IMPOR pangan Indonesia meningkat drastis adalah setelah jadi anggota World Trade Organizations (WTO) yang mengusung perdagangan bebas melalui perjanjian multilateral. WTO berdiri 1994 dan Indonesia termasuk negara paling awal meratifikasi jadi anggota tahun 1995. Melalui Agreement on Agriculture (AOA) WTO, terbukalah pintu Indonesia untuk pasar perdagangan bebas dan neoliberalisme. Pintu makin terbuka setelah Presiden Soeharto menandatangani letter of intent dengan IMF dan Structural Adjustment Program (SAP) dengan Bank Dunia 1997. Dua paket itu mengharuskan Indonesia melakukan privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi untuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi. Dua paket itu juga punya andil bagi penurunan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.
Sejak 1998 beras impor dengan bebas bea impor, kacang kedelai, buahan-buahan membanjiri seluruh pasar kita (lihat tabel). Dampak negatif bermunculan di banyak negara anggota WTO, sehingga terjadi aksi penentangan terhadap WTO baik oleh negara maupun organisasi massa tani dan lembaga swadaya masyarakat dari tingkat nasional hingga regional, termasuk Serikat Petani Indonesia dan La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional). Setiap konferensi tingkat menteri (KTM) WTO, terjadi aksi protes besar seperti KTM III di Seattle AS 1999, KTM IV di Doha 2001, KTM V di Cancun 2003, KTM VI di Hong Kong 2005, dan pertemuan kecil tingkat menteri di Geneva 2008.
Terikat FA
Pertemuan kecil para menteri yang diharapkan dapat menyelesaikan agenda Putaran Doha menghadapi jalan buntu. Itu juga terjadi pada KTM-KTM sebelumnya. Putaran Doha membicarakan kesepakatan perdagangan bebas, khususnya isu subsidi dan tarif atas produk pertanian. Sejumlah negara maju menganggap ketidaan kesepakatan perundingan special safeguard mechanism (SSM) di sektor pertanian jadi penyebab utama kebuntuan negosiasi. Negara maju menolak konsep SSM karena menganggap menghalangi ekspor produk pertanian mereka. Sebaliknya, sejumlah negara berkembang yang dimotori India dan Brasil mempertahankan dengan pertimbangan SSM dapat melindungi kepentingan petani yang jadi mayoritas penduduk mereka.Upaya mengusung perdagangan bebas tak berhenti pada perjanjian multilateral. Terlebih pasca-WTO terhenti, kaum neoliberal berupaya melakukan perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) secara regional dan bilateral. Sampai saat ini Indonesia telah terikat beberapa FTA baik regional maupun bilateral, seperti ASEAN FTA, ASEAN China FTA ( ACFTA), ASEAN Korea FTA, ASEAN Jepang EPA, ASEAN New Zeland Australia FTA, ASEAN Eropa Union FTA, dan ASEAN India FTA. Dari semua FTA itu, Indonesia mengalami dampak sangat nyata oleh ACFTA yang diberlakukan awal 2010. Kentang impor dari China, misalnyanya, menyerbu sentra produksi kentang di Jawa Barat dan Jawa Tengah mulai September 2011. Akibatnya, ribuan keluarga petani rugi ratusan juta rupiah karena kemerosotan harga kentang mereka. Ribuan petani kentang dari Banjarnegara bersama Serikat Petani Indonesia pun melakukan aksi protes ke Istana Negara, Menteri Perdagangan, dan DPR, serta berdialog dengan Menteri Pertanian, 11 Oktober 2011. Namun meski pemerintah dan DPR berjanji bertindak, tetap saja kentang impor masuk ke pasar sekitar sentra produksi kentang.
Dampak negatif itu secara umum dialami jutaan petani di negara-negara berkembang, terlepas apakah produk pertanian mereka. Karena itu SPI dan seluruh anggota La Via Campesina di 150 organisasi tani di 70 negara menolak rezim perdagangan bebas WTO dan FTA. Sebab, produk pertanian bukan komoditas yang bisa dipermainkan harganya. Akibat perubahan harga itu, pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani berubah drastis menuju ke kemiskinan dan kelaparan. Karena itu pula SPI dan La Via Campesina menolak impor pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri dan menolak ekspor barang yang bisa diproduksi di negeri lain.
