Senin, 20 Juni 2011

Yang Pidato dan Yang Dipenggal

BARU saja publik Indonesia dihibur oleh pidato Presiden SBY yang menyejukkan pada Sidang Ke-100 Konferensi Perburuhan Internasional di Jenewa. Dalam pidato itu, SBY mengklaim Indonesia telah memiliki standar perlindungan perburuhan, termasuk perlindungan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) migran, yang maksimal.
Klaim itu didasari keberadaan institusi dan regulasi yang dianggap telah berjalan dengan baik. Tentu saja jika klaim itu sesuai dengan kenyataan bisa menjadi pertanda kondisi perburuhan dan PRT migran Indonesia telah membaik. Namun apakah klaim itu mempunyai basis kebenaran di lapangan?

Kalangan aktivis buruh dan PRT migran menyikapi secara kritis substansi pidato SBY yang penuh percaya diri. Kalangan aktivis buruh menyesalkan bahwa pidato itu sama sekali tidak menyinggung soal nasib kaum buruh yang makin terpuruk ketika negara takluk pada rezim labour market flexibility. Dalam rezim itu, buruh makin kehilangan hak-hak normatif melalui sistem kerja kontrak dan outsourching. Ruang gerak buruh dalam serikat buruh makin direpresi oleh ancaman union-busting (pemberangusan serikat) dan kriminalisasi aktivitas serikat buruh.

Sementara itu, kalangan aktivis PRT dan buruh migran menilai pidato SBY mengenai perbaikan kondisi buruh migran dan PRT jauh panggang dari api. Dalam perjalanan pembahasan dan perumusan draf Konvensi ILO untuk Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga, sikap resmi Pemerintah Indonesia tidak tegas, bahkan cenderung tidak mendukung instrumen ILO dalam bentuk konvensi. Dalam Sidang Ke-99 ILO, Pemerintah Indonesia mengambil sikap oposisi terhadap usulan konvensi dan hanya mengusulkan rekomendasi yang bersifat tidak mengikat.

Bahkan pasca-Sidang Ke-99 ILO, tidak ada perubahan sikap yang berarti dari Pemerintah Indonesia. Sikap itu makin tercermin dari penundaan pembahasan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di DPR. Bahkan RUU yang sebelumnya masuk legislasi prioritas diturunkan derajat sebagai RUU yang bukan prioritas.

Sangat Diragukan

Dalam soal buruh migran, termasuk PRT migran, kebenaran klaim tentang keberadaan institusi dan instrumen perlindungan buruh migran sangat diragukan. UU Nomor 39 Tahun 2004 tidak hanya gagal menjadi payung perlindungan buruh migran, tetapi juga menghasilkan disharmoni kelembagaan perlindungan buruh migran. Kehadiran BNP2TKI sebagai mandat kelembagaan UU Nomor 39 Tahun 2004 tidak memberikan korelasi positif terhadap kualitas perlindungan buruh migran. Namun malah menghasilkan penelantaran buruh migran, karena institusi baru itu lebih sibuk mempersoalkan eksistensi kelembagaan dan berkonflik dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Secara kuantitas, kehadiran institusi yang mengatasnamakan perlindungan buruh migran memang meningkat drastis.

Namun dalam operasional malah menimbulkan silang sengkarut koordinasi. Berdasar studi International Organization of Migration, ada 18 kementerian dan lembaga negara yang memiliki portofolio perlindungan buruh migran. Namun kinerja lembaga-lembaga itu tak memiliki dampak signifikan dalam peningkatan kualitas perlindungan buruh migran. Kehadiran mereka bahkan hanya menghabis-habiskan anggaran.

Ketidakjujuran lain dalam pidato SBY diperlihatkan dengan menyembunyikan kerentanan-kerentanan yang dihadapi buruh migran. SBY melupakan betapa tinggi jumlah buruh migran tak berdokumen asal Inddonesia yang bekerja di Malaysia. SBY juga sama sekali tidak menyinggung masalah kekerasan terhadap PRT migran yang sering terjadi di Malaysia dan Saudi Arabia.

Hal lain yang makin membuktikan pidato SBY hanya merupakan pencitraan dan poles diri di muka internasional adalah pengabaian terhadap realitas ancaman hukuman mati yang dialami buruh migran Indonesia. Setidaknya ada 345 warga negara Indonesia di Malaysia dan 23 warga negara Indonesia di Saudi Arabia menghadapi ancaman hukuman mati. Sebagian besar di antara mereka adalah buruh migran dan PRT migran.
Seharusnya dalam forum tersebut, SBY bisa menyerukan moratorium pelaksanaan hukuman mati terhadap buruh migran. Namun Presiden malah menyembunyikan fakta tersebut.

Realitas Kerentanan

Eksekusi mati terhadap Ruyati, PRT migran Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia, 18 Juni 2011, memperlihatkan realitas kerentanan buruh migran Indonesia tak bisa ditutup-tutupi dengan deretan kata-kata indah dalam pidato Presiden. Pelaksanaan eksekusi mati dengan pemenggalan kepala Ruyati merupakan antiklimaks dari euforia membanggakan kehadiran SBY sebagai satu-satunya Presiden RI yang pernah berpidato di ILO. Apa yang terjadi dan dialami Ruyati juga telah memenggal harapan sesaat masyarakat Indonesia terhadap perbaikan kondisi buruh migran Indonesia.

Memperbaiki kondisi buruh migran Indonesia tidak hanya terpaku pada penggalan-penggalan pidato Presiden atau pejabat lain. Namun harus mewujud berupa tindakan-tindakan nyata yang berbasis realitas pengalaman penderitaan dan kerentanan buruh migran.

Menyediakan instrumen perlindungan berupa ratifikasi Konvensi ILO untuk Perlindungan PRT dan Konvensi PNN untuk Perlindungan Buruh Migran serta mengadopsinya dalam perundang-undangan nasional adalah keharusan. Namun itu juga harus dibarengi perubahan paradigma kebijakan yang selama ini hanya berbasis pada pengambilan keuntungan semata-mata.

Langkah konkret lain adalah pelibatan secara penuh dan tanpa basa-basi seluruh unsur pemangku kepentinggan dalam segala upaya memperbaiki mekanisme perlindungan. Selama ini pemerintah hanya menggandeng pengusaha (PJTKI) dan mengecilkan peran komunitas buruh migran, serikat buruh migran, dan elemen masyarakat sipil yang selama ini peduli terhadap pengawasan pelaksanaan penempatan buruh migran. Menyatukan langkah antara perencanaan, manajemen migrasi, dan diplomasi luar negeri adalah mutlak untuk menyediakan payung perlindungan bagi buruh migran Indonesia. (51)

- Wahyu Susilo, alumnus Fakultas Sastra UNS Solo dan analis kebijakan Migrant CARE
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/20 Juni 2011

0 komentar:

Posting Komentar