Bisa mengikuti Olimpiade Sains, apalagi mampu memenanginya, merupakan sebuah kebanggaan. Namun tentu tak mudah untuk menggapai prestasi di level internasional itu. Bagaimana para kampiun ini belajar, berikut laporannya.
KO Abel Ardana Kusuma baru berusia 13 tahun. Tapi, prestasinya sungguh membanggakan. Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), siswa SMP Karangturi Semarang ini sudah meraih beberapa prestasi internasional.
Prestasi gemilang itu bahkan sudah mulai diraihnya ketika duduk di bangku kelas 3 SD, dari tingkat kecamatan, kota, provinsi, hingga nasional. Seluruhnya di bidang matematika.
Akhirnya, ketika duduk di kelas 5 SD, remaja Semarang ini berhasil membawa pulang medali perunggu dari ajang Olimpiade Matematika dan Sains Internasional (IMSO) 2009 di Yogyakarta. Tidak lama setelah itu, medali perak direbutnya di Philipines International Mathematics Competition (PIMC) 2009.
Merasa tertantang, putra pasangan Ko Sen Tju dan Trilisanny ini terus mengembangkan minat dan bakatnya melalui bimbingan belajar. Dia pun bergabung di lembaga bimbingan Matematika Sakamoto.
Dari lembaga tersebut, Abel mendalami bermacam-macam bentuk soal untuk lomba tingkat internasional dengan berbagai tingkat kesulitan.
Abel mengaku, porsi latihan matematika dilakukannya 2-4 jam sehari, baik di rumah maupun sekolah. Dia tetap mempelajari mata ajar lain dan juga menyempatkan bermain game atau jalan-jalan bersama keluarga saat akhir pekan.
Bakat matematika yang dimiliki siswa kelas VIII SMP Karangturi ini memang bukan turunan dari orang tuanya. Akan tetapi, sejak kecil bungsu dari dua bersaudara itu sudah terlihat minatnya sehingga orang tuanya pun tinggal mengarahkan.
Saat ini, sudah lima medali kejuaraan internasional yang dikoleksinya. Terakhir adalah meraih medali perunggu International Mathematics Contest (IMC) Korea, 26-30 Juli 2010, medali perak IMC di Singapura, Agustus 2010, dan perunggu International World Youth Mathematics Intercity Competition (IWYMIC) Bali 2011.
Bagaimana kesan Abel dari setiap kompetisi yang dikutinya?
“Suka duka itu ada, tapi saya bawa senangnya saja. Bisa punya teman baru dari berbagai negara dan jalan-jalan gratis. Paling enak saat di Singapura, selama lima hari di sana, tiga hari bisa jalan-jalan,” tutur remaja yang bercita-cita jadi insinyur itu.
Beda Cita-cita
Tidak semua remaja yang berprestasi di Olimpiade Sains membangun cita-cita sejalan dengan ilmu pengetahuan yang ditekuninya.Contohnya Cliff Alvino Wijaya (15) yang meraih medali perunggu dan Wildan Giffari (17) yang meraih medali emas di ajang Asian-Pacific Astronomy Olympiad (APhAO) yang diselenggarakan Desember 2010 di Karubaga, Papua.
Cliff adalah siswa kelas XI SMA Karangturi Semarang dan Wildan merupakan alumni SMA Semesta Semarang. Dalam setiap kompetisi, mereka berdua bergelut di bidang astronomi. Namun impian masa depan mereka sama sekali tak terkait dengan bidang tersebut.
Cliff lebih tertarik meneruskan usaha orang tuanya di pabrik plastik, sedangkan Wildan memilih berkeliling dunia untuk riset dan mengembangkan ilmu robotik. Mengapa demikian dan apa alasannya?
“Saya takut bosan kalau kuliah di bidang astronomi. Ilmu itu sudah ter-cover selama ikut pelatihan dan lomba Olimpiade. Lebih baik saya mewujudkan cita-cita saya untuk membuat dan memproduksi lengan dan kaki bionik sekaligus menjadi peneliti serta pengusaha,” tutur Wildan, remaja kelahiran Bandung 28 Oktober 1994 itu.
Saat ini Wildan sedang bersiap mengikuti International Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA) di Polandia, yang akan digelar 23 Agustus mendatang. Putra pasangan Saiful Anam dan Yati Hilyatul Maftuha itu tetap akan mewakili SMA Semesta Semarang, meskipun sekarang dia sudah mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Elektro.
Hal ini karena pembinaan yang dilakukan di Bandung oleh Kemdiknas dan Prodi Astronomi ITB dalam menghadapi lomba tersebut sudah dilakukan sejak dia duduk di bangku SMA.
Tentu saja dengan seringnya mengikuti kompetisi ada suka dukanya, bahkan perlu ada yang dikorbankan.
“Suka sih bisa jalan-jalan, ketemu teman baru, merasakan makanan khas di tempat lain, seperti di Papua tahun lalu bisa merasakan ubi rebus dan menikmati pemandangan alamnya yang indah. Selain itu, juga meringankan beban orang tua, karena kalau menang di setiap lomba kan dapat uang serta beasiswa bisa kuliah di mana saja,” terang Wildan, yang mempunyai hobi membaca dan bermain bola itu.
Adapun duka, lanjutnya, kadang bosan dengan materi karena harus latihan terus. Juga jauh dengan keluarga, apalagi Lebaran tahun ini dia akan berada di negeri orang dan tidak bisa merayakan Idul Fitri bersama orang tua serta saudara.
Sementara Cliff, selain berprestasi di bidang astronomi, juga menekuni bidang lainnya seperti menggambar, musik, dan matematika. Bahkan keikutsertaannya dalam lomba-lomba di jenjang SD dan SMP yakni pada bidang melukis dan matematika.
“Ikut lomba matematika sudah sejak SD dan menang hingga tingkat provinsi. Tahun 2010 menang di Olimpiade Sains Nasional (OSN) dan mendapat medali emas. Akan tetapi untuk maju ke lomba berikutnya, sekolah menyarankan ikut bidang astronomi. Saya tidak mau karena selama ini latihannya matematika kok disuruh ke astronomi yang asing, dan di ajang internasional pula,” ungkapnya.
Kendati demikian, lanjut Cliff, sekolah terus mendesaknya untuk mengikuti latihan rutin. Meski awalnya takut kalah karena saingannya berat, akhirnya dia malah jatuh cinta dengan astronomi.
“Astronomi itu unik. Kita mempelajari benda yang tidak bisa kita sentuh, namun ada observasi dan prakteknya. Tidak melulu teoritis saja,” ujarnya.
Karena terbatasnya buku-buku astronomi, Cliff pun rajin browsing di internet untuk menambah pengetahuannya.
Namun, ke depan, bungsu dari tiga bersaudara pasangan Hariyono Wijoyo dan Florentina ini tetap ingin meneruskan usaha sang ayah. Remaja kelahiran Semarang, 10 Oktober 1996 ini bercita-cita kuliah di China dan mengambil jurusan Teknik Mesin, yang sama sekali tak terkait dengan astronomi. (Anggun Puspita-43)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/08/11/155833/
0 komentar:
Posting Komentar