Selasa, 03 Mei 2011

Pahit Getir Perjalanan Serabi Banjaran

AKTIFITAS menjajakan panganan tradisional serabi sudah ada sejak tahun 1972 silam. Bagi seorang Rokhmah (50) warga Desa Grobong Kulon RT 02/RW 06 Kecamatan Pangkah, aktifitas menjajakan kue serabi khas Banjaran yang digelutinya, kini telah mampu menjinakkan lidah pelanggannya. Tidak saja dari kalangan bawah saja. Bahkan pejabat Slawi pun sudah mengenal kue racikan wanita paruh baya ini.
Diakuinya, sebelum mangkal di depan kantor KPH Perhutani Pekalongan Barat yang ada di Procot itu, sejak tahun 1972 dia sempat menempati lapak jualan serabinya di depan Sekolah Tehnik (ST) yang kini telah berubah menjadi SMPN 5 Adiwerna.
"Saat itu yang menjalankan aktifitas menjual kue serabi Banjaran hanya saya saja mas. Sekarang di Banjaran sendiri sudah ada lima orang yang berjualan serabi," terang wanita yang sempat dikenal sebagai satu-satunya penjual serabi di ruas jalan Tegal-Purwokerto itu.
Namun baginya, semakin banyak penjual kue serabi serupa, tak membuat dirinya merasa tersaingi. Justru dirinya tambah bersemangat dalam berjualan. Bahkan setiap hari lapak tempat jualan serabinya, makin banyak penikmat yang datang dan menikmati hidangan kue serabi dengan harga yang bisa dijangkau seluruh lapisan masyarakat.
Ini lantaran harga yang dipatok seorang Rokhmah, cukup murah. Dengan mengeluarkan uang Rp 4.500 sampai Rp 7.500, sudah bisa menikmati kue serabi baik yang rasanya gurih maupun manis.
"Pelanggan banyak yang mampir untuk membeli serabi, tidak hanya dari warga Slawi saja. Mereka ada yang datang dari Tegal, Pemalang, Cirebon, bahkan ada yang datang dari Bandung dan juga warga metropolitan Jakarta," celotehnya.
Setiap harinya selama menjalankan aktifitas sebagai penjual kue serabi Banjaran, dia  selalu didampingi suami tercintanya, Mulakod (57), yang juga memberikan semangat dalam berjualan. Diakuinya, dalam seharinya puluhan kilo bahan pembuat kue serabi habis. Dan sejak jualan kue serabi ini, modal utama hanya Rp 9.000 pada tahun 1972. Namun sekarang karena bahan untuk membuat kue serabi semakin mahal, maka setiap hari untuk memenuhi kebutuhan jualan dirinya harus mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000.
Yang membuatnya bangga, dari hasil jualan kue serabi dia bisa menyekolahkan anaknya sampai ke jejang perguruan tinggi. Anak pertamanya, Dwi Mulyaningsih SPd (25), sekarang ini sebagai seorang pendidik di SMK NU Slawi. Sedangkan anak keduanya, Tri Mulyanto (21), masih kuliah di Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
"Yang memberikan motifasi untuk berjualan kue serabi khas Banjaran yang juga kuliner tradisonal orang Jawa Tengah itu adalah suami saya, Mulakod, yang juga pensiunan guru sekolah dasar," terangnya.
Sumber Berita : Radar Tegal, 03 Mei 2011

0 komentar:

Posting Komentar