Senin, 10 Oktober 2011

Saat Korupsi Berjamaah Direstui

PERSETERUAN antara DPR dan KPK belum lama ini mengharu-biru publik. Suasana memanas ketika muncul pernyataan dari Fahri Hamzah yang menyatakan sebaiknya KPK dibubarkan saja. Perseteruan bermula ketika KPK memanggil empat pemimpin Badan Anggaran (Banggar) DPR. Lalu, publik dikejutkan oleh “aksi boikot” pembahasan anggaran oleh Banggar.
KPK merasa perlu memanggil pemimpin Banggar untuk mengetahui mekanisme penyusunan anggaran. Pemanggilan keempat orang itu dalam kapasitas sebagai pribadi yang terlibat penyusunan anggaran yang diduga bermasalah, yakni kasus korupsi proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kawasan Transmigrasi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Banggar justru memperluas perseteruan dengan menyerahkan pembahasan anggaran ke pemimpin DPR.
Dalam fungsi anggaran DPR, konstitusi menjamin DPR untuk tidak menyetujui usulan anggaran yang diajukan pemerintah. Bila penolakan pembahasan anggaran berkait dengan substansi — dalam hal ini DPR bersikap seperti itu karena tak sepaham dengan usulan pemerintah yang jauh dari kepentingan rakyat banyak, manuver tersebut akan menuai simpati.
Otoritas penentuan kebijakan fiskal yang dimiliki Banggar telah dikukuhkan dengan UU Nomor 27 Tahun 2009. Penguatan dari semula yang hanya merupakan Panitia Anggaran dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 dimaksudkan untuk meningkatkan posisi tawar parlemen terhadap eksekutif, yang dalam sistem demokrasi perwakilan merupakan cerminan kedudukan rakyat untuk ikut serta menentukan anggaran negara. Atau, dengan kata lain, keberpihakan anggaran untuk rakyat harus dikawal dengan baik oleh para anggota parlemen.
Namun hal itu jangan disalahartikan, sehingga menjadi salah kaprah dengan “mogok” membahas anggaran. Publik melihat mogok itu sebagai langkah menyalahgunakan otoritas untuk memberikan persetujuan anggaran. Otoritas itu kemudian dijadikan “posisi tawar” pemimpin Banggar DPR agar keputusan kebijakan tak disalahkan dan tidak disentuh penegak hukum.
Bila dasarnya adalah agar aman dari jerat hukum, jelas itu merusak sendi-sendi demokrasi yang menjunjung supremasi hukum. Sebuah langkah kontraproduktif di tengah kememburukan citra DPR di mata publik. Wajar bila muncul penilaian publik yang menyatakan manuver mogok itu justru menunjukkan mereka lebih mengutamakan kepeentingan pribadi dan golongan di atas kepentingan rakyat.
Di sisi lain, sikap itu juga menumbuhkan banyak spekulasi dari kalangan pelaku pasar berkait dengan kebijakan ekonomi nasional yang bersumber dari APBN. Bila keadaan itu terjadi akan membahayakan kehidupan perekonomian nasional, akibat tingginya spekulasi. Mengingat, posisi APBN yang strategis sebagai sumber pembiayaan untuk pelaksanaan tugas-tugas negara.
Sikap mogok justru menunjukkan seakan-akan mereka kebakaran jenggot. Itu bisa saja diartikan oleh khalayak ramai, memang ada udang di balik batu. Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, bila tak merasa bersalah, pemimpin Banggar dalam kapasitas sebagai pribadi, semestinya kooperatif dengan KPK. Sebab, pemanggilan oleh KPK itu justru sebagai pintu gerbang emas untuk membersihkan Banggar dari tuduhan “miring” selama ini, yakni sebagai tempat bercokol mafia anggaran. “Mengapa harus takut dan kebakaran jenggot bila memang tidak ada masalah?” katanya.
Bermasalah atau tidak orang-orang yang duduk di Banggar DPR masih jadi pro-kontra. Namun beberapa temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang ditindaklanjuti KPK memang “mengindikasikan” ada aliran dana tak wajar dalam rekening beberapa elite di lingkungan Banggar.

Ruang Gelap dan Korupsi Politik
Berdasar hasil evaluasi Formappi diketahui ada kecenderungan DPR menyetujui nilai anggaran lebih besar daripada nilai yang diajukan pemerintah. Misalnya, dalam RAPBN 2011 pemerintah mengajukan dana Rp 1,202 triliun. Namun DPR malah menyetujui Rp 1,229 triliun, yang berarti terjadi penggelembungan Rp 27,5 triliun. Penggelembungan itulah yang, menurut pendapat Formappi, sebagai ruang gelap yang diciptakan untuk bisa dipermainkan dengan enak hati oleh para mafia anggaran. Kecuali, alokasi untuk pembayaran bunga utang dan bantuan sosial.
Langkah menaikkan alokasi anggaran yang diajukan pemerintah dan menambah alokasi dana yang tidak diminta adalah indikasi DPR tidak taat asas efisiensi dan cenderung menghambur-hamburkan keuangan negara. Untuk mencegah kebangkrutan negara akibat permainan mafia anggaran, Formappi meminta seluruh dokumen perencanaan berkait dengan APBN harus dibuka pada masyarakat. Mulai dari perencanaan, alokasi, hingga rapat-rapat antara DPR dan pemerintah harus dapat dipantau. Jadi akan terlihat program dan anggaran pemerintah dalam suatu proyek masuk akal atau tidak.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menyatakan, “permainan” di Banggar terlihat secara nyata oleh publik dari cara partai politik menempatkan mesin pencari uang, yakni para bendahara umum dan bendahara partai. Kondisi itu membuat masyarakat meyakini anggapan bahwa permainan para kader partai di Banggar memang direstui oleh partai masing-masing.
Bila memang itu yang terjadi berarti telah terjadi korupsi politik berjamaah yang direstui kekuatan politik yang ada. Korupsi politik adalah kejahatan atau lebih tepat pengkhianatan terhadap demokrasi. Sebab, para pelaku menyalahgunakan kekuasaan atas jabatan politik. Padahal, sejatinya kekuasaan dan jabatan itu adalah mandat yang diberikan rakyat.
Lalu, mengapa lagi-lagi partai politik harus mendanai diri dengan “mengambil” uang negara? Mengapa ada partai bisa menghimpun dana besar dan memiliki kantor bagus, padahal kita tahu sangat sulit menghimpun dana dari masyarakat? Seberapa transparan partai-partai membeberkan secara jujur perolehan dana mereka?
Ada berbagai pendapat untuk menjawab rentetan pertanyaan itu. Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo mengemukakan suntikan dana APBN ke partai sangat kecil. Di sisi lain, biaya politik makin hari kian meningkat. Itulah yang mendorong tumbuh-suburnya mafia anggaran, dengan dalih untuk membiayai partai, termasuk menumpuk kekayaan pribadi elite partai. Pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia Prof Dr Hamdi Muluk MPsi menyatakan rakyat saat ini memang sulit menyumbang ke partai dan bahkan ingin mendapatkan duit dari elite partai sehingga biaya politik makin tinggi.
Rakyat lebih senang menyumbang ke masjid atau yatim-piatu daripada ke partai. Sebab, rakyat sudah tak percaya lagi pada partai. Itulah yang memunculkan elite-elite partai yang harus membiayai partai dengan menghalalkan berbagai cara. Para elite mau membiayai karena partai adalah pintu masuk untuk meraih keuntungan, seperti ditempatkan di posisi strategis di parlemen dan pemerintahan, untuk membiayai partai dan tak lupa memupuk kekayaan pribadi.
Sebastian Salang mengatakan, sudah saatnya partai transparan kepada publik soal sumber pendanaan mereka. Jadi partai dapat membuktikan diri bukan pengeruk atau perampok uang negara sebagaimana diduga publik selama ini. Juga orang-orang partai bukan bagian dari mafia anggaran serta tak ada lagi korupsi berjamaah yang direstui partai-partai demi kepentingan pendanaan mereka. Mari kita bersama menunggu keterbukaan partai-partai.(Hartono Harimurti-51)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/10/10/162163/

0 komentar:

Posting Komentar