Minggu, 19 Juni 2011

Jangan Paksa Luwak Jadi Buruh Pabrik

KOMPAS.com - Dengan alat pembuat kopi instan—coffee syphon— Saiful Bahri hanya butuh waktu tujuh menit untuk menyajikan secangkir kopi luwak kepada tamunya. Pelayan di kafe dan peristirahatan Gunung Gumitir, Jember, itu bercerita tentang aroma dan kenikmatan kopi luwak arabika yang disajikan dengan gula merah itu. "Aroma kopi luwak masih melekat dan sangat terasa bila pakai gula merah atau gula kelapa dibandingkan pakai gula pasir," kata Saiful Bahri berpromosi di areal perkebunan Gunung Gumitir, Jumat (17/6/2011).
Secangkir kopi luwak arabika tarifnya Rp 50.000 dan secangkir kopi luwak robusta Rp 40.000. Harga kopi seperti itu sepadan dengan suasana pemandangan alam kebun kopi yang bisa dinikmati pengunjung. Harga itu turun dibandingkan tahun lalu yang harganya Rp 65.000 untuk secangkir kopi luwak arabika dan Rp 50.000 untuk secangkir kopi luwak robusta.
Agak aneh karena, menurut Saiful Bahri, harga minuman kopi luwak turun sejak beberapa bulan lalu karena banyak permintaan dari tamunya di Gunung Gumitir. Sedangkan harga kopi arabika biasa kualitas ekspor hanya sepertiga atau seperempat dari harga kopi luwak. Harga kopi arabika Jawa Kopi Raung yang diekspor ke Swiss (Eropa) pekan lalu hanya sekitar Rp 38.000 per kilogram (kg). Bandingkan dengan harga kopi luwak produksi Pusat Penelitian (Puslit) Kopi dan Kakao Indonesia Jember di pasar ekspor dijual 120 dolar AS per kg.
Demikian juga kopi luwak arabika hasil produksi dari Kelompok Tani Rahayu dari Lereng Gunung Malabar, Priangan, harga jualnya Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta per kg. "Harga penawaran kopi luwak arabika produksi Puslit Kopi dan Kakao hanya sebagai penyangga. Artinya, harga kopi luwak milik petani atau perusahaan lain jangan sampai jauh lebih rendah dari 120 dollar AS," kata Surip Mawardi, peneliti dan penguji rasa kopi di Puslit Kopi dan Kakao.
Oleh sebab itu, saat pelaksanaan Temu Lapang Kopi 2011 oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember dan Bondowoso, 15-16 Juni 2011, para peserta bercerita banyak tentang bagaimana memproduksi kopi luwak. Informasi mengenai cara memproduksi kopi luwak supaya baik disampaikan secara terbuka, tidak ada pengalaman atau yang harus ditutup-tutupi atau disembunyikan.
Semua disampaikan secara terbuka dan transparan. Ini bermula saat para peserta temu lapang melihat secara langsung proses produksi kopi luwak di kebun percobaan Desa Andungsari, Kecamatan Pakem, Bondowoso. Di lahan tanaman kopi arabika seluas hampir 100 hektar (ha) milik Puslit Kopi dan Kakao, ada 10 luwak dalam sangkar di tengah kebun itu.
Sangkar yang disediakan luasnya bervariasi, ada 1 x 1 meter dan tinggi 2 meter. Ada pula sangkar besar ukuran 3 x 5 meter dan tinggi 2 meter. Di dalam sangkar itu ada enam pohon kopi arabika dan kotak tempat luwak bersembunyi saat tidur. Setiap hari pada musim kopi, kandang diberi 1 kg kopi gelondong merah tua dan baru dipetik. Dari 1 kg yang disuguhkan itu, besoknya yang dikeluarkan oleh luwak dan menjadi kopi beras hanya 200-400 gram. "Selama musim kopi, produksi setiap ekor hanya sekitar 14 kg," kata Yusianto, peneliti di Puslit Kopi dan Kakao. Biji kopi yang dibuang bersama kotoran luwak itulah yang kemudian diproses menjadi kopi luwak.
Agar kualitas kopi bagus, kesehatan luwak sebagai "mesin giling" harus diperhatikan. Makanan yang diberikan harus diperhatikan nutrisinya.
Supriyanto Nuri, Ketua Kelompok Tani Kopi Rahayu, di Pengalengan, Jawa Barat, bercerita, tiap pagi ia memberi luwak peliharaannya telor ayam kampung dan madu. Sorenya diberi pisang atau pepaya dan apel hijau (apel malang). "Sesekali diberi pakan ayam kampung dan belut hidup. Bila perlu diberi ikan nilem," kata Nuri.
Menu luar biasa itu semata agar luwak menghasilkan enzim yang tinggi dan akhirnya kopi istimewa.
Puslit Kopi dan Kakao Jember begitu juga, memberi pakan luwak berupa pisang dan pepaya. Setiap tiga hari sekali diberi ikan asin atau ayam segar. Wajar kalau biaya pemeliharaan luwak bisa sampai Rp 1,2 juta sebulan. "Kualitas kopi dipengaruhi kualitas makanan. Luwak makan buah kopi bukan karena lapar, tetapi butuh nutrisi yang ada di ceri kopi," kata Nuri.
Kelompok tani yang dipimpin Nuri beranggotakan 163 orang dengan lahan kopi 103 ha. Produksinya 120 ton per tahun, ditambah 4,2 ton kopi luwak setahun.
Dari Forum Temu Kopi Luwak di Gunung Gumitir, kita semua diingatkan bahwa kopi luwak sampai saat ini diproduksi sesuai hukum alam: hukum luwak. Jadi, jangan memaksa luwak menjadi buruh pabrik....(Sjamsul Hadi)

Sumber Berita : http://regional.kompas.com/

0 komentar:

Posting Komentar