Seorang ibu paroh baya duduk selonjor dengan kaki terbungkus kaos kaki. Wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa-biasa saja seolah tidak tampak merasa kesakitan. Padahal saat itu ia tengah diterapi pijat untuk menyembuhkan penyakit stroke dan vertigo yang dideritanya. Tak lebih dari dua menit, pijatan pun usai.
"Udah, ibu sudah tidak ada apa-apa, insya Allah sembuh," tanya seorang laki-laki yang baru saja memijat pasiennya itu.
Ibu yang tak mau disebut namanya itu, jauh-jauh dari Jakarta ke Solo untuk berobat ke rumah laki-laki berusia 49 tahun itu. "Alhamdulilah, selama 4 kali datang kesini, keadaan saya mulai membaik," ujar ibu yang mengaku putri Pakubuwono X.
Naman laki-laki itu adalah Warsito. Bapak yang memiliki dua anak ini tinggal di sebuah desa kecil daerah Karanganyar. Ia membuka prakteknya di Jalan Truntum II/ No.3 Sondakan Laweyan Solo.
Menurutnya pijat dua menit ini dapat membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Bahkan bisa mendeteksi penyakit yang diderita pasien hanya dengan memijat punggung yang seolah seperti meraba–raba . Walaupun dua menit, pijat ini terbukti ampuh menyembukan berbagai penyakit.
"Kesannya memang maen-maen hanya dua menit saja, tapi coba tanyakan ke pasien-pasien saya apa yang dirasakan,” ucapnya sambil melirik ke pasien yang duduk disebelahnya.
Dari pengakuannya, setiap hari sekitar 300 pasien datang untuk berobat kepadanya. Tak heran jika tempat prakteknya yang buka mulai pukul 05.00 pagi hingga 19.00 malam itu selalu dipenuhi oleh pasien yang datang dari berbagai daerah.
Pasien yang datang berasal dari berbagai kalangan. Dari kalangan biasa sampai pejabat. “Gus Dur, Din Syamsuddin, Widodo AS, Bibit Waluyo pernah maen kesini” ujarnya dengan bangga.
"Sebenarnya saya pinginnya pasiennya surut, biar bisa wirausaha," canda bapak dua anak ini yang tidak nampak raut muka lelah setelah seharian memijat pasiennya.
Salah seorang pasien yang kami temui mengatakan bahwa ia sudah lama mengidap penyakit paru-paru, bahkan sempat beberapa kali harus dirawat di rumah sakit karena kondisinya cukup parah. Namun anehnya, dokter yang menanganinya malah menyuruh datang ke Warsito sebagai alternatif disamping pengobatan medis yang pernah ditempuhnya.
"Saya sudah 2 kali ke sini dan kali ini yang ketiga, dan setelah berobat ke sini, alhamdulilah keadaan saya sudah semakin baik, semoga saja bisa sembuh total" terang bapak Suseno yang datang bersama putranya.
Bukan hanya sakit yang berkenaan dengan medis, bahkan penyakit akibat terkena ’guna-guna’, seperti tenung atau santet, juga bisa disembuhkan.
"Dulu ada yangdibawa kesini,saya pegang, ya langsung sembuh dan hilang," aku Warsito. "Itu malah dosen IAIN, Pak Hamid Mahmudi nggak bisa buang air besar, saya pijat, ternyata ditenung orang, bisa saya keluarkan medianya, ya cuma dipijat pura-pura gini," imbuhnya merendah.
Pak Warsito baru secara serius menggeluti bidang pengobatan 4 tahun belakangan ini. Sebelumnya dia adalah seoarang penebas padi di kampung. Semenjak dirinya menyadari memiliki kelebihan dapat mengobati, maka ia pun tak menyianyiakan kesempatan itu.
Dari mana Warsito belajar pengobatan ini?
Sekitar tahun 1972 ketika dirinya duduk di bangku kelas 6 SD ayahnya meninggal dunia. Pendapatan ibunya yang hanya pembuat cemara ( konde) tidak bisa diandalkan untuk membayar sekolahnya. Akhirnya karena kesulitan biaya ia memilih mencari ilmu melalui jalur non formal berupa ilmu agama di sebuah pondok pesantren.
”Saya belajar otodidak dari Al-Quran kemudian diterapkan pada diri saya sendiri dan kemudian saya terapkan pada orang lain”.
Ia mengakui, secara visual pengobatan yang dikerjakannya terkesan kurang serius. Tapi yang barangkali tidak banyak diketahui pasiennya, tiap malam ia serius berdoa untuk kesembuhan pasien–pasiennya.
”Jadi nggak ada rahasia dalam pemijatan ini. Ndak ada ritual khusus, cuma dzikir tiap malam, kayak semacam di-charge dulu, baru siangnya ngobatin orang”, tuturnya. Semuanya murni dari Allah SWT, tambahnya meyakinkan.
Sebelum membuka praktek pengobatan kepada masyarakat luas, ia lebih dulu mengaplikasikan kemampuannya kepada keluarga dekat saja. Tapi dirinya merasa berdosa kalau memiliki ilmu tidak diamalkan. Akhirnya pada tahun 2003, ia memulai membuka pengobatan untuk umum.
Karena permintaan pasien untuk pindah dari kampungnya yang cukup jauh dari kota , ia memutuskan pindah ke kota. Solo sebagai pilihannya. Letak rumahnya yang tepat di belakang Universitas Islam Batik ( UNIBA) Solo membuat tempat prakteknya semakin ramai dikunjungi pasien, meski tanpa plakat yang terpasang.
Lalu bagaimana dengan tarifnya?
”Terserah mau bayar berapa, seikhlasnya saja. Nggak bayar juga gak papa”, jawabnya.
Bahkan apabila ada yang tidak mampu atau memang sangat membutuhkan dapat mengambil amplop yang ada di dalam kotak yang disediakan. Ia lalu bercerita suatu ketika pernah menyembuhkan pasien yang kebetulan salah satu pemilik saham terbesar di Indosat. Sebagai balasan, sang pasien memberikannya mobil Avanza. ”Saya menolaknya, lebih baik untuk yang lebih membutuhkan,” akunya.
Kendati banyak pasien yang ia sembuhkan, ia mengatakan kesembuhan yang menentukan adalah Tuhan YME. Sebagai manusia ia hanya berusaha untuk menolong sesama. Manusia bisa berusaha tetapi Tuhan lah yang tetap menentukan, Menurutnya ada satu hal yang penting disini yaitu keikhlasan. Ikhlas berusaha, ikhlas membayar dan ikhlas menunggu hasilnya.
(Ario, Ria, Luhung/Cn09)
Sumber Berita : http://suaramerdeka.com/1 Agustus 2007
0 komentar:
Posting Komentar