RADJIMIN (63) yang asli Sukoharjo, Jateng, dan datang ke Jakarta tahun 1974 untuk berdagang bakso, sedang bungah. Apa pasal?
Karena, sejak menikahi Jasmi (51) tahun 2006, dia belum memiliki buku nikah. Maklum, sebagai seorang duda beranak dua, dia dan Jasmi yang kebetulan janda beranak tiga, hanya menikah secara siri atau di bawah tangan. Keduanya belum mendaftarkan pernikahan mereka ke negara.
Begitu mendengar dan mendapat ajakan dari Sekretaris Kelurahan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, seketika Radjimin dan sembilan pasangan yang telah menikah di bawah tangan di wilayah itu, langsung bersedia mengikuti resepsi pernikahan massal untuk orang miskin terbesar di dunia yang digelar Selasa (19/7) kemarin di Istora Senayan, Jakarta.
Dengan hanya menyediakan tanda bukti nikah bawah tangan, wali dari pihak perempuan, dan surat pengantar dari RT setempat, semua prasyarat untuk mendapatkan buku nikah resmi itu dia bawa ke kelurahan. Selanjutnya, Sekretaris Kelurahan menindaklanjuti proses teknis berikutnya. Demikianlah, hingga akhirnya sekitar dua bulan lalu, dirinya bersama sembilan pasangan lain dinikahkahkan secara resmi menurut aturan negara di kelurahan di mana mereka tinggal.
“Sekarang sudah lega dan senang karena sudah punya buku nikah,” ujar Radjimin, yang berada di antara 4.541 pasang pengantin baru yang secara resmi mendapatkan buku nikah dari negara di Jakarta, kemarin.
Demikian halnya dengan Matiare (60). Laki-laki asli Bugis, Sulawesi itu, mengaku tinggal di Jakarta sejak tahun 1962. Dia menetap di Kalibaru Utara, Cilincing, Jakarta Utara. Sebagai seorang pelaut tulen, di rantau dia bertemu jodoh dengan Suasa (50) pada tahun 1968. Pada tahun yang sama, dia memutuskan menikahi pujaan hatinya itu.
Hasilnya, hingga sekarang dia sudah mempunyai enam putra. Anak tertuanya telah berusia 20 tahun dan telah lima cucu meramaikan rumahnya, yang sepengakuannya, tidak luas juga tidak sempit.
Motivasinya mengkikuti nikah massal untuk keluarga prasejahtera sederhana, “Supaya dapat buku nikah,” katanya.
Hal itu harus dia lakukan karena buku nikahnya, “Sudah hilang entah sejak kapan.”
Oleh sebab itu, ketika menikah kembali dengan istrinya, dia mengaku sangat senang. Namun dia mengakui, sejatinya untuk orang setua dia, tidaklah terlalu membutuhkan buku nikah. “Perasaan saya biasa saja mendapatkan buku nikah lagi,” kata Matiare.
Yang penting, imbuh dia, selama pernikahan sah di mata Tuhan, hukum negara tidak menjadi utama lagi. “Tapi kalau saya diberi buku nikah sama negara, ya alhamdulillah,” imbuh dia.
Ya, Radjimin dan Matiare adalah dua dari 4.541 pasang pengantin masyarakat prasejahtera pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Budha, dan Hindu yang dihadirkan dalam resepsi pernikahan massal di Istora, Senayan Jakarta.
Dalam resepsi pernikahan massal orang miskin yang diklaim terbesar di dunia itu, juga dipanjatkan doa dari lima agama resmi di Indonesia untuk kebahagiaan pasangan pengantin dan keselamatan bangsa Indonesia.
Yayasan Pondok Kasih, bersama stasiun televisi B Channel dan beberapa mitra kerjanya sebagai penyelenggara acara, berharap apa yang mereka gagas dapat menghidupkan suasana ‘’Indonesia kecil’’.
Sofia Koswara selaku CEO B Channel menambahkan, nikah massal ini diharapkan dapat memberikan identitas dan harga diri baru kepada peserta. Hal senada diutarakan Hana Ananda, pendiri Yayasan Pondok Kasih, yang berharap dengan acara itu kepedulian antarsesama warga bangsa dapat makin teruji dan kuat.
“Tanpa memandang perbedaan agama dan strata sosial,” katanya.
Hana, yang di kalangan pekerja sosial dikenal dengan sebutan Bunda Theresa Indonesia, bergerak untuk mengangkat derajat orang-orang prasejahtera untuk menghaluskan kata miskin, sejak 20 tahun lalu. Baginya, mengabdi ke tempat-tempat yang mungkin tidak diketahui, bahkan tidak tercantum di peta, adalah sebuah panggilan jiwa.
Pemerintah DKI Jakarta memberikan bantuan dengan memenuhi syarat administrasi kependudukan yang menjadi syarat administrasi pernikahan. Pasangan pengantin termuda dari ‘’Resepsi Pernikahan Massal untuk Orang Miskin Terbesar di Dunia’’ itu berusia 16 tahun dan tertua berusia 86 tahun.
Proses pendataan atas ribuan pasang pengantin itu, sebagaimana dikatakan Supit —salah satu panitia— dilakukan sejak bulan Februari lalu. Dalam empat bulan, panitia berhasil mengelilingi 44 kecamatan di DKI. Kini, dengan surat nikah yang telah ada di tangan, diharapkan keberlangsungan sebuah keluarga menjadi sehat.
Acara nikah massal itu dicatat oleh Royal World Record Inggris sebagai nikah massal terbesar di dunia hingga saat ini. (Benny Benke-43)
http://suaramerdeka.com/20 Juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar