Jakarta, Kompas - Pemerintah dianggap masih belum sungguh-sungguh melaksanakan Pancasila, terutama sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu tandanya, dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara, lebih banyak yang tidak prorakyat. APBN malah lebih banyak untuk biaya operasional rutin daripada pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hajriyanto Y Tohari menyampaikan kritik itu dalam diskusi ”Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara” yang digelar Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Jakarta, Kamis (9/6). Pembicara lain adalah Direktur Reform Institute Yudi Latif; wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy; dan Ketua LDII Prasetyo Sunarto.
Hajriyanto Y Tohari menjelaskan, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat tidak sehat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Itu terjadi sejak nilai anggaran Rp 150 triliun atau Rp 170 triliun sampai tahun 2011 yang mencapai Rp 1.300 triliun. Hampir tidak ada perubahan.
Dari total anggaran, sekitar 60 persen digunakan untuk dana operasional rutin yang mencakup gaji, pegawai, pejabat negara, pejabat pemerintah, alat perkantoran, dan biaya perjalanan. Sekitar 20 persen lagi untuk membayar cicilan utang beserta bunganya. Hanya 20 persen untuk program pembangunan.
Di daerah-daerah, biaya operasional rutin lebih besar, yaitu sekitar 81 persen dari total APBD. Anggaran untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat hanya sekitar 19 persen.
”Omong kosong pemerintah menyatakan akan mewujudkan kesejahteraan sosial jika struktur APBN masih seperti itu. Tidak ada niat baik dari pemerintah untuk melakukan perubahan,” katanya.
Hajriyanto mengajak pemerintah untuk membesarkan anggaran pembangunan ketimbang untuk biaya operasional rutin pemerintahan dan membayar utang. Caranya adalah mengurangi anggaran untuk tunjangan, perjalanan, atau gaji. Untuk itu, diperlukan kerelaan bersama demi menyokong pembangunan.
”Saat ini kami mulai menyuntikkan semangat perubahan struktur ABPN agar lebih prorakyat. Namun, pemerintah harus punya political will karena pemerintah yang mengajukan anggaran. APBN itu menjadi alat penting untuk meningkatkan kesejahteraan,” katanya.
Yudi Latif menilai bahwa pemerintah saat ini memang belum benar-benar mengamalkan Pancasila karena tidak sungguh-sungguh mewujudkan sila kelima, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Tunjangan untuk pejabat dinaikkan, gedung pemerintah dibangun megah, rumah mewah, dan mobil bagus. Sementara anggaran APBN pembangunan minim,” tuturnya.
Budiarto Shambazy menyoroti kepemimpinan pemerintahan yang lemah. Kelemahan ini mengakibatkan bangsa ini tersingkir dari persaingan ekonomi global, bahkan mudah ditipu dengan kedok liberalisme pasar. Pengelolaan sumber daya alam sekarang sebagian besar malah jatuh ke tangan asing. (IAM)
Sumber Berita : http://nasional.kompas.com/10 Juni 2011
0 komentar:
Posting Komentar