Jumat, 29 Juli 2011

Terserah Dibilang Gila Nyatanya Saya Sehat

Meski sudah diimbau PT KAI, warga di sekitar Stasiun Rawa Buaya, Jakarta Barat, masih nekat melakukan terapi di atas rel kereta api listrik. Mereka mengaku merasakan manfaatnya, meski untuk menjalani terapi itu harus menantang bahaya.
BELAKANGAN ini warga Jakarta dihebohkan perilaku penduduk Rawa Buaya, Cengkareng yang menjalani pengobatan alternatif dengan cara tidur telentang di atas rel kereta api. “Terapi” itu dilakukan beberapa menit, tergantung niat dan perasaan masing-masing.
Fenomena itu ironis, karena terjadi di Ibu Kota yang merupakan pusat segala macam aktivitas negeri ini. Apalagi, terapi dilakukan di jalur rel yang sangat aktif. Setiap hari ada 24 kali perjalanan kereta api dari Stasiun Duri Tanah Abang ke Stasiun Kota. Jalur itu memang tidak sepadat jalur-jalur lain seperti Stasiun Kota-Bogor, Kota-Bekasi, Tanah Abang-Serpong, atau Sudirman-Serpong.
Menurut Senior Manager Kamtib PT KAI Daerah Operasi Jakarta, Ahmad Sujadi,  jalur kereta api Stasiun Duri Tanah Abang-Tangerang Kota paling padat pada sore hari. Warga di sekitar Stasiun Rawa Buaya nampaknya sudah mengetahui jadwal perjalanan KA yang melintasi jalur tersebut. Rentang waktu yang cukup lama membuat mereka leluasa menjalani terapi aliran listrik. Tetapi mereka tetap waspada tiap kali mendengar aba-aba kereta akan melintas.
Jarak Stasiun Rawa Buaya ke tempat para warga menjalani terapi sekitar 300-400 meter. Seorang warga, Rizal (45), mengaku, dirinya sudah enam bulan melakukan terapi di rel. Alhasil, penyakit darah tingginya sembuh.
”Sekarang darah tinggi saya sudah sembuh dan badan terasa enakan kalau habis terapi,” akunya.
Lokasi yang cukup jauh dari jalan utama menjadi salah satu alasan mereka melakukan terapi di tempat itu. Mereka leluasa menikmati terapi sambil tiduran tanpa malu menjadi tontonan orang banyak. ”Tidak terlalu kelihatan dari jalan raya,” katanya.
Seorang warga lain, Santi  (43) mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, lokasi terapi itu terbilang cukup nyaman karena jauh dari keramaian. Dia juga tidak mempermasalahkan jika ada orang yang menilai dirinya aneh.
”Terserah orang mau bilang saya gila, kenyataannya saya sehat,” kata Santi yang datang bersama anaknya.
Baru tiga bulan menjalani terapi, perempuan yang menderita sakit penyempitan saraf dan vertigo itu sudah mulai merasakan efek positif dari arus listrik.
”Sekarang saya sudah bisa nengok,” ungkapnya.
Berdasarkan pantauan, walaupun semakin sore perjalanan kereta api yang lewat jalur tersebut semakin padat, warga terus berdatangan. Karena sangat membahayakan, PT KAI yang dikomandoi Kepala Stasiun  Rawa Buaya, Suardi terus melakukan pencegahan agar “pengobatan alternatif” itu tidak dilakukan.
Namun demikian, Suardi tidak bisa memberikan target waktu penertiban tersebut. Mengingat hingga saat ini  masih ada saja warga yang menjalani terapi tersebut. Hanya saja, dia menegaskan, sejak dikeluarkannya surat pelarangan melakukan pengobatan di atas jalur rel kereta api di sekitar Stasiun Duri, Stasiun Pesing, dan Stasiun Rawa Buaya, pihaknya telah mengerahkan dua sampai tiga petugas untuk memantau lokasi.
“Mudah-mudahan secepatnya perlintasan itu bisa kami kosongkan,” lanjut Suardi.
Suardi mengaku kewalahan memberi peringatan kepada warga.
“Kami tetap melakukan upaya persuasif dan memberikan pemahaman ke warga. Kami tetap mengkhawatirkan, mereka di sana santai sambil ngobrol, nanti tidak konsentrasi kalau ada kereta datang,” katanya.
Menurut Suardi, sebetulnya aktivitas itu bukan yang pertama kali dilakukan warga Rawa Buaya. Bahkan menurutnya, jika dibandingkan beberapa bulan sebelumnya, peminat terapi belakangan ini menurun.
“Terapi itu selalu berulang. Kami sudah koordinasi dengan kelurahan, tapi setiap sore ada saja warga yang datang. Tapi kalau sekarang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan beberapa bulan lalu. Sekarang paling 10 orang per hari,” lanjut Suardi yang mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali menemukan dan menjalani terapi arus listrik di tempat itu.
Darah Lancar
Menurut dokter spesialis syaraf Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Mursyid Bustami SpS(K) KIC, antaran panas ke bagian tubuh diyakini bisa membuat peredaran darah pasien lancar. Peredaran darah lancar membuat organ-organ tubuh berfungsi maksimal.
