Kamis, 29 Maret 2012

Voting BBM Baratayudha

JUMAT (30/3) ini diprediksi sebagai puncak aksi-aksi demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, kerap disebut parlemen jalanan, menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM, bertepatan dengan Rapat Paripurna DPR untuk menolak atau mengesahkan RUU APBN Perubahan 2012 yang memuat usulan pemerintah itu. Bila DPR setuju maka Pasal 7 Ayat (6) UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012, di mana pemerintah tak akan menaikkan harga eceren BBM bersubsidi, harus diamendemen.

Pemerintah usul harga BBM bersubsidi, premium, dan solar, dinaikkan Rp1.500 menjadi  Rp 6.000/ liter. Argumentasinya APBN 2012 akan jebol bila harga BBM bersubsidi tak dinaikkan akibat harga minyak mentah Indonesia (ICP) mencapai 120 dolar AS/ barel, padahal asumsi APBN 2012 90 dolar sehingga akan terjadi pembengkakan subsidi Rp 55,1 triliun, dari Rp123,6 triliun menjadi Rp178,7 triliun; selama ini subsidi tak tepat sasaran; dan jika harga BBM bersubsidi tak dinaikkan maka defisit APBN mencapai 3,6%, melampaui batas 3% yang digariskan Pasal 12 dan 13 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Keputusan diprediksi diambil melalui voting. Ibarat perang, rapat paripurna adalah padang Kurusetra tempat Pandawa dan Kurawa menggelar Baratayudha. Bila Pandawa dikonotasikan sebagai fraksi-fraksi yang menyuarakan aspirasi rakyat, dan Kurawa adalah fraksi-fraksi pendukung pemerintah maka dalam pertempuran babak I di Badan Anggaran DPR, Senin (26/3), Pandawa kalah telak. Dari 9 fraksi, hanya 3 yang menolak: PDIP, Gerindra, dan Hanura. Enam fraksi mendukung: Partai Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB, dan PKS.

Dalam detik-detik terakhir, Golkar bisa saja berperan menjadi Sri Krishna yang menyelamatkan kubu Pandawa dalam Baratayudha, karena menurut Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso, sikap Golkar menolak atau mendukung kenaikan harga BBM bakal diputuskan sesaat menjelang voting.

Dalam rapat paripurna Jumat ini, apakah Pandawa kembali kalah? Bila fraksi-fraksi konsisten maka dipastikan Kurawa menang. Dari 560 kursi di DPR, PDIP hanya memiliki 94 kursi, Gerindra 26, dan Hanura 17, total 137 kursi. Adapun Demokrat punya 148 kursi, Golkar 106, PAN 46, PPP 38, PKB 28, dan PKS 57, total 423 kursi.

Tapi politik bukanlah matematika melainkan selalu dinamis, tak linier. PKS dalam rapat paripurna ini konon akan membelot, bergabung dengan kubu Pandawa, sehingga total akan menjadi 194 suara. Namun jumlah itu belum cukup bagi Pandawa untuk menang. Harapan selanjutnya ada pada Golkar. Bila Golkar bergabung ke kubu Pandawa, total menjadi 300 suara, dan Pandawa-lah yang menang sehingga hasil akhir Barathayuda sesuai skenario, yakni kebenaran mengalahkan kebatilan.

Parlemen Jalanan

Meski secara resmi PDIP melarang kadernya turun ke jalan menentang kenaikan harga BBM, kadernya di sejumlah daerah tetap menggunakan hak berdemokrasi melalui unjuk rasa, termasuk Wakil Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo dan Wakil Wali Kota Surabaya Bambang DH. Akibatnya, selain keduanya mendapat ancaman sanksi dari Mendagri Gamawan Fauzi, politikus propemerintah juga mengkritik PDIP yang katanya menggunakan cara-cara ekstraparlementer atau parlemen jalanan dalam perjuangan politiknya.

Kritik demikian sah saja. Tapi dalam sejarahnya, partai ini selalu menempuh cara-cara konstitusional. Meski bisa saja kalah, secara politik PDIP akan menggunakan hak konstitusionalnya dalam menolak kenaikan harga BBM, yakni lewat voting di rapat paripurna. Dalam politik, soal kalah atau menang adalah biasa. Yang penting partai ini sudah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat, mengingat mayoritas rakyat menolak kenaikan harga BBM dan akan menjadi pihak yang paling menderita akibat kebijakan ini. Vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Apalagi PDIP juga memiliki alasan reasonable. Pertama; bila harga BBM tak naik, menurut versi pemerintah, subsidi harus ditambah Rp 55,1 triliun. PDIP berpendapat bila pemerintah punya dana Rp 55,1 triliun untuk menutupi kenaikan subsidi itu maka harga BBM tak perlu naik. Untuk menutupnya pemerintah bisa mendapatkannya dari berbagai sumber berupa tambahan penerimaan negara yang sesungguhnya sudah tersedia, yakni sisa anggaran lebih (SAL) 2010 Rp 51 triliun, surat berharga negara (SBN) Rp 25 triliun, penerimaan dalam negeri (PDN) dari kenaikan harga migas Rp 46,8 triliun, dan netto utang/ nonutang Rp 11,2 triliun sehingga total Rp134 triliun. Dengan kata lain, kondisi fiskal kita tahun ini masih sangat kredibel.

Kedua; bila harga BBM bersubsidi naik Rp1.500/ liter per 1 April nanti akan diperoleh penerimaan negara Rp 43,09 triliun dengan asumsi kuota BBM bersubsidi 40 juta kiloliter, yakni premium 24,41 juta kiloliter, solar 13,89 juta kiloliter, dan minyak tanah 1,7 juta kiloliter (harga minyak tanah tak naik).

Sebagai kompensasi kenaikan harga BBM, pemerintah menyiapkan program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM), subsidi angkutan umum, subsidi raskin, dan subsidi pendidikan siswa miskin dalam RAPBN 2012 senilai Rp 30,6 triliun. Dengan asumsi penerimaan negara setelah BBM naik Rp 43,09 triliun maka sisa penerimaaan negara hanya Rp12,49 triliun. Pertanyaannya, dengan tambahan hanya Rp 12,49 triliun itu, apakah asumsi bahwa bila harga BBM tak naik maka APBN dengan nilai total Rp 1.548,3 triliun akan jebol? Jelas tidak! Dana tambahan kenaikan harga BBM hanya 0,81% dari total APBN.

Tapi dunia politik kadang tak rasional. Alasan rasional pun bisa saja dianggap tak rasional. Maka bila ternyata Pandawa kalah di Baratayudha paripurna, hal itu sah-sah saja. Biarlah rakyat yang menilai. (10)

— Drs H Sumaryoto, anggota Komisi XI DPR, Fraksi PDI Perjuangan  
Sumber Berita : http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/30/181728/Voting-BBM-Baratayudha

0 komentar:

Posting Komentar