Ada beberapa alasan penolakan. Pertama, impor menyebabkan petani kita tak bisa bersaing dengan harga barang dari luar karena kelebihan produk dari negeri lain. Kedelai kita, misalnya, tak bisa bersaing dengan kedelai AS, Argentina, dan Brasil. Di negara-negara itu, kedelai ditanam di jutaan hektare lahan secara industrial. Beras di Vietnam juga ditanam dalam lahan luas dengan hasil melebihi kebutuhan rakyat. Apalagi pemerintah mereka menyubsidi petani. Kentang jadi murah karena Pemerintah Bangladesh menyuubsidi ekspor 20 persen dan Pemerintah China membantu dana besar pada petani.
Kedua, perdagangan bebas menghasilkan variasi model perdagangan berupa transaksi perdagangan atas proyeksi permintaan dan penawaran berkait dengan rencana investasi. Akibatnya, komoditas jadi bahan spekulasi atau disebut komoditas berjangka atau malah bersifat virtual. Akhirnya perdagangan pangan masuk dalam transaksi bursa di London dan New York. Tercakup dalam hal ini spekulasi dagang melalui aksi penimbunan untuk menimbulkan kelangkaan produk pertanian, sehingga dapat menaikkan harga dan meningkatkan keuntungan penimbun. Menteri Pertanian menengarai sejumlah pedagang di beberapa daerah menimbun beras, setelah stok beras Bulog menipis. Spekulasi itu jadi faktor utama penyebab kenaikan harga beras di pasaran.
Ketiga, impor pangan menyebabkan perpindahan komoditas pertanian dari sentra produksi ke pasar tujuan yang memerlukan transportasi jarak jauh antarnegara. Konsekuensinya, kebutuhan finansial untuk biaya transportasi, bahan bakar, dan biaya tak terduga selama perjalanan sangat tinggi. Lebih dari itu kemungkinan biaya untuk mendatangkan beras dari Vietnam ke Jakarta lebih murah daripada dari Papua, lahan food estate.
Keempat, impor pangan lambat laun menyebabkan hilangnya kebudayaan pangan masyarakat lokal. Kelima, impor pangan mengurangi devisa negara.
Selain kebijakan impor, target ketahanan pangan (baca: ketersediaan pangan) juga merekomendasikan pangan rekayasa genetika. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan Permentan Nomor 61 Tahun 2011 yang mengatur prosedur pengujian, penilaian, pelepasan, dan penarikan varietas rekayasa genetika. Seharusnya pemerintah tidak bermain-main dengan pangan rekayasa genetik karena teknologi itu belum sepenuhnya menjamin segi keamanan pangan dan terbukti merugikan petani skala kecil. Kita harus mencegah benih rekayasa genetika masuk ke Indonesia.
Rekayasa Genetik
Ada empat hal yang menyebabkan benih rekayasa genetik tak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin pangan rekayasa genetik 100 persen aman dikonsumsi.Kedua, aspek lingkungan. Di beberapa negara yang menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi tercemar gen-gen hasil rekayasa genetik. Petani di sebelahnya yang menanam tanaman nonrekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan dilakukan alam.
Ketiga, aspek legal. Belum ada peraturan komprehensif soal pangan rekayasa genetik. Memang ada UU Pangan, UU Budi Daya Tanaman, dan UU Perlindungan Varietas Tanaman, tetapi belum ada peraturan turunan dari UU itu yang terperinci mengatur produk pangan rekayasa genetik. Jadi implementasi di lapangan berpotensi merugikan konsumen dan petani.
Keempat, aspek pengusaan ekonomi. Berdasar pengalaman petani di berbagai negara dan petani yang jadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan serangan hama dan produktivitas tinggi hanya omong kosong. (51)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/17/163029/
0 komentar:
Posting Komentar