Desa Adat Penglipuran di Bangli, Bali, merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik dari struktur desa tradisional. Walhasil, suasananya begitu asri. Hal itu tidak terlepas dari budaya masyarakatnya secara turun-temurun. Yang jelas, desa yang berada pada jalur wisata Kintamani, sejauh 5 kilometer dari pusat kota Bangli ini salah satu kawasan wisata unik di Bali.
Keasrian desa adat tersebut sudah kita rasakan begitu memasuki kawasan pradesa yang memaparkan kehijauan rerumputan dan deretan bambu yang jadi pagar desa. Itu adalah area catus pata atau area tapal batas untuk masuk ke Penglipuran. Adapun daerah penerimanya ditandai dengan Balai Wantilan, Balai Banjar adat, dan ruang pertamanan terbuka. Di sana terdapat daerah parkir dan fasilitas KM/WC bagi pengunjung. Area berikutnya adalah areal tatanan pola desa yang diawali dengan gradasi ke fisik desa secara liniar membujur ke arah utara dan selatan.
Ya, memasuki desa Pengelipuran laksana memasuki sebuah taman yang dibentuk dengan arsitektur mahasempurna. Jejeran rumah di sepanjang jalan berdiri rapi dengan pintu gerbang yang hampir seragam di setiap rumah. Rumah-rumah itu dibelah oleh sebuah jalan utama desa yang ditutup oleh bebatuan dan ditamani rerumputan di kiri kanannya. Area pemukiman serta jalan utama desanya merupakan kawasan bebas kendaraan terutama roda empat.
Pada sepanjang jalan setapak itu terdapat ratusan rumah, berderet berimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau anyaman bambu. Pintu masuk gerbang rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintunya menyatu dengan atap gerbang yang terbuat dari bambu.
Keheningan menyergap ketika menelusuri jalan setapak dari bebatuan yang bercampur dengan kerikil itu. Saya sengaja memisahkan diri dari rombongan untuk memotreti semua hal yang ada di situ. Beberapa kali saya berkesempatan keluar masuk rumah penduduk. Itu bukan hal sulit, sebab warga Penglipuran sangat ramah menyambut pewisata dan memberi izin untuk menjelajahi rumah mereka.
Penglipuran memiliki dua pengertian, yaitu pangeling yang kata dasarnya ”eling” atau 'mengingat'. Sementara, pura artinya 'tanah leluhur'. Jadi penglipuran artinya 'mengingat tanah leluhur'. Kata itu juga bisa berarti ”penghibur” yang berkonteks makna memberikan petunjuk bahwa ada hubungan sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam menjalankan dharma agama.
Luas Desa Adat Penglipuran mencapai 112 hektare, terdiri atas 37 hektare hutan bambu yang dimanfaatkan masyarakat setempat untuk kerajinan tangan dengan sistem tebang pilih, ladang seluas 49 hektare, dan untuk perumahan penduduk seluas 12 hektare. Berdasarkan pola Desa Pakraman, Pengelipuran termasuk Kelurahan Kubu.
***
PERLU diketahui, Pengelipuran adalah salah satu desa tradisional atau desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Tradisi begitu kukuh dipegang oleh masyarakatnya, terutama yang berkaitan dengan penataan pekarangan rumah. Di tengah gempuran arus modernisasi, keteguhan masyarakat Pengelipuran tampak dari rapinya penataan kawasan hunian masyarakat setempat.
Penataan rumah dan pekarangan sangat ketat dan mengikuti ketentuan Asta Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang, dan berbagai aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis lainnya. Maka, setiap pekarangan dan rumah di desa itu selalu mempunyai pola atau tatanan yang sama. Dan hal itu merupakan keunggulan Penglipuran sebagai desa adat.
Di sebelah utara desa terdapat Pura Penataran dan Pura Puseh yang unik dan spesifik karena jalan di sepanjang desa hanya digunakan untuk pejalan kaki, dan pada kanan kirinya dilengkapi atribut desa adat seperti tembok penyengker, angkul-angkul, dan telajakan.
Yang jelas, Penglipuran bukan desa adat sembarangan karena merupakan desa adat (pakraman) percontohan di Bali. Keunikannya terletak pada tata ruang, bangunan dan budaya yang sedikit berbeda dengan desa adat lainnya. Keistimewaan lainnya adalah kehidupan masyarakatnya yang harmonis. Dan paling unik, di desa itu masyarakatnya tak dibagi-bagi ke dalam kasta, salah satu ciri sistem kemasyarakatan Bali Aga.
Keseragaman wajah desa, selain pada bentuk, juga bahan bangunannya berupa tanah untuk tembok penyengker dan angkul-angkul serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Penggunaan bambu baik untuk atap, dinding maupun lain-lain kebutuhan merupakan suatu keharusan untuk digunakan karena Desa Penglipuran dikelilingi oleh hutan bambu yang termasuk teritori desa tersebut.
Di tempat tersebut, wilayah permukiman penduduk terbagi menjadi dua lajur: barat dan timur. Adapun bagian selatan desa merupakan nista mandala atau bagian paling rendah yang dipakai untuk setra (pemakaman).