Mungkin alasan itulah yang membuat warga Rawa Buaya melakukan terapi unik itu. Namun, sambung Mursyid, manfaatnya belum teruji secara medis dan masih memerlukan pembuktian dalam waktu yang lama.
“Karena begitu yakin dengan manfaatnya, atau pengaruh sugesti positif atau efek plasebo, warga seolah tidak ambil pusing jika ada rangkaian gerbong kereta melintas di jalur sebelahnya. Mungkin dianggapnya, risiko tersambar kereta tidak ada apa-apanya dengan rasa syukur jika bisa sembuh dari penyakitnya,” kata Mursyid.
Terapi jenis itu relatif baru, jadi belum banyak penelitian yang membuktikan manfaat berbaring di atas rel KA. Namun diyakini, terapi tersebut memberikan manfaat bagi kesehatan karena rel kereta memiliki aliran listrik berkekuatan sedang yang bisa mempengaruhi fungsi berbagai organ tubuh.
Dugaan itu cukup masuk akal karena berbagai penelitian membuktikan bahwa listrik bisa dimanfaatkan untuk kesehatan. Di antaranya mengatasi epilepsi, gangguan pendengaran, serta nyeri di kepala. Meski demikian, berbaring di rel KA sepertinya bukan ide bagus jika ada pilihan lain yang lebih aman. Beberapa terapis akupunktur mengombinasikannya dengan teknik tusuk jarum, sehingga aliran listrik bisa diarahkan ke titik-titik tertentu.
Selain tersambar kereta, ada beberapa risiko kesehatan yang harus diperhatikan sebelum mencoba terapi gratis ini. Misalnya dampak dari mesin lokomotif. Seperti halnya mesin kendaraan bermotor, mesin lokomotif kereta api juga menggunakan berbagai komponen yang bisa membahayakan kesehatan. Bahan semacam asbes yang dipakai sebagai pelapis (perpak) pada sambungan mesin bisa melepaskan partikel di sepanjang jalur kereta dan memicu sejenis kanker paru, yakni mesothelioma.
Tak hanya di Indonesia, polusi udara juga terjadi di belahan bumi lain dan memberikan kontribusi paling besar bagi pemanasan global. Dikutip dari literatur, polusi udara di California, AS menewaskan 21.000 orang per tahun, salah satunya berasal dari gas buang mesin lokomotif.
Mesin diesel yang dipakai kebanyakan lokomotif kereta api menghasilkan emisi gas buang yang beracun. Gas karbon monoksida yang merupakan sisa pembakaran tidak sempurna dari mesin lokomotif bisa mengikat hemoglobin di dalam darah, sehingga memicu sesak napas karena distribusi oksigen tidak lancar.
Selain itu, lokomotif akan membunyikan klakson yang bunyinya memekakkan telinga. Jika terjadi terus menerus, bisa memicu gangguan pendengaran.
Ancaman lainnya adalah dari bakteri. Seperti diketahui, rel kereta api pada dasarnya merupakan toilet terpanjang. Psalnya, kereta yang melintasinya tidak punya toilet yang dilengkapi penampung kotoran. Untuk “menyamarkan” wujud kotoran yang tercecer sepanjang rel, toilet hanya boleh dipakai saat kereta berjalan.
Air seni ataupun kotoran manusia mengandung bakteri dan kuman lain, termasuk telur cacing. Karena itu, salah satu risiko bermain-main di sepanjang rel kereta api adalah gangguan pencernaan akibat terinfeksi kuman dari kotoran manusia.
Layanan Puskesmas
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengaku prihatin atas fenomena terapi itu. Foke, begitu Fauzi Bowo disapa, meminta camat serta lurah setempat melarang terapi tersebut. Foke juga mengimbau warga tidak melakukannya lagi karena membahayakan.
“Warga jangan percaya dan melakukan hal-hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi sampai saat ini tak ada penelitian yang mengatakan terapi itu dapat menyembuhkan,” kata Foke.
Foke membantah alasan warga memilih terapi pengobatan di rel listrik karena puskesmas di wilayah mereka tidak dapat memberikan pelayanan optimal, khususnya bagi warga yang tidak mampu. “Ini masalah orang yang pola pikirnya keliru saja,” katanya.
Menurutnya, dari dulu puskesmas kecamatan di Jakarta telah mendapat sertifikasi International Standard Organization (ISO). Sertifikasi ISO tidak begitu saja diperoleh, karena harus melalui proses dan tes dalam penilaian.
“Ini bukti pelayanan puskesmas di Jakarta cukup baik,” tegasnya.
Menurut Foke, indikator kesehatan masyarakat di kota Jakarta bukan hanya bisa dilihat dari kondisi puskesmas. Karena itu, pilihan warga untuk mengikuti terapi pengobatan rel listrik tersebut harus diluruskan dan tidak bisa dikaitkan dengan asumsi rendahnya pelayanan kesehatan di Ibu Kota. (Budi Nugraha-59)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/30 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar