Selasa, 21 Juni 2011

Duka Lara Ruyati dan Darsem

DIPANCUNGNYA Ruyati (54) di Arab Saudi karena dianggap terbukti membunuh majikannya, Khairiya Hamed binti Majlad (64), sangat merobek hati, khususnya pemerhati permasalahan TKW pembantu rumah tangga (PRT). Sejak Minggu siang (19/6) televisi swasta menyiarkan informasi ini dengan menghubungi  pihak-pihak terkait, dan makin membuka mata masyarakat, betapa besar pengorbanan seorang ibu untuk memberi yang terbaik (dalam hal kesejahteraan ) bagi anggota keluarganya, terutama anak.

Diinformasikan, kepergian Ruyati sebagai TKW adalah dalam upaya untuk membiayai salah seorang anaknya meneruskan pendidikan. Sesungguhnya keluarga tidak mengizinkan warga Sukatani,  Bekasi, Jawa Barat itu berangkat menjadi TKW mengingat usianya sudah lanjut.  Ketika berangkat, usia yang sebenarnya 54 tahun dimudakan menjadi 45 tahun, mengingat batasan umur yang diperlakukan bagi seorang TKW.

Seperti diberitakan di televisi, pada bulan pertama sejak keberangkatannya (Desember 2009), Ruyati sudah mengalami siksaan, beberapa kali  dipukul. Pada 12 Januari 2010 kekerasan dialami lagi sampai Ruyati jatuh terguling-guling di tangga, mengakibatkan  kakinya patah. Oleh majikan, ia tidak dibawa ke dokter yang ahli menangani tulang patah, dengan alasan anak majikannya adalah seorang dokter. Selama sakit, pekerjaan sebagai PRT masih harus dijalani. Padahal, berdasarkan kontrak kerja, seharusnya Ruyati  hanya merawat lansia.

Ia tidak ditempatkan di keluarga yang tercantum dalam kontrak kerja, melainkan di salah seorang adiknya. Seharusnya dia ditempatkan bersama dengan TKW lain bernama Warni, yang selalu memberi informasi kepada keluarga Ruyati di desa. Tulisan ini bukan hendak mencari kesalahan siapa, sehingga Ruyati mengalami nasib berbeda dari Darsem, melainkan  ajakan kepada masyarakat luas agar peristiwa yang sama tak terulang.

Darsem adalah TKW berasal dari Subang (Jabar) yang  menanti saat-saat pemacungan dirinya karena  membunuh majikan saat mempertahankan diri ketika akan diperkosa. Permintaan maaf kepada keluarga majikan yang dibunuh diterima, asal Darsem  membayar  Rp 4,7 miliar.  Jika Darsem masih berkesempatan lolos dari pancung, nasib Ruyati lain. Tiba-tiba saja  masyarakat di Indonesia menerima berita pelaksanaan pancung sudah selesai.

Nasib Darsem berbeda dari Ruyati. Namun untuk bicara takdir masih menunggu beberapa pekan lagi. Jika kesetiakawanan masyarakat Indonesia tidak kuat, jika rasa kemanusiaan (nomor 2 dari bunyi Pancasila) sudah bebal, maka takdir Darsem mungkin sama dengan Ruyati. Sama-sama dipancung di tanah Arab Saudi.

Menurut informasi, untuk menyelamatkan Darsem, pengusaha di Arab Saudi sudah mengumpulkan Rp 2,3 miliar, stasiun TVone lewat Peduli Darsem, BCA  Pulogadung No rek 2755 111 111  terkumpul sekitar Rp 1 miliar. Rizal Ramli, mantan menteri perekonomian, mengatakan asuransi TKI bisa untuk menebus nyawa. Sumber lain menyebutkan, dari 18 instansi terkait pengiriman TKI ke luar negeri, bisa diambil dana agar Darsem lolos pancung.  Masalahnya siapakah yang harus menjadi koordinator pengumpul uang itu.

Advokasi

TKW Indonesia sering dihadapkan berbagai masalah di Arab Saudi dan Malaysia.  Beberapa bulan lalu ada angin segar, karena sudah ada MoU antara pemerintah Arab Saudi dengan RI mengenai TKI. Pada intinya, akan ada perlindungan bagi para TKI (tentunya termasuk TKW) secara hukum.  Belum selesai proses pelaksanaan MoU, sudah terjadi kasus Ruyati.
Rasanya kasus Ruyati dan Darsem bisa menjadi jembatan masuk untuk dilakukan advokasi agar wanita Indonesia tidak menjadi PRT di Arab Saudi ataupun di Malaysia. 

Konsekuensi dari advokasi itu, pertama, orsos juga menawarkan kesempatan perempuan mencari nafkah di negeri sendiri. Pelatihan kewirausahaan,  perlu dilakukan secara terus-menerus. Kerja sama dengan perusahaan yang berjaringan dengan Orsos akan sangat membantu untuk  itu.

Kedua, membentuk koperasi (meskipun dalam skala kecil) untuk saling memasarkan produk industri rumah dan membantu permodalan. Melalui PKK atau kelompok pengajian, cara ini bisa ditempuh. Ketiga, dilakukan kampanye kerja paruh waktu menjadi pembantu di sekitar tempat tinggal. Keuntungannya, perempuan masih bisa pulang setiap hari, bisa melaksanakan tugasnya sebagai ibu dan istri.

Keempat, sesama perempuan perlu saling membantu menambah wawasan dan pengetahuan. Bisa dengan cara memanfaatkan rumah pintar  atau saling meminjamkan tabloid mingguan tentang kewanitaan, pengetahuan umum, atau agama.

Kelima, sesama perempuan perlu saling mengingatkan untuk bergaul secara positif. Artinya, mengatur waktu setiap harinya. Keluar rumah hanya jika ada hal positif yang harus dilakukan. Apakah untuk berniaga, arisan, pengajian, berbelanja. Tidak membiasakan diri untuk keluar rumah sekadar mengisi waktu. 

Sengaja penulis tidak menyinggung apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah. Selain keterbatasan halaman, rasanya lebih penting kalau masyarakat yang melakukan segala sesuatunya. Dari masyarakat yang sadar untuk masyarakat (perempuan) luas. Jika seseorang bisa hidup nyaman di negara sendiri, yakin ia lebih senang tinggal bersama kaluarga. (24)

—Humaini As, Ketua Yayasan Kepodang/Koalisi Komunikasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak - KKP3A

Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/21 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar