JIKA dilihat dari pola serangan, peledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton, Solo, terlihat amatiran. Ledakannya kecil, mengenai sasaran yang terbatas, dan wajah yang diduga sebagai sang pelaku masih utuh. Namun, peristiwa tersebut juga menyadarkan kita pada tiga pelajaran penting.
Pelajaran pertama adalah bahwa proses regenerasi dalam kelompok teroris masih berjalan dengan baik. Tindakan represif aparat dengan pola menangkap, menyiksa, dan bahkan menembak mati tidak mampu secara tuntas membendung proses regenerasi pada kelompok ini.
Dibandingkan dengan cara pemerintah Singapura dan Malaysia dalam menangani kasus terorisme, jelas kita sangat tertinggal. Kedua negara itu nyaris tidak mengalami serangan teroris sejak jaringan Jamaah Islamiyah (JI) terbongkar setelah bom Bali I tahun 2002.
Di Indonesia, transfer ilmu tentang cara membuat bom kepada generasi baru berjalan secara berkala dan dilakukan secara diam-diam. Aparat pun tak bisa mendeteksinya.
Daya tarik utama dari proses pelatihan ini adalah keberadaan pemahaman bahwa mempunyai kemampuan merakit bom itu adalah bagian dari i’dad (persiapan) untuk menghadapi kemungkinan serangan kelompok di luar mereka.
Berdasarkan wawancara dengan para mantan kombatan ditemukan fakta bahwa kesadaran ini dibangun atas pengalaman mereka di lapangan (di wilayah konflik).
Pemahaman mereka, bahwa kelompok di luar mereka pun melakukan hal yang sama yaitu persiapan dalam bentuk dan skala yang berbeda. Oleh karena itu, bagi mereka, konfik yang semula dipicu oleh masalah komunal di Ambon dan Poso kemudian membesar menjadi kasus sektarian agama itu, disebabkan pihak lawan juga mempunyai tingkat kesiapan yang lebih tinggi dalam berkonfrontasi. Bahkan mereka yakin, ada kekuatan asing bermain dalam setiap konflik komunal yang timbul di Indonesia.
Pelajaran kedua, adanya upaya menjadikan Solo sebagai tempat aksi pengeboman. Hal itu tentu sangat mengherankan karena kota ini telah dianggap sebagai tempat pengaderan yang kondusif bagi kelompok ini. Pada masa awal reformasi, Solo menjadi saksi lahirnya berbagai gerakan paramiliter yang disebut laskar, seperti laskar Bonang, laskar Santri, laskar Hisbullah, dan lain-lain. Para anggota laskar inilah yang sebagian besar dimobilisasi untuk terlibat secara aktif dalam konflik Ambon dan Poso.
Di kedua wilayah itu pulalah mereka mendapatkan kemampuan militer seperti menembak, perang gerilya, dan bahkan meracik bom dari para pelatih yang rata-rata merupakan alumnus konflik Afganistan dan Moro. Maka terciptalah sebuah jaringan alumni konflik yang mempunyai rasa solidaritas yang tinggi antarmereka.
Trauma Konflik
Ironisnya, sampai hari ini, tidak ada data persis berapa jumlah post conflict actors tersebut dan bagaimana distribusi mereka setelah terlibat dalam konflik itu. Ketidakjelasan data menyebabkan tidak adanya proses integrasi bagi mereka ke dalam masyarakat secara sistematis yang seharusnya dilakukan oleh organisasi yang mengirim mereka maupun pihak negara. Layak diperkirakan bahwa sebagian besar di antara mereka mengalami trauma konflik yang sampai hari ini masih terbawa. Tidaklah mengherankan apabila terjadi gesekan kecil saja di tingkat akar rumput, seperti kematian tukang ojek di Ambon beberapa waktu lalu, masih menjadi alat pemantik emosi umat yang efektif.
Retorika untuk “membantu saudara seiman yang dizalimi” menjadi mantra manjur untuk mengobarkan semangat jihad. Bagi yang menolak atas ajakan jihad itu akan dituding sebagai kelompok yang qoidun (hanya duduk saja dan tidak tertarik jihad yang sesungguhnya).
Karena itu, patut diduga bahwa pelaku peledakan ini adalah jaringan di luar wilayah Kota Solo yang gerah melihat senior mereka di kota ini malah justru tidak segera bergerak menyikapi masalah Ambon. Mereka bisa jadi masih bagian dari jaringan pengeboman Cirebon yang sudah menjadi incaran aparat alias DPO.
Pelajaran ketiga adalah perlunya membangun perdamaian yang tertumpu pada penegakan hukum yang transparan dan accountable serta mengintegrasikan post conflik actors dari Afganistan, Moro, Ambon, dan Poso ke dalam masyarakat. Pendekatan yang hanya berbasis state center dan cenderung top down hanya akan menciptakan masalah baru di kemudian hari. Negara haruslah hadir dan mampu merangkul banyak pihak, terutama alumnus konflik yang benar-benar ingin memulai lembaran hidup baru. Untuk melakukan itu, tokoh agama, pendidik, dan para aktivis civil society bisa menjadi bagian penting dari kerja-kerja perdamaian ini. (65)
(Noor Huda Ismail, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian dan penulis buku Temanku, Teroris?)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/09/26/160520/
0 komentar:
Posting Komentar