Dalam catatan Tomme Pires pada dasawarsa kedua abad ke-16 menempatkan "Teteguall" (Tegal) sebagai bandar yang penting di sepanjang pantai utara dan pantai timur Jawa. Perdagangan di Tegal pada akhir abad ke-16 dikuasai oleh kaum bangsawan. Namun demikian pengurusan langsung usaha dagang ditangani orang-orang yang mereka percayai. Kaum bangsawan lebih bertindak sebagai penanam modal dalam perdagangan dan pemilik sebagian besar perahu-perahu.
Tegal merupakan daerah yang dipercaya Mataram pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I sebagai daerah pengaman bagi kerajaan. Pada masa itu banyak prajurit Jawa yang ditempatkan di Tegal. Tetapi setelah adanya kontrak antara kompeni dan Sunan Pakubuwono II, disebutkan dalam pasal II kontrak tersebut yang berbunyi supaya sunan menarik atau memanggil prajurit itu ke istana. Dalam kontrak baru perdamaian antara Pakubuwono II dengan Kompeni juga mewajibkan sunan untuk mengumpulkan alat-alat dan tenaga untuk membangun dan memperbaiki loji yang ada di Tegal.
Pada masa terjadi pertempuran antara Mataram dengan Madura awal abad ke-17 Kompeni mendapat kesukaran untuk memperoleh beras dari bandar-bandar Mataram karena semua perahu Mataram digunakan untuk keperluan perang. Untuk mengatasinya maka Kompeni Batavia terpaksa mengirimkan kapal-kapalnya ke Tegal, Demak, Jepara, dan Kendal untuk mengangkut beras.
Pada awal abad ke-18 kota Tegal juga memainkan peran yang sangat penting. Dimana pada saat itu Kompeni berusaha memperkuat pertahanan Tegal agar tidak jatuh ke tangan Mangkubumi. Pertahanan Kompeni terhadap Tegal itu dengan tujuan untuk mempekuat pertahanan kota dalam menghadapi penyerangan dari Pangeran Mangkubumi pada masa Perang Giyanti. Pertahanan yang dilakukan Belanda dengan cara mendatangkan pasukan dari Madura dan Surabaya sebanyak 2000 orang.
Pada masa Kerajaan Mataram, wilayah Tegal menjadi bagian dari kekuasaannya. Dengan demikian maka kepala daerahnya diangkat oleh pemerintah kerajaan dengan surat ketetapan (piagam) raja. Pada masa pemerintahan kolonial, surat ketetapan itu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial di Batavia.
Pada tahun 1600-an, Tegal merupakan daerah yang ditunjuk Sultan Agung sebagai tempat untuk membawa beras dengan perahu yang diperlukan bagi persediaan pangan tentara Mataram dalam menyerang VOC di Batavia.
Tanggal 31 Agustus 1629 hampir keseluruhan pasukan tiba di daerah sekitar Batavia. Mereka datang berkuda membawa bendera, panji-panji , dan juga gajah. Saat sampai Batavia, Mataram mengatur siasat dengan mengirim seorang utusan yang bernama Warga untuk meminta maaf kepada Kompeni mengenai hal yang telah terjadi. Kompeni menerima Warga dengan baik, sementara itu kedua kalinya, ia ditangkap dan ditanyai tentang kebenaran berita, bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Hal ini dibenarkan oleh Warga dan rahasia bahwa Tegal menjadi gudang persediaan beras bagi tentara Matarampun terbuka. Setelah mendapat keterangan ini Kompeni mengirimkan armadanya ke Tegal, dimana perahu-perahu Mataram, rumah-rumah, dan gudang-gudang beras bagi tentara Mataram dibakar habis. Setelah Tegal dirusak, Kompeni mengarahkan perhatiannya kepada Cirebon. Akibat pemusnahan gudang beras Mataram, usaha pengepungan Batavia tidak berlangsung lama. Total kerugian yang diderita Mataram di Tegal sebanyak 4.000 pikul bersama dengan 200 perahu.
Persiapan Mataram untuk menggempur Batavia sebenarnya sudah terdeteksi oleh mata-mata VOC. Mata-mata itu melaporkan bahwa Mataram telah mengangkut dan menimbun sejumlah besar beras di sepanjang pantai, utamanya di daerah Tegal. Sebelum dibawa ke Batavia, padi yang diangkut dengan 100 perahu tersebut akan ditumbuk dulu di Tegal.
