Minggu, 11 Desember 2011

Dari Bahstul Masa il Ahad Pon PCNU Kabupaten Tegal

Di masyarakat, para wanita (muslim) ikut melaksanakan shalat berjamaah bersama kaum laki-laki (muslim) baik dimasjid maupun mushola, bagaimana posisi yang benar dan hukum berjamaahnya?

LAPORAN: M FATKHUROHMAN
SETIAP satu bulan sekali, tepatnya Minggu/Ahad pon, Pengurus Cabang NU Kabupaten Tegal melalui lembaga bahstul masa’il, melaksanakan bahtsul masa’il atau musyawarah tentang hukum yang terjadi di kehidupan yang ada. Minggu (11/12) bertempat digedung NU Slawi, PCNU Kabupaten Tegal bersama Majlis Wakil Cabang (MWC) se Kabupaten Tegal melaksanakan pembahasan tentang posisi yang benar dan hukum berjamaah bagi perempuan.
Pembahasan yang dipimpin koordinator bahstul masail, Husni Fakih membacakan masalah yang diajukan dari MWC Tarub. Menurutnya, telah terjadi tradisi di masyarakat para wanita muslimat ikut melaksanakan shalat berjamaah bersama muslimin, baik di masjid maupun mushola. Sementara posisi mereka tersebut dalam berjamaah berbeda-beda menurut tradisi yang berlaku, ada yang di sebelah kiri imam, ada yang disebelah kanan imam dan ada pula yang dibelakang jamaah laki-laki.
Pertanyaannya adalah, lanjut Husni Fakih, pertama, dimanakah posisi jamaah perempuan yang benar menurut tinjauan syar’i. Kedua, bagaimana hukum berjamaah bagi jamaah perempuan yang posisi jamaahnya tidak sesuai dengan ketentuan syar’i.
Dari pertanyaan tersebut, muncul pendapat dari beberapa perwakilan MWC, dengan mengambil dari beberapa kitab, seperti kitab jamal wahab, kitab ianatuthalibin dan lain sebagainya. Dimana kebanyakan dari mereka mengatakan, bahwa yang paling benar adalah jamaah perempuan baiknya berada di barisan paling belakang. Dan itu di sepakati oleh musyawirin.
Seperti yang dikatakan, Subhan Mubarok, dari MWC Warureja, bahwa jamaah perempuan dalam shalat harus yang benar adalah yang paling belakang, kalau ada wandu atau perempaun yang jadi laki-laki berarti mereka harus dibelakang wandu tersebut.  “Ini mengambil dari kitab Jamal Wahab juz 1,” katanya.
Senada juga dikatakan, dari MWC Pangkah, No’mun, dimana dalam kitab ianah tholibin juga dikatakan bahwa jamaah perempuan berada dibarisan paling belakang sesuai dengan hadits nabi SAW.
Sementara, dalam pembahasan pertanyaan yang kedua, tentang hukum berjamaah bagi perempuan yang posisinya tidak sesuai dengan syar’i, terjadi banyak pedapat. Seperti yang dikatakan, Abdul Wahid, bahwa beberapa madzhab telah terjadi perbedaan pendapat, bila menurut imam safi’i itu hukumnya makruh, namun jika menurut imam Abu hanifah itu hukmnya batal.
Namun banyak yang mengatakan bahwa itu hukumnya makruh, seperti yang dikatakan KH M Idris dari Dukuhturi, bahwa jamaah tersebut tidak mendapatkan fadilah jamaah bagi perempuan tersebut. Berbeda dengan No’mun, yang mengatakan, bahwa yang tidak mendapatkan fadilah itu semuanya, yakni imam dan jamaahnya.
Sementara menurut Ust Nawawi, ada sebagian ulama yang mengatakan, bahwa bagi jamaah yang tidak sesuai dengan syar’i, mereka tidak mendapatkan fadilah shofnya saja. Artinya, tidak secara otomatis, jika satu fadilah gugur, maka fadilah yang lain ikut gugur.  “Mereka tidak mendapatkan fadilah secara keseluruhan, hanya menghilangkan fadilah shof. Namun  tidak menampik dari pendapat yang menghukumi makruh,” ungkapnya.
Sementara, KH Ghufron mengatakan, bahwa hadist nabi kenapa perempuan harus berada dibelakang, itu didasari bahwa perempuan harus bubar duluan. Karenanya jamaah laki-laki juga pada saat jamaah tidak diperkenankan bubar mendahului perempuan, agar tidak timbul makruh.  “Baik lagi jika jamaah perempuan tersebut diberi satir (penghalang), karena perempuan juga belum tentu bubar duluan sebelaum laki-laki,” ungkapnya. (*)
Sumber Berita : http://www.radartegal.com/index.php/

0 komentar:

Posting Komentar