PERINGATAN 500 tahun ini bukan diambil dari kapan lahir atau wafatnya Sunan Kalijaga (1446-1602). Tetapi ini terhitung sejak jatuhnya Malaka ke Portugis pada 1511. Sunan Kalijaga sendiri diambil sebagai ikon yang mewakili perjuangan Wali Songo pascakekalahan Malaka tersebut.
”Saat itu para wali memprediksi akan terjadi perubahan besar-besaran atau bahkan runtuhnya peradaban seperti yang terjadi di Spanyol. Oleh sebab itulah mereka membangun fondasi pada masyarakat supaya punya jatidiri. Maka, jalan kebudayaanlah yang dipilih, dan sampai sekarang kita masih bisa mempertahankan peradaban itu,” jelas Ketua Lesbumi DIY, Jadul Maula, dalam sambutannya saat pembukaan resmi peringatan ”500 Tahun Sunan Kalijaga” di Alun-alun Utara Yogyakarta, Rabu (20/7).
Apa yang diungkapkan Jadul memang benar adanya. Ratusan orang malam itu berkumpul di sisi timur jalan yang membelah dua beringin di alun-alun hingga ke pagelaran keraton. Tentu landscape pusat kota yang menyandingkan alun-alun dan pohon beringin, masjid, dan keraton atau pusat pemerintahan ini tidak hanya terdapat di Yogyakarta. Jejak semacam ini pun banyak kita jumpai di daerah lain. Dan itulah salah satu konsep tata kota yang diyakini warisan Sunan Kalijaga.
Acara ini menjadi kelanjutan dari lampah ratri yang telah dilakukan, Senin-Selasa lalu. Alun-alun utara yang berarti juga satu kompleks dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat secara simbolik menjadi runtutan terakhir sejarah perjalanan Sunan Kalijaga yang hidup hingga awal Mataram Islam.
Setelah secara simbolik kenangan tentang tata ruang itu diresapi, tiba giliran menghadirkan kembali kearifan penyebaran Islam di tanah Jawa. Sang wali yang pada masa muda bernama Raden Mas Said itu telah mendekati sistem budaya Hindu-Jawa dengan sangat arif. Tak ada pemaksaan, tetapi justru merapat dengan sopan dan bersenyawa pada kebudayaan lama untuk syiar Islamnya. Maka, dakwah melalui jalur kebudayaan dan kesenian itu mewujud melalui wayang, seni ukir, hingga tembang.
Tidak berlebihan jika akhirnya peringatan ini pun menggelar pertunjukan wayang 11 dalang selama 11 hari penuh (20 - 30 Juli) dengan lakon-lakon Sunan Kalijaga. Setelah pembukaan yang ditandai dengan penyerahan wayang oleh Ketua PWNU DIY KH Asyari Abta kepada 11 dalang. Pada malam pertama dipentaskan ”Lahire Bethara Kala”, dalang Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo.
Pementasan wayang ini akan berlanjut pada Kamis (21/7) dengan lakon ”Jumenengan Yudhistira” dengan dalang Ki Mas Lurah Simun Cermo Joyo, Jumat, (22/7) ”Kumbayana”, dalang Ki Mas Lurah Cermo Subronto, Sabtu, (23/7) ”Kartapiyoga Maling (Semar Mbarang Jantur)” dalang Ki Hadi Sutikno, Minggu, (24/7) ”Mustakaweni” dalang Ki Suwondo Hadi Sugito”, Senin, (25/7), ”Dewa Ruci” dalang Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono, Selasa (26/7) ”Wahyu Makutarama” dalang Ki Edi Suwondo Gito Gati, Rabu (27/7) ”Ganda Wardaya” dalang Ki Sudiyono, Kamis (28/7) ”Semar Minta Bagus” dalang Ki Gunawan, Jumat, (29/7), ”Pandhu Swarga” dalang Ki Sutarko Hadiwacono, dan Sabtu (30/7) ”Pandhawa Moksa” dalang Ki Seno Nugroho.
Spirit untuk menggali kembali nilai-nilai masa lalu semacam ini memang menarik. Lesbumi dan Nahdlatul Ulama DIY dengan Pondok Pesantren Kali Opaknya tampaknya telah merintis langkah nyata dari usaha tersebut. Aktivitas komunitas di pinggiran Kali Opak yang mencoba menggali dan menginvetarisasi tradisi yang pernah berkembang di masyarakatnya.
Hal ini menarik perhatian dosen antroplogi Universitas Indonesia, Tony Rudyansjah yang sejak setahun lalu sering bolak-balik Jakarta -Yogyakarta untuk melakukan riset di sini.
”Awalnya mereka ingin menginventarisasi tradisi lokal. Tetapi akhirnya mereka pun berupaya untuk menghidupkannya. Termasuk pada peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga ini,” kata Tony yang kali ini membawa serta 12 mahasiswanya.
Bagi penulis buku Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi; Turunan, Percabangan, dan Pengingkaran dalam Teori Sosial Budaya itu Pesantren Kali Opak menjadi menarik. Pasalnya, mereka berani menghidupkan kembali tradisi yang mungkin bagi kalangan Islam fundamental bertentangan dengan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan spirit konsep wali songo, termasuk Sunan Kalijaga, saat berdakwah. Para wali ini justru memunculkan tatanan sosial, politik, kebudayaan dan kesenian yang unik, tanpa mengurangi nilai-nilai keagamaan.
”Mungkin pengamatan ini masih akan berlanjut sampai tahun depan. Yang penting pengabdian tri darma perguruan tinggi bisa tercapai, dan bisa membiasakan mahasiswa untuk peka terhadap kondisi sosial masyarakat saat riset,” jelas Tony. (Sony Wibisono-35)
Sumbur Berita : http://suaramerdeka.com/21 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar