaikannya sebagai upaya untuk menekan penyimpangan dan kebocoran anggaran, bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Sungguh tak diduga jawaban yang muncul dari sang Presiden kala itu. ”Mar’ie, soal kesejahteraan pegawai negeri jangan dipikirkan. Mereka sudah pintar cari duit.”
Ramalan Soeharto yang ditestimonikan Mar’ie di sebuah seminar yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung Asia Afrika, Bandung, pada awal terbentuknya lembaga negara itu, terbukti belasan tahun kemudian.
Bak cendawan di musim hujan, PNS-PNS yang ”pintar mencari duit” di usia muda itu satu per satu terungkap ke publik. Sayang, anak-anak muda yang di antaranya bernama Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika itu, berhasil menumpuk kekayaan bukan dengan cara yang halal, melainkan dengan memainkan pembukuan pajak yang harusnya diterima negara.
Entah apa yang bergolak di kepala Mar’ie Muhammad melihat kader-kader instansi yang pernah dipimpinnya dulu kini satu per satu digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus penyimpangan pajak.
Sebab, saat menjabat sebagai menteri keuangan dan Dirjen Pajak dulu, Mar’ie dikenal sebagai ”Mr Clean”, sosok yang bersih dan tegas terhadap segala bentuk penyimpangan dan amat disegani anak buahnya.
Pria kelahiran Surabaya, 3 April 1939 ini memang dikenal sebagai sosok yang sederhana, baik sebagai menteri maupun kesehariannya. Kesederhanan itu tecermin dari penampilannya yang bersahaja.
Dulu dia dikenal dengan kacamata minusnya yang tebal. Sebagai menteri, ia lebih sering mengenakan safari ke kantor, sedangkan di rumah Mar’ie merasa nyaman mengenakan sarung.
Kesederhanaan itu ditularkan pada keluarganya. Contohnya, seperti dituturkan putri bungsunya Rahmasari, Mar’ie tidak membolehkan anak-anaknya menggunakan mobil ke kampus maupun ke sekolah. Ia pun memilih membawa keluarganya berumroh daripada hura-hura ke luar negeri.
Selain sederhana, lelaki penggemar jogging ini dikenal tegas dan lurus. Ia disebut-sebut pernah menolak anggaran taktis dan biaya perjalanan dinas yang dinilainya terlampau besar. Sebaliknya, sebagai aparat negara ia berupaya meningkatkan efisiensi dan berusaha membendung kebocoran di instansi yang dipimpinnya.
Tentang dijulukinya dia sebagai Mr Clean, terdapat satu kisah. Di suatu siang saat masih menjabat Dirjen Pajak tahun 1989, Mar’ie memimpin sendiri timnya ke Jalan Cendana. Sambil membawa gulungan pita ukur, ia mengukur sendiri rumah Soeharto. Acara ukur-mengukur ini adalah dalam rangka pengumpulan data pajak bumi dan bangunan yang wajib dibayar.
”Tak peduli presiden atau pengusaha, soal keharusan membayar pajak, tidak ada pengecualian. Paling tidak selama saya jadi Dirjennya,” tegas Mar’ie saat itu. Nyatanya dia tidak membual. Selama lima tahun menjabat, instansi yang dipimpinnya berhasil mengumpulkan pajak Rp 19 triliun, di luar sektor minyak dan gas bumi. Padahal targetnya hanya Rp 9 triliun. Mungkin karena itulah ia kemudian dipercaya Soeharto menjadi Menkeu pada 1993.
Berani
Diangkat sebagai menteri, tidak membuat ayah tiga anak ini menjadi ”yes man” demi membuat atasan senang. Dia hanya satu dari sedikit anggota kabinet yang dengan berani menyatakan ”tidak” kepada Presiden Soeharto. Misalnya ketika pemerintah hendak membiayai pembelian 39 kapal dari Jerman Timur atas usulan Menristek BJ Habibie.
”Saya katakan kepada Pak Harto bahwa anggaran kita terbatas,”  tegasnya seperti dikutip Tempo 16 Oktober 1998.
Dia juga tidak gentar ketika menghadapi tuntutan Bambang Trihatmodjo saat pemerintah harus melikuidasi 16 bank, termasuk Bank Andromeda milik anak ketiga Soeharto itu.
Selain masalah pembelian kapal Jerman Timur, suatu kali Mar’ie pernah pula dipanggil Soeharto yang mengatakan, Habibie memerlukan dana yang besar untuk membuat kapal CN-235. Padahal saat itu, APBN dalam keadaan terdesak, sementara harga minyak juga sedang anjlok.
”Jadi, saya katakan jumlah anggarannya itu hanya ada sekian, lantas jika terjadi apa-apa nanti bagaimana,” jelasnya.  Apalagi negara saat itu sedang membutuhkan dana besar untuk impor beras, sehingga anggaran yang ada memang agak mepet.
”Pak Harto mengatakan, ya, tidak apa-apa kalau memang begitu. Lantas Pak Harto mengatakan, kalau begitu pakai saja dana reboisasi. Saya jawab, dana reboisasi itu bukan hak saya, karena dana itu berada di luar anggaran belanja,” elaknya.
Bukan sekali dua- kali Mar’ie berlaku ”berani” kepada sang Presiden. Setelah beberapa tahun anggaran belanja selalu defisit dan saat beberapa tahun menjadi Menkeu berhasil membukukan surplus, Mar’ie minta dilakukan penghematan agar ada sisa.
Dia pun mengusulkan agar pemerintah bisa menabung, karena tabungan inilah yang membantu Indonesia di awal krisis. Mungkin karena surplus terlalu besar, Soeharto pernah tidak setuju.
”Pak Harto itu kan orang Jawa, jadi kalau nyentil itu sambil tertawa dan ada kalanya sambil ngeledek. Padahal, itu kritik tajam. Pada saat saya datang melapor rutin, Pak Harto mengatakan, ’Saudara Menteri Keuangan, tugasmu itu membangun, bukan menabung.’ Lantas saya katakan, menabung ini juga untuk membangun di kemudian hari, Pak. Saya tahu, sebetulnya sindiran itu teguran kepada saya,” ungkapnya.
 Seringnya Mar’ie ”mengganjal” ide-ide besar Habibie, membuat hubungan keduanya tidak begitu bagus. Implikasinya, Mar’ie sempat terganjal ketika namanya ikut dicalonkan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di era pemerintahan Habibie.
Pada saat proses pencalonan ulang, tiba-tiba saja muncul isu dirinya mengundurkan diri dan kemudian muncul nama mantan menteri perdagangan Satrio Budiardjo Joedono. Bukan rahasia lagi, menteri sederhana yang akrab dipanggil ”Billy” Joedono ini memang sosok yang dikenal cukup dekat dengan sang Presiden.
Untuk membantah isu tersebut, Mar’ie mengirim surat kepada pimpinan DPR/MPR dan para ketua fraksi. Dia menegaskan bahwa sejak diusulkan sebagai salah seorang calon Ketua BPK, ia tak pernah menyatakan keberatannya.
Belakangan, untuk ”meredam” isu rekayasa ini, pemerintah menawarkan akan mengangkat Mar’ie sebagai Duta Besar RI di Belgia. Tawaran itu langsung ditolak Mar’ie. ”Saya memilih tetap mengabdi di dalam negeri saja. Banyak masalah yang harus segera ditangani,” tegasnya. (Fauzan Jayadi-71)
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/27/181416/Jangan-Dipikirkan-PNS-Sudah-Pintar-Cari-Duit

0 komentar:

Posting Komentar