Tata ruang seperti itu juga diterapkan dalam setiap rumah penduduk. Setiap memiliki angkul-angkul atau pintu gerbang yang juga berfungsi sebagai bangunan penjaga pintu rumah depan. Saat hari suci, dilakukan sesajen di tempat ini. Tak heran jika semua bangunan di sana serupa. Bagian depan merupakan sanggah atau pamerajan sebagai utama mandala yang digunakan anggota keluarga untuk bersembahyang. Di setiap bangunan rumah terdapat ruang kosong yang dinamakan natah sebagai tempat berkumpul anggota keluarga yang letaknya di bagian tengah (madya). Sementara bagian nista mandala biasanya diisi dengan toilet, tempat jemuran, sarana atau kegiatan ekonomi seperti warung, kandang ternak (babi), dan sebagainya.
Mengapa Penglipuran begitu asri? Itu tak terlepas dari konsepsi Hindu mengenai Desa kalapatra. Kalapatra adalah keadaan yang disepadankan dengan tempat waktu. Walhasil, terciptalah sebuah harmoni. Hal ini pula yang menarik bagi pewisata untuk berkunjung. Harmoni itu juga didukung oleh aturan (awig-awig) yang diberlakukan kepada setiap penduduk untuk menyapu dua kali sehari, pagi dan sore. Sejauh ini belum ada warga yang melanggar aturan tersebut.
Hujan turun rintik-rintik saat saya hendak meninggalkan Desa Penglipuran. Suasananya jadi semakin eksotis, sejuk, dan nyaman. Sebuah citra manis dan tak terlupakan dalam ingatan setiap pewisata yang datang ke sana. Yakinlah, Penglipuran mampu menghadirkan sesuatu untuk pelipur hati.
Masyarakat Antipoligami
SELAIN keseragaman bentuk bangunan dan pola desa linear yang membujur utara selatan, Penglipuran yang berada pada ketinggian 700 meter dari permukaan laut itu juga memiliki sejumlah aturan adat dan tradisi unik lainnya. Salah satunya adalah mengadu jago, yang sebenarnya terdapat di beberapa tempat di Bali. Jago adalah simbol kejantanan lelaki Bali.
Ketika sore menjelang, pada umumnya penduduk desa keluar rumah setelah selesai melakukan aktivitas rutin mereka di ladang dan sawah. Di sepanjang jalan, kita bisa melihat berjajar sangkar ayam. Jago sengaja dipanaskan untuk menjaga fisiknya agar kuat ketika tajen (adu jago). Sayang, saya dan rombongan tak sempat menyaksikan tajen.
Selain adu jago, tradisi unik lain yang sampai sekarang masih dipelihara adalah pantangan bagi kaum lelaki untuk beristri lebih dari satu atau berpoligami. Lelaki Penglipuran diharuskan menerapkan hidup monogami. memiliki seorang istri. Pantangan berpoligami ini diatur dalam awig-awig. Dalam bab perkawinan, lelaki Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki lebih dari seorang istri. Si pelanggar akan dikucilkan di sebuah tempat yang diberi nama Karang Memadu. Karang artinya tempat dan memadu artinya berpoligami. Jadi, Karang Memadu merupakan sebutan untuk tempat bagi orang yang berpoligami. Karang Memadu terletak di ujung selatan desa yang berdekatan setra.
Lelaki Penglipuran yang berpoligami hanya boleh melintasi jalan-jalan tertentu di wilayah desa. Mereka hanya diperbolehkan melewari jalan luar desa adat dan dilarang untuk melewati jalan utama desa. Itu berarti, suami-istri tersebut memiliki ruang gerak yang terbatas. Tidak hanya itu, pernikahan orang yang berpoligami itu juga tidak akan dilegitimasi oleh desa. Upacara pernikahannya pun tidak dipimpin seorang Jero yang merupakan pemimpin tertinggi dalam upacara adat dan agama. Selain itu, orang tersebut juga dilarang bersembahyang di pura-pura yang ada di desa adat.
Desa adat penglipuran ini mempunyai 13 pura yang tersebar di seluruh desa. Pada sisi tengah atau pusat desa adat, terdapat Pura Dalem Tampuagan, Pura Catus Pata, dan Pura Ratu Pingit. Pada sisi utara desa terdapat Pura Penataran, Pura Puseh, Pura Rambut Sri Sedana, Pura Dukuh, Pura Penaluan, dan Pura Empu Aji. Pada sisi selatan, terdapat Pura Dalem, Pura Ratu Tungkup, Pura Dalem Pingit, dan Pura Mas Manik Malasem. Semua pura itu terlarang bagi penduduk desa yang berpoligami. Mereka hanya diperbolehkan bersembahyang di pura keluarga mereka sendiri.
Melihat hukuman yang menakutkan itu sampai sekarang tidak ada lelaki Penglipuran yang berani berpoligami. Alhasil, Karang Memadu tetap tidak berpenghuni dan bahkan oleh penduduk desa dianggap sebagai karang leteh (tempat yang hina dan kotor).
Kebetulan saat kami berkunjung ke desa adat penglipuran berlangsung upacara adat pernikahan. Upacara ini dipimpin seorang jero dan rumah mempelai dihias dengan janur kuning. Kami juga sempat diberi waktu untuk mengabadikan upacara adat pernikahan ini. Itu momentum istimewa. Sebab, saat tepat untuk datang ke Penglipuran ini adalah saat ada upacara adat. Kita bisa merasakan secara langsung bagaimana tradisi dijalankan dengan kukuh. (73)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/gaya/2009/09/06/629/
0 komentar:
Posting Komentar