Pada masa Amangkurat I, Tegal direncanakan dipakai oleh Sultan dan VOC untuk melakukan pertemuan berkaitan dengan pemberontakan di Mataram. Namun belum terlaksana karena Amangkurat I meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke kapal VOC yang berlabuh di Tegal. Dalam kondisi sakit sekitar dua minggu dia dibawa di dalam sebuah tandu ke arah barat melalui distrik Bagelen dan pegunungan di Banyumas. Sultan berharap dapat mencapai Tegal untuk bertemu dengan VOC yang telah menunggunya di dalam Kapal.
Amangkurat I meninggal di sebuah desa kecil sebelum mencapai pantai. Tubuhnya diantarkan ke Tegal dan dikebumikan di atas bukit buatan yang diberi nama Seda ing Tegal Wangi. Putra mahkota, yaitu Amangkurat II menggantikan ayahnya menjadi raja Mataram sekaligus diakui oleh VOC sebagai penguasa di Tegal dan Jepara. Setelah kematian Amangkurat I sebenarnya penguasa Tegal, Tumenggung Martalaya telah menyarankan kepada Amangkurat II untuk tidak meminta bantuan VOC dalam menumpas pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur, tetapi saran ini ditolak, dia cenderung lebih kooperatif dengan VOC, bahkan penguasa Tegal tidak disukai oleh Sultan.
Pada tahun 1677 ketika Amangkurat II menandatangani kontrak dengan VOC, daerah Jepara dan Tegal merupakan suatu tempat yang tersisa di sepanjang pantai utara Jawa yang belum dikuasai oleh Pasukan Trunojoyo. Perbatasan wilayah antara Kompeni dan Mataram menggunakan patokan sungai Tjilosari Tegal.
Berkat jasa VOC terhadap Mataram pada waktu membantu pemberontakan Trunojoyo, maka sekitar tahun 1680 VOC mengangkat dirinya sebagai penguasa di pesisir Jawa, termasuk di Tegal. Di tempat inilah VOC membangun benteng yang kuat dan membangun pos perdagangan. Di sini sebenarnya mulai muncul embrio penduduk Eropa yang mendiami Kota Tegal. Pada awalnya sekitar tahun 1680 masyarakat Eropa tinggal dan membangun benteng, sehingga keberadaan mereka cukup ekslusif. Keuntungan tinggal di benteng adalah keamanan terjamin dan secara militer kekuatan VOC tidak pernah terpotong dari laut. Keberadaan orang Eropa di benteng
sejalan dengan kebijakan antara VOC dan Bupati Tegal untuk mengelompokkan pedagang Eropa dan tentara Eropa terpisah dari penduduk Jawa. Mereka tinggal dibenteng dan tidak seorangpun dapat masuk ke lokasi itu tanpa seijin VOC dan bupati. Dalam perkembangannya karena hidup di dalam benteng tidak menyenangkan, sehingga mereka pindah ke rumah yang dibuat permanen di kota.
Adapun orang-orang Jawa tinggal di sebelah timur kampung kota dan oran-orang Cina tinggal di sebelah selatan. Pemukiman Eropa di kota ini terletak di dekat laut, di sekitar suatu lapangan luas dekat rumah residen, di depan benteng. Di depan rumah residen terdapat gudang-gudang, sedangkan di tepi laut dan di belakang bangunan ini terletak sebuah fondasi bagi bangunan kubah gereja Tegal.
Pada masa Pakubuwono II, Sunan meminta bantuan VOC dalam menumpas pemberontakan Cina (1740-1743). Melalui perjanjian tanggal 18 Mei 1746, maka daerah pesisir Mataram yang masih tersisa diserahkan kepada kompeni,
termasuk Tegal (Perjanjian 4 November 1743 dan 18 Mei 1746, antara Pakubuwono II dan Kompeni terdapat dalam arsip Solo.
Posisi transportasi Tegal juga cukup strategis karena dapat dilalui dengan menggunakan jalur darat. Rute darat di antara Tegal dengan daerah lain atau ke pedalaman pernah dijelaskan oleh Gubernur Jenderal van Imhoff. Dia menggambarkan bahwa dalam kunjungannya ke Mataram tahun 1746, dari Surakarta ke Tegal melewati Kartasura, Jogjakarta kemudian lewat Kota Gede menuju pantai Selatan menyusuri pinggir sungai Bagawanta lewat Bagelen, Roma (Karanganyar), Pamerden (Merden) di Purworejo Timur) lalu ke Banyumas jalan kaki melewati Gunung Slamet ke Tegal. Di samping itu sesampai di Banyumas ada pula jalan utama yang bercabang menuju Tegal sebagaimana yang dilalui oleh Amangkurat I tahun 1677.
