Minggu, 24 Juli 2011

Energi Jahat Kekuasaan

Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kemelut Partai Demokrat? Kita seperti tak pernah mau menghindar dari “energi jahat” kekuasaan. Betapa banyak orang dan kelompok yang terantuk lalu terjatuh karena bermain-main dengan kekuasaan. Sistem, struktur, dan kultur politik kita saat ini mirip jaring: bisa menjerat siapa pun yang masuk ke dalamnya. Ongkos mahal untuk masuk ke partai politik dan orbit kekuasaan, ditebus dengan cara instan, yakni mengeksplorasi setiap celah dan peluang ketika sudah berada di wilayah itu.

Tiga tahun lalu, siapakah Muhammad Nazaruddin? Citra seperti apa pula yang kita tahu dari seorang Anas Urbaningrum kecuali intelektualitas dan kesantunannya? Begitu cepat mereka meroket di panggung nasional, begitu cepat pula “energi” di seputar kekuasaan memeloroti performa dua kader muda Demokrat itu. Jika benar apa yang dituduhkan kepada keduanya, juga kepada sejumlah kader lainnya — bermain-main dan menerima aliran dana haram — kiranya pengaruh “energi jahat” kekuasaan menjadi tamsil paling tepat.

Persoalan rumitnya adalah realitas keberjalinan “energi jahat” kekuasaan dengan energi serupa di wilayah penegakan hukum. Kontrol tidak berjalan efektif karena bekerjanya mafia hukum. Hukuman tidak menerbitkan efek jera karena tidak terasa pemberatannya untuk perkara-perkara penyelewengan kekuasaan, baik dari sisi kekuatan vonis maupun terapi sosial dari ranah publik. Kita selalu bicara momentum dan pelajaran penting ketika suatu kasus muncul, namun seperti apa realitas pemanfaatan “pintu masuk” itu?
Mengejar balik modal, gaya hidup yang men-”struktur” dan meng-”kultur”, menjadi godaan di wilayah kekuasaan. Peluang mengatur anggaran, celah memainkan proses tender, dan pematokan fee dari proyek-proyek berbau kongkalikong seolah-olah menjadi menu yang melekat pada bias kekuasaan. Jika orientasi demikian masih terus berlanjut tanpa kontrol kepribadian, lingkungan, elemen-elemen masyarakat, sistem, dan hukum, kita tidak yakin dunia politik kita bisa dibuat jera oleh kaca benggala “kasus Nazaruddin” ini.

Menjelang Rapat Koordinasi Nasional Partai Demokrat yang Minggu kemarin berakhir, kita mencatat pernyataan Sekretaris Jenderal Edhie Baskoro tentang penegasan sikap partai yang antikorupsi. Pernyataan itu serasa “ampang” justru karena publik mengamati prahara yang belakangan ini menerpa partai berkuasa tersebut. Yang akan menentukan bobot sebuah slogan adalah bagaimana konsistensi perekatan kesenjangan antara ide dengan aplikasi dalam sikap keseharian para pengurus dan kader yang telah masuk ke orbit kekuasaan.

Secara internal, faksionasi yang menajam dalam menyikapi persoalan Nazaruddin dan tudingan-tudingannya kepada Anas Urbaningrum, mungkin bisa diredakan lewat Rakornas. Namun tanpa keseriusan untuk menuntaskan sejumlah tudingan yang diangkat oleh Nazar ke ruang publik, popularitas partai bisa tertekan menjelang kontestasi 2014. Demokrat perlu terbuka dan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi bekerja tanpa tekanan apa pun, justru demi pemulihan citra partai yang mengusung slogan “Katakan Tidak untuk Korupsi” itu.
http://suaramerdeka.com/25 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar