WARGA keturunan Tionghoa percaya bahwa antara manusia di dunia dengan orang tua dan leluhur mereka yang sudah meninggal dunia tetap terjalin hubungan bathin. Untuk itu, mereka menggelar upacara tradisi Chau Du Fa Hui yakni upacara nyadran ala Tionghoa.
Secara garis besar, upacara ini hampir sama dengan tradisi nyadran dalam masyarakat Jawa. Mereka melakukan sejumlah prosesi untuk mendoakan arwah orang tua, kakek dan nenek moyang yang sudah meninggal dunia.
Ada beberapa prosesi dalam upacari di antaranya adalah upacara kepada YM Cheng Huang Ye, kemudian upacara mengundang arwah leluhur, uoacara menyeberang jembatan emas dan perak, membersihkan arwah, upacara menghadap YM Tau Yi Tian Zen, upacara persembahan makanan dan ditutup dengan upacara menghantar arwah.
Warga Tionghoa menggunakan berbagai makanan dan minuman yang memiliki simbol dan perlambang tertentu. Seperti kue mangkuk yang melambangkan kemakmuran, kue cetak sebagai simbol harapan panjang umur dan wajik yang bermakna memperat hubungan kekerabatan dan silaturahmi.
Masing-masing makanan tersebut diletakkan di atas meja dan diberi tulis nama leluhur masing-masing keluarga. "Kami percaya bahwa antara kita dan yang sudah hubungan tetap ada hubungan. Tugas kita untuk berbakti pada mereka," jelas Budi Hartoyo, Sektraris Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Keleteng Hok An Kiong Mutilan.
Menurut Budi tujuan upacara Chau Du Fa Hui sama persis dengan tradisi nyadran masyarakat Jawa. Hanya saja cara dan bentuk prosesinya yang berbeda karena terkait faktor tradisi dan kebudayaan yang berbeda.
Replika
Jika ada anggota keluarga yang meninggal kurang dari satu tahun, maka mereka harus menyediakan minatur rumah untuk dikirim kepada ke alam baka. Mereka percaya bahwa orang yang baru meninggal membutuhkan tempat tinggal.
Dalam upacara ini juga disediakan replika kapal laut untuk menghantar seluruh doa dan persembahan tersebut. ”Kami mengirimkan makanan, pakaian, sepatu, perhiasan dan lain sebagainya," kata dia.
Ketua Panitia Upacara Chau Du Fa Hui Budiyono menambahkan bahwa pihaknya juga menyediakan altar khusus untuk arwah leluhur yang tidak pernah dirawat ahli warisnya atau yang terputus keturunannya.
"Selesai upacara kami akan membakar replika kapal layar, kertas serta ratusan peti aneka warna. Peti ini berisi pakaian, sepatu, tas, hp dan semua kebutuhan manusia. Ini kami berikan untuk arwah keluarga kami," jelas Budiyono.
Budiyono mengatakan bahwa rangkaian acara tersebut dipimpin oleh Chen Li Wei Dao Chang, murid generasi ke 22 Quan Zhen Long. Ia merupakan tokoh besar warga Tiong Hoa.
(MH Habib Shaleh/CN26)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/kejawen/2011/08/07/550/
0 komentar:
Posting Komentar