Secara ekonomi, Tegal telah berkembang sejak lama yaitu saat VOC mengembangkan sayapnya di pesisir Jawa. Pada tahun 1678, telah ada usaha untuk mmenjamin beberapa bisnis di Tegal meskipun ada perkembangan yang mengkhawatirkan. Pegawai pos perdagangan VOC yang baru tiba di Tegal melakukan usaha untuk mematikan suatu sistem skala yang lebih kecil, dengan cara menyediakan tekstil secara kredit bagi wanita di pasar Tegal.
Pada masa Amangkurat II, Mataram diintervensi oleh VOC karena imbalan terhadap jasa yang diberikan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur.
Bantuan Belanda terhadap Amangkurat II ini membuat Tegal dibawah kekuasaan VOC sehingga impor apapun ke Tegal termasuk pakaian dan opium harus mendapat persetujuan dari Belanda melalui Adipati Mandaraka yang telah ditunjuk VOC sebagai pemimpin Tegal.
Namun demikian, para pesaing VOC mencari terobosan lain dengan cara mengeksploitasi pada skala kecil pula. Sebagai contoh, Moors dari Banten menjual tekstil di Tegal di bawah lantai yang mereka potong di depan kapal mereka di atas pantai. Mereka menjual dengan cara membentangkan kain panjang setiap hari selama sepuluh hari untuk menarik minat pembeli sebelum kembali ke laut lagi. Orang Cina juga demikian, mereka menjual dalam jumlah kecil opium di pasar Tegal, serta masuk ke desa-desa secara rutin dan berkeliling menukarkan opium mereka dengan sekam padi, gula, atau yang lain
. Jadi sebenarnya aktivitas ekonomi di Tegal telah muncul cukup lama. Sebagai salah satu penghasil beras, maka harga beras di Tegal tahun 1680-1740 agak lebih baik yaitu 15-20 rix dollar perkoyang.
Pada tahun 1724, residen baru Tegal, De Laval memutuskan bahwa Tegal akan menjual beras secara langsung dari petani ke pasar. Dalam memperkuat harga, maka tujuh pembeli Eropa menetap secara permanen pada pasar beras utama di Tegal dan Pekalongan. Mereka dan pembantu orang Jawanya membeli beras dalam skala kecil. Beras dimasukkan ke karung goni dan kemudian dikirim ke kota Tegal dengan menggunakan kereta kerbau sewaan atau perahu. Selain itu ada juga beras yang dikirim ke toko, warung, maupun di simpan di gudang. Para pembeli mempunyai hubungan yang erat dengan petani. Pembeli di Lebaksiu di selatan Tegal memberi 2 rix dollar untuk setiap jung tanah garapan. Di sisi lain petani mengharapkan hasil kurang lebih 12.000 kati padi beras tumbuk.
Kadang-kadang penduduk datang untuk memohon kredit dengan inisiatifnya sendiri tetapi biasanya pembeli menyarankan untuk melakukan kredit dulu dengan tujuan agar mudah dikontrol. Areal sawah yang ditanami oleh setiap rumah tangga pada tahun 1795-1809 terlihat dalam
tabel berikut :
Jumlah Sawah dalam Hektar
1795-1799 0,55
1800-1804 0,56
1805-1809 0,53
Data tersebut menunjukkan bahwa luas areal sawah yang ditanami oleh setiap rumah tangga di Karesidenan Tegal mengalami fluktasi.
Di sektor tenaga kerja, VOC membutuhkan pekerja Jawa di pesisir untuk bongkar muat barang maupun untuk memelihara benteng. Para pekerja dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pekerja yang tujuannya untuk memenuhi kewajibannya pada bupati dan kedua adalah pekerja VOC murni. Kedua kelompok ini menerima bentuk imbalan jasa, menerima hak, dan kepastian bekerja pada sebidang tanah untuk memperoleh hasil atas tenaganya. Pada tahun 1705, di pos perdagangan di Tegal tiap hari membutuhkan pekerja 40 orang untuk tugas yang cukup sulit ini
.
sumber: www.tegalkota.go.id
0 komentar:
Posting Komentar