Rabu, 22 Juni 2011

Cegah Kebangkrutan Negara

Jakarta, Kompas - Bangsa ini harus dicegah dari proses kebangkrutan nasional dengan gejala merosotnya kedaulatan negara, jaminan keamanan, kesejahteraan rakyat, dan maraknya korupsi. Untuk itu diperlukan keteladanan dari pemimpin negara yang memiliki karakter dan visi yang kuat.
Demikian terungkap dalam Silaturahim Tokoh Nasional bertema ”Mencegah Kebangkrutan Negara” yang digelar di Kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/6). Hadir dalam acara itu, antara lain, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua MPR Taufiq Kiemas, mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto, mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, dan Ketua Umum Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh.
Dalam pertemuan itu juga hadir mantan Rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi; Ketua Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah, Jakarta, Azyumardi Azra; mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kwik Kian Gie; ekonom Rizal Ramli; aktivis Gerakan Indonesia Bersih, Adhie M Massardi; fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), Marwah Daud Ibrahim; mantan anggota DPR, Aisyah Aminy; Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Andreas Anangguru Yewangoe; Benny Susetyo dari Konferensi Waligereja Indonesia; dan penyair Taufiq Ismail.
Setiap tokoh itu mengungkapkan keprihatinan atas kondisi Indonesia yang kini terperosok pada tubir jurang kebangkrutan. Setelah 13 tahun gerakan reformasi, negeri ini tak kunjung lepas dari transisi, tetapi justru kondisinya merosot dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Jika dibiarkan, bukan mustahil negara benar-benar bangkrut.
Tak benar-benar gagal
Din Syamsuddin mengingatkan, posisi Indonesia dalam the failed states index mendekati negara gagal. Itu diukur dari berbagai masalah, seperti tekanan kependudukan, distribusi kesejahteraan yang tidak merata, dan delegitimasi atas negara. Ada juga masalah yang kian merusak, yaitu korupsi.
”Banyak pejabat di legislatif, yudikatif, dan eksekutif terlibat korupsi. Korupsi bahkan merajalela di kementerian dan lingkaran pusat kekuasaan. Wajar jika kemudian bangsa ini ditengarai sebagai negeri kleptokrasi,” katanya.
Sofian Effendi juga berpendapat, posisi Indonesia memang tidak dalam barisan negara yang benar-benar gagal, seperti Somalia atau Zimbabwe. Namun, kita juga tidak berada bersama negara stabil. ”Indonesia lebih dekat ke negara gagal daripada ke negara stabil,” katanya.
Wiranto mengajak bangsa ini untuk merujuk Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pemerintahan negara Indonesia didirikan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, apakah pemerintahan sekarang telah memenuhi tujuan itu?
”Kalau pemerintahan sekarang ini tidak mampu melakukan itu, berarti termasuk negara gagal,” katanya.
Hanya saja ada upaya dari pemerintah untuk menutupi masalah ini dengan menciptakan citra artifisial. Seolah negara ini baik-baik saja, padahal sebenarnya digerogoti banyak masalah. ”Mari kita lihat negeri ini secara riil sehingga tampak jelas kekurangan dan masalahnya. Lalu, kita selesaikan satu demi satu,” katanya.
Kepemimpinan
Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie menyoroti perkembangan perekonomian nasional yang diserahkan pada pasar berideologi neoliberal yang ugal-ugalan. Peran pemerintah diperlemah. Akhirnya hanya pemilik modal dan orang kuat saja yang menikmati kemakmuran, sementara sebagian besar rakyat kecil kesulitan.
Jusuf Kalla menilai, memang ada banyak kekurangan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita sekarang ini. Banyak harapan masyarakat yang tidak terpenuhi. Namun, sebagai bangsa, sebenarnya Indonesia masih cukup kuat. Negeri ini masih jauh dari Somalia atau Zimbabwe yang benar-benar bangkrut.
”Masalahnya memang kita kehilangan keteladanan dari pemimpin. Kalau keteladanan hilang, muncullah masalah. Pikiran mungkin banyak, tetapi tindakan kurang,” katanya.
Kondisi memprihatinkan itu terjadi karena pengelolaan bernegara yang salah. Hukum bermasalah karena terjadi banyak pembiaran. Pejabat eksekutif, yudikatif, dan legislatif saling menyandera sehingga sulit menuntaskan kasus korupsi. ”Kita sebaiknya kembali pada pengelolaan negara secara benar,” katanya lagi.
Marwah Daud mengatakan, jika tidak ingin bangkrut, bangsa ini harus memiliki kepemimpinan kuat, yaitu mempunyai karakter dan visi yang benar. Pemimpin seperti itu menjadi magnet kuat yang menarik semua elemen bangsa untuk berjalan bersama menuju kemajuan.
”Kita mempunyai modal sebagai bangsa besar. Tinggal bagaimana mengelolanya saja,” katanya.
Proses menuju kebangkrutan ini harus dicegah oleh semua elemen bangsa. Taufiq Kiemas mengingatkan, sebenarnya bangsa ini telah teruji bisa bertahan melalui berbagai cobaan. Sejak tahun 1999 sampai 2004, lima kali berganti presiden, tetapi ternyata tetap bersatu, masih punya perasaan sebangsa setanah air.
Namun, selama 13 tahun terakhir ini terasa kita tak memiliki ideologi. Kita tak mempunyai keyakinan pada cita-cita bersama, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika. Semestinya keempat pilar berbangsa itu harus merasuk dalam semua kebijakan pemerintah, mulai dari ekonomi, politik, dan sosial.
”Tidak mungkin terjadi hal-hal yang aneh kalau kita mempunyai ideologi. Tetapi, kalau tidak ada, apa pun yang kita kerjakan, tidak selesai masalahnya,” katanya.
Andreas Yewangoe berharap, pemerintah, sebagai pemimpin yang memperoleh amanah rakyat, membebaskan masyarakat dari berbagai kesulitan dan masalah. ”Rakyat sekarang sudah semakin lelah,” katanya.
Bukan asumsi semata
Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa mengatakan, tidak benar jika negara mengalami kebangkrutan. ”Itu terlalu ekstrem. Kebangkrutan dari sisi mana? Alat ukurnya apa?” katanya.
Penilaian itu harus berdasarkan parameter yang jelas. Bukan berdasarkan asumsi semata.
Saan mengakui, memang masih ada target pemerintah yang belum tercapai. Namun, masyarakat juga harus mengakui ada pula kemajuan yang dilakukan pemerintah. (iam/nta)
Sumber Berita : http://nasional.kompas.com/read/